Rintisan Demokrasi dari Tanah Buton
“Wahai sultan yang memegang kekuasaan… Jangan lebih banyak hartamu daripada harta kekayaan negerimu. Jangan pula lebih mementingkan anakmu daripada pemerintahan. Karena mementingkan harta dan anakmu itu kelak akan menjadi fitnahmu selamanya,” syair ‘Ajonga Yinda Malusa’ karya Syekh Abdul Ganiu dalam Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton-Muna (La Niampe, 2014)
Ketika matahari mulai menerangi kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, Sabtu (3/2) lalu, Namsia sudah bersiap dengan sapu lidi yang digenggam di tangan kanannya. Dengan peralatan andalannya itu, ia sehari-hari mengumpulkan sejumlah dedaunan yang jatuh di kompleks pemakaman Sultan Murhum.
Makam itu berada di dalam kompleks Benteng Keraton Buton. Keistimewaan makam itu karena menjadi satu-satunya makam yang dibangunkan tembok putih mengeliling pusara serta terpisah dari makam sultan dan anggota keluarga kesultanan.
Untuk membersihkan makam sultan pertama Kesultanan Buton itu, Namsia ditemani oleh kakaknya yang biasa disapa Nana Dolo. Mereka berdua tidak tahu pasti berapa usia mereka. Yang mereka ingat ialah sejak muda, mereka telah mengabdikan diri mereka untuk menjaga makam sultan paling terkemuka di bumi Sulawesi Tenggara itu.
Lipatan-lipatan keriput telah mendominasi di wajah cokelat Namsia dan Nana Dolo, rambut mereka pun telah seluruhnya memutih dan tipis, gigi mereka sebagian telah tanggal, dan bentuk tubuh mereka pun telah membungkuk. Untuk membersihkan makam Sultan Murhum, mereka harus saling bergandengan tangan agar tidak jatuh ketika menapaki belasan anak tangga.
“Sudah lebih 20 tahun (kami) di sini. Kami tidak dibayar,” kata Namsia ketika tengah beristirahat dengan duduk di salah satu anak tangga.
Bagi keduanya, mewakafkan diri dengan membersihkan dan menjaga makam Sultan Murhum adalah sebuah kehormatan yang tidak tergantikan nilainya di dunia ini.
Bagi keduanya, mewakafkan diri dengan membersihkan dan menjaga makam Sultan Murhum adalah sebuah kehormatan yang tidak tergantikan nilainya di dunia ini.
Murhum merupakan raja keenam Kerajaan Buton yang menjabat pada 1538-1561. Di masa kepemimpinannya, Buton menerima Islam sebagai agama kerajaan, sehingga sistem kerajaan berubah menjadi kesultanan. Alhasil, ia menjadi sultan perdana yang memegang tahta pada 1561 hingga wafatnya di tahun 1584. Sebelum menjadi Raja Buton, Murhum sempat menjabat sebagai Raja Muna selama tiga tahun.
Apabila di Pulau Buton ia dikenal sebagai Murhum, di wilayah Sultra lainnya memiliki sebutan berbeda. Di Pulau Muna, tempat kelahirannya, ia memiliki nama lahir Lakilaponto. Kemudian di wilayah Konawe, termasuk kota Kendari, ia masyur dengan nama Haluoleo.
Keputusan Murhum untuk menjadikan Islam sebagai agama resmi di seluruh wilayah Buton pada pertengahan abad ke-16 membawa dampak signifikan bagi kesultanan itu. Corak keislaman menjadi ciri khas Kesultanan Buton, mulai dari kebudayaan hingga falsafah kehidupan. Pengamalan nilai-nilai Islam mencapai titik sempurna pada masa cucu Sultan Murhum, yaitu La Elangi yang memiliki gelar Sultan Dayanu Ikhsanuddin.
Martabat Tujuh
Di masa pemerintahannya sebagai sultan ke-4 pada periode 1597-1633, La Elangi bersama dua pejabat penting kesultanan, yakni La Singga yang menjabat sapati, lalu La Bula yang menduduki posisi sebagai kenepulu menyusun undang-undang (UU) Kesultanan Buton. UU itu dinamakan Martabat Tujuh. Pengumuman Martabat Tujuh dilakukan secara langsung oleh Dayanu Ikhsanuddin di dalam kompleks Kesultanan Buton pada tahun 1610. Tepatnya di halaman Masjid Keraton Buton yang berhadapan langsung dengan pasar rakyat.
Menurut Guru Besar Filologi Universitas Haluoleo, Kendari, Sultra, La Niampe, La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin terinspirasi dari ajaran tasawuf yang diterima dari gurunya, Syarif Muhammad. Alhasil, Martabat Tujuh memiliki dua fungsi dalam Kesultanan Buton. Pertama, sebagai dasar hukum sekaligus pedoman politik kesultanan. Kedua, berfungsi sebagai akar ajaran tasawuf.
Dari sisi tasawuf, materi martabat tujuh berisi