Pusaran Besar Anggaran Berpusat di Malioboro
”Belum sah ke Yogyakarta kalau belum ke Malioboro.”
Ungkapan itu kerap terdengar di kalangan para wisatawan yang datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY. Sejak dulu, kawasan Malioboro memang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit sekaligus pusat perekonomian di Yogyakarta.
Tak heran, meski obyek wisata baru terus bermunculan di sejumlah wilayah DIY, kawasan Malioboro tetap saja menjadi salah satu destinasi favorit bagi para turis.
Setiap kali masa liburan tiba, jalan di sekitar kawasan Malioboro yang berlokasi di jantung Kota Yogyakarta selalu macet, tempat-tempat parkir penuh dengan bus dan mobil pribadi, sementara hotel-hotel di Malioboro kerap tak lagi bisa menampung tamu.
Hingga kini, kawasan Malioboro juga menjadi sandaran bagi aneka jenis pedagang yang berjualan di tempat tersebut.
Sebagai sebuah kawasan wisata, Malioboro harus diakui telah menjadi ikon DIY. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Pemerintah Daerah (Pemda) DIY menaruh perhatian yang sangat besar pada kawasan tersebut.
Pemda DIY juga berupaya melakukan penataan di Malioboro demi meningkatkan kenyamanan wisatawan dan warga yang berkunjung.
Sejak beberapa tahun terakhir, Pemda DIY juga berupaya melakukan penataan di Malioboro demi meningkatkan kenyamanan wisatawan dan warga yang berkunjung ke kawasan tersebut.
Penataan itu mencakup beragam langkah, dimulai dari pemindahan tempat parkir kendaraan roda dua—yang sebelumnya menempati trotoar sisi timur Malioboro—ke tempat khusus parkir Abu Bakar Ali yang berlokasi di sisi utara Malioboro pada April 2016. Setelah itu, penataan Malioboro terus dilakukan seperti yang terlihat hingga sekarang.
Hal yang mungkin belum banyak diketahui publik, upaya penataan atau revitalisasi kawasan Malioboro itu ternyata menyedot anggaran yang cukup besar.
Berdasarkan penelusuran Kompas, rangkaian kegiatan penataan Malioboro dari 2014 hingga awal 2018 paling tidak menghabiskan anggaran sekitar Rp 152 miliar.
Kesimpulan itu didapat berdasarkan data berbagai jenis paket pekerjaan terkait Malioboro yang pernah dilelang secara terbuka oleh Pemda DIY selama sekitar empat tahun terakhir. Data mengenai pekerjaan-pekerjaan tersebut didapatkan dari situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY.
Dari hasil penelusuran Kompas di situs LPSE Pemda DIY, sedikitnya ada 34 paket pekerjaan terkait Malioboro yang pernah dilelang oleh Pemda DIY pada rentang waktu dari 2 Mei 2014 hingga 19 Februari 2018.
Jenis paket pekerjaan itu bermacam-macam, misalnya pekerjaan konstruksi, pengadaan barang, pengadaan jasa konsultasi badan usaha, serta pengadaan jasa lain.
Dalam analisis ini, penentuan anggaran yang digunakan untuk setiap pekerjaan tidak mengacu pada nilai pagu atau jumlah anggaran yang disiapkan oleh pemerintah.
Hal itu karena nilai pagu lebih mencerminkan jumlah anggaran yang direncanakan untuk membiayai satu pekerjaan, bukan nilai anggaran yang secara riil dihabiskan untuk menyelesaikan satu pekerjaan.
Acuan yang dipakai dalam analisis ini adalah nilai penawaran dari perusahaan pemenang lelang yang sudah terkoreksi. Pilihan itu diambil dengan asumsi nilai penawaran yang sudah terkoreksi itu lebih mendekati nilai kontrak yang akhirnya disepakati.
Nilai kontrak yang disepakati pemerintah dan pemenang lelang tidak bisa dijadikan acuan karena datanya tidak tersedia secara terbuka di situs LPSE Pemda DIY.
