”Doctor Honoris Causa” Ketujuh untuk Megawati Soekarnoputri
Oleh
Samuel Oktora
·3 menit baca
SUMEDANG, KOMPAS — Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, meraih gelar doctor honoris causa (Dr HC) yang ketujuh di Bidang Politik Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis (8/3).
Enam gelar Dr HC sebelumnya diperoleh Megawati dari Universitas Waseda, Jepang (2001); Moscow State Institute of International Relations, Rusia (2003); Korea Maritime and Ocean University, Busan, Korea Selatan (2015); Universitas Padjadjaran, Bandung, Jabar (2016); Universitas Negeri Padang, Sumatra Barat (2017); serta Mokpo National University, Korea Selatan (2017).
Megawati dalam pidatonya menekankan, dalam Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak menghendaki model pemerintahan teknokratis, yaitu pemerintahan yang cenderung abai terhadap dialektika dalam menyelesaikan persoalan. Pola pikirnya bersifat monokausal, yaitu hanya memperhitungkan satu faktor.
Dengan demikian, kebijakannya tidak komprehensif, bahkan acap kali tidak mempertimbangkan dampak dari suatu keputusan.
Pemerintahan teknokratis juga lebih mempertimbangkan sisi pragmatis, yang menempatkan kepentingan modal kapital di atas realitas sosial.
Megawati menegaskan, model pemerintahan seperti ini bertentangan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
”Jangan membuat keputusan politik yang hanya mempertimbangkan teknis administratif, yang malah membuat jarak dengan rakyat. Jangan hanya menghitung untung rugi dari sisi budget sesaat. Keputusan politik tidak boleh diambil hanya dengan mempertimbangkan aspek finansial kas negara belaka,” kata Megawati.
Megawati mencontohkan kasus yang kini sedang diperjuangkannya, yakni terkait nasib para peneliti madya Indonesia. Pasalnya telah terbit aturan menteri yang mempercepat usia masa pensiun bagi peneliti, yaitu dari usia 65 tahun menjadi 60 tahun.
”Padahal bangsa ini sangat kekurangan peneliti. Dari awal saya telah memberi saran kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar membuat kajian pemetaan aparatur negara. Reformasi birokrasi harus secara tepat memperhitungkan mana aparatur yang harus dipangkas, mana yang harus dipertahankan dan diprioritaskan untuk kepentingan pembangunan. Tidak ada salahnya jika aturan tersebut ditinjau kembali. Apalagi saat ini kita sedang berupaya membangun Science Based Policy,” ujar Megawati.
Rektor IPDN Ermaya Suradinata menuturkan, pemberian gelar doctor honoris causa itu merupakan peristiwa bersejarah karena merupakan yang pertama kalinya di lingkungan IPDN sejak 1956, yang ketika itu namanya masih Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Ketika itu, APDN didirikan oleh presiden RI pertama Soekarno di Malang, Jawa Timur.
”Tim promotor dalam pengajuan gelar doctor honoris cuasa ini telah mempelajari, menilai, dan mempertimbangkan dengan saksama gagasan, semangat, prestasi, dan jasa yang luar biasa dari Megawati Soekarnoputri selama beliau menjabat sebagai presiden RI ke-5, terutama terkait kebijakan strategis politik pemerintahan,” kata Ermaya.
Kebijakan strategis itu di antaranya mendorong penataan pemerintahan untuk mencapai good governance, juga terkait gagasan perlunya koridor desentralisasi dalam bentuk desain utama (grand design) otonomi daerah.