MATARAM, KOMPAS — Setelah hampir pasti Geopark Rinjani menjadi anggota UNESCO Global Geopark, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengusulkan lagi Pulau Lombok sebagai cagar biosfer (biosphere reserve).
Pertimbangannya, Pemprov NTB mampu mengintegrasikan keanekaragaman hayati dengan keanekaragaman budaya di Lombok dalam bentuk sejumlah kebijakan sebagai upaya nyata bagi kegiatan konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
”Usulan Lombok sebagai cagar biosfer kami kirim ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Oktober 2017. LIPI kemudian mengirim usulan itu UNESCO yang memiliki program Man and the Biosphere (MAB). Mudah-mudahan pada April 2018, usulan itu bisa terealisasi,” kata Chairul Mahsul, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda NTB, Rabu (7/3) di Mataram, Lombok.
Menurut Chairul Mahsul, upaya mendapat pengakuan itu karena Lombok memenuhi sejumlah kriteria sebagai cagar biosfer seperti adanya flora dan fauna endemik dan situs-situs geologi yang di antaranya terbentuk oleh letusan dahsyat Gunung Samalas (Gunung Rinjani Tua).
Gunung setinggi 4.200 meter itu ketika erupsi kedua dan ketiga (Mei-Oktober 1257) melontarkan material 40 kilometer kubik ke udara setinggi 43 kilometer.
Material letusan Samalas itu lebih besar dibanding letusan Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, tahun 1815 sebanyak 33 kilometer kubik, serta Gunung Krakatau (meletus 1883) melontarkan material 12,5 kilometer kubik.
Jejak letusan Samalas terlihat di Dusun Luk, Desa Sambi Bangkol, Lombok Utara, dalam bentuk bukit atau tebing pasir di pantai yang disebut Pantai Tebing. Tebing itu setinggi sekitar 25 meter.
Menurut Heryadi Rahmat, pengamat gunung api di Museum Geologi Bandung, tebing itu adalah singkapan (bagian batuan yang tampak di permukaan Bumi) dari endapan aliran piroklastik Gunung Samalas dengan tingkat ketebalan 50 meter dan berwarna abu-abu cerah serta berkomponen antara lain batu apung.
Aliran piroklastik adalah salah satu hasil letusan gunung berapi yang bergerak dengan cepat dan terdiri dari gas atau awan panas, abu vulkanik, dan bebatuan.
Singkapan itu terbentuk dari endapan awan panas aliran piroklastik yang masuk ke laut. Awan panas yang ”bertemu” dengan dinginnya air laut menimbulkan letusan sekunder lalu terlontar ke daratan dan endapannya diduga membentuk bukit di Pantai Tebing itu.
Tidak jauh dari Pantai Tebing, terdapat mata air bawah laut dengan debit 400 meter kubik per detik. Lokasinya berada sekitar 100 meter dari daratan Dusun Karakas, Lombok Utara.
Menurut Chairul, di kawasan Gunung Rinjani terdapat burung endemik Lombok, yakni celepuk rinjani (Otus jolandae), musang rinjani atau musang lombok (Paradoxurus hemaprhoditus rinjanicus), dan kijang (Muntiacus muntjak nainggolani).
Celepuk rinjani merupakan burung endenik Lombok, NTB, yang habitat hidupnya di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Hal senada dikatakan Budi Karyawan, Manager Geowisata dan Trekking Geopark Rinjani. Pemprov NTB menyadari Lombok sebagai pulau kecil yang rentan terhadap kemunduran lingkungan akibat aktivitas manusia.
Pemprov NTB memiliki komitmen yang kuat terhadap kelestarian hutan, yang ditandai dengan Perda NTB Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah NTB.
Regulasi ini intinya membagi zonasi kawasan hutan, dengan menekankan pada pencegahan perladangan liar, rehabilitasi dan konservasi kawasan untuk pelestarian sumber daya alam, keanekaragaman hayati spesifik lokal.
Menurut Budi Karyawan, setiap calon cagar biosfer harus memenuhi kriteria tertentu yang fungsinya saling menunjang, yaitu fungsi konservasi, pembangunan dan fungsi pendukung seperti untuk pendidikan, pelatihan, serta penelitian ekologi dan lingkungan.
Lombok dinilai memenuhi kriteria itu, yang kemudian menjadi dasar diusulkan mendapat pengakuan sebagai cagar biosfer.