Namun, pada beberapa jenis pekerjaan, data nilai penawaran yang sudah terkoreksi ternyata tidak tercantum pada situs LPSE Pemda DIY. Dalam kondisi seperti itu, penentuan nilai anggaran mengacu pada Harga Penentuan Sendiri (HPS) yang merupakan perkiraan harga yang disusun oleh instansi pemerintah.
Setidaknya ada empat proyek besar yang dilaksanakan Pemda DIY di Malioboro dari 2014 hingga awal 2018.
Dengan demikian, nilai anggaran yang disebut dalam analisis ini diharapkan bisa mendekati nilai anggaran yang secara riil dipakai Pemda DIY untuk membiayai berbagai jenis pekerjaan di Malioboro.
Proyek besar
Berdasarkan analisis yang dilakukan Kompas, setidaknya ada empat proyek besar yang dilaksanakan Pemda DIY di Malioboro dari 2014 hingga awal 2018.
Proyek pertama adalah pembangunan tempat khusus parkir Abu Bakar Ali. Berdasarkan analisis atas data-data di situs LPSE Pemda DIY, pembangunan tempat parkir tiga lantai tersebut menghabiskan anggaran sekitar Rp 26 miliar.
Total anggaran itu meliputi lima jenis pekerjaan yang pernah dilelang Pemda DIY, mulai dari tahap perencanaan penataan kawasan Abu Bakar Ali, pembangunan konstruksi tempat khusus parkir Abu Bakar Ali yang terbagi dalam dua tahap, hingga pekerjaan pengawasan pembangunan yang juga terbagi dalam dua tahap.
Dari lima jenis pekerjaan itu, pekerjaan konstruksi pembangunan tempat khusus parkir Abu Bakar Ali tentu menghabiskan dana terbesar, yakni Rp 21,9 miliar pada tahap pertama dan Rp 3,3 miliar pada tahap kedua.
Proyek besar kedua adalah penataan jalur khusus pedestrian di kawasan Malioboro yang totalnya memakan biaya sekitar Rp 64 miliar. Untuk proyek ini, Pemda DIY paling tidak melakukan lelang untuk delapan jenis pekerjaan, termasuk penataan trotoar yang dilaksanakan dalam tiga tahap hingga saat ini.
Penataan trotoar itu menghabiskan anggaran Rp 13,8 miliar untuk tahap pertama, Rp 9,6 miliar untuk tahap kedua, dan Rp 37,3 miliar untuk tahap ketiga. Selain itu, ada juga pengadaan street furniture untuk kawasan Malioboro senilai Rp 2,1 miliar.
Proyek ketiga adalah pembangunan toilet bawah tanah di kawasan Titik Nol, Yogyakarta, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kawasan Malioboro. Total anggaran yang dipakai untuk pembangunan dan pengelolaan toilet mewah yang konon setara dengan toilet hotel bintang lima itu adalah Rp 7,8 miliar.
Anggaran itu antara lain dipakai untuk pembangunan toilet beserta perlengkapannya senilai Rp 5,4 miliar serta pembangunan akses dan pengadaan alat bantu difabel yang mencapai Rp 425 juta.
Pada 9 Januari 2018, setelah toilet itu jadi, Pemda DIY juga melelang pekerjaan untuk pengelolaan dan pemeliharaan toilet tersebut dengan nilai Rp 607 juta.
Sementara itu, proyek besar keempat adalah pembangunan tempat relokasi untuk pedagang kaki lima (PKL) di gedung bekas Bioskop Indra di Malioboro.
Proyek yang sedang dalam tahap pelaksanaan ini diperkirakan menghabiskan biaya sekitar Rp 45 miliar yang sebagian besar di antaranya, yakni Rp 43,9 miliar, akan dipakai untuk pembangunan konstruksi gedung yang direncanakan memiliki tiga lantai itu.
Adapun sisanya antara lain dipakai untuk pengawasan pembangunan dan penyusunan sejumlah dokumen yang dibutuhkan, misalnya detail engineering design dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) lalu lintas.
Di luar empat proyek besar itu, Pemda DIY juga melelang sejumlah pekerjaan terkait Malioboro, semisal perbaikan ruas jalan di kawasan Titik Nol, penyusunan dokumen perencanaan penataan kawasan Malioboro dan dokumen perencanaan penataan transportasi di kawasan itu, pembangunan halte transjogja di Malioboro, hingga pengadaan pagar untuk pembatas jalan di sana.
Pemda DIY juga melelang pekerjaan untuk pengadaan jasa keamanan di Malioboro sebanyak dua kali, masing-masing pada 24 Juli 2017 dengan nilai Rp 254 juta dan pada 19 Februari 2018 dengan nilai Rp 589 juta.
Data yang dianalisis dalam tulisan ini belum mencakup sejumlah proyek lain yang akan dikerjakan di Malioboro pada masa mendatang, misalnya pembangunan tempat khusus parkir di Jalan Beskalan yang direncanakan terhubung dengan tempat relokasi PKL di bekas Bioskop Indra.
Semoga penataan bisa berjalan dengan baik sehingga Malioboro sebagai ikon Yogyakarta bisa membawa kesan yang lebih baik.
Hal itu karena pembangunan tempat parkir di Jalan Beskalan belum memasuki tahap lelang sehingga datanya belum tersedia di situs LPSE Pemda DIY.
Ketimpangan ekonomi
Dalam sejumlah kesempatan, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, penataan kawasan Malioboro bertujuan menjadikan kawasan tersebut lebih rapi dan tertata. Dengan begitu, wisatawan dan masyarakat yang berkunjung ke kawasan itu diharapkan bisa merasa lebih nyaman.
”Semoga penataan ini bisa berjalan dengan baik sehingga Malioboro sebagai ikon Yogyakarta bisa membawa kesan yang lebih baik,” kata Sultan saat meresmikan toilet bawah tanah di kawasan Titik Nol pada 9 Januari lalu.
Namun, Direktur Institute for Development and Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta Sunarja mengingatkan, saat ini DIY tengah menghadapi persoalan serius berupa tingginya tingkat ketimpangan ekonomi antara masyarakat kaya dan warga miskin.
Tingginya tingkat ketimpangan ekonomi itu ditandai dengan tingginya angka rasio gini di DIY.
Saat ini DIY tengah menghadapi persoalan serius berupa tingginya tingkat ketimpangan ekonomi antara masyarakat kaya dan warga miskin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rasio gini di DIY pada September 2017 sebesar 0,440 dan merupakan yang tertinggi di Indonesia. Angka rasio gini di DIY itu lebih tinggi dibandingkan dengan rasio gini nasional yang mencapai 0,391.
Yang juga mengkhawatirkan, rasio gini di DIY terus mengalami kenaikan selama beberapa waktu terakhir. Pada Maret 2017, misalnya, rasio gini DIY adalah 0,432, sementara rasio gini DIY pada September 2016 adalah 0,425.
Rasio gini adalah indikator ketimpangan berdasarkan tingkat pengeluaran penduduk. Nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan 1 menunjukkan ketimpangan paling parah. Artinya, makin tinggi angka rasio gini, ketimpangan ekonomi juga makin tinggi.
Menurut Sunarja, untuk mengurangi tingkat ketimpangan ekonomi, Pemda DIY seharusnya menggencarkan program-program penanggulangan kemiskinan. Program-program pembangunan di provinsi itu juga semestinya diprioritaskan di wilayah-wilayah dengan jumlah penduduk miskin yang banyak.
”Pekerjaan rumah Pemda DIY itu adalah bagaimana menurunkan tingkat kesenjangan. Oleh karena itu, program-program pembangunan seharusnya diprioritaskan di daerah-daerah yang merupakan kantong kemiskinan,” ujar Sunarja.
Terkait penataan Malioboro, Sunarja juga mempertanyakan seberapa besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari program tersebut, terutama dalam hal pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Selain itu, Pemda DIY seharusnya juga melihat siapa yang menerima manfaat besar dari program tersebut.
”Harusnya dilihat antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima. Apakah dibangunnya Malioboro dengan uang cukup banyak itu bisa mengangkat perekonomian masyarakat kelas bawah di Yogyakarta?” kata Sunarja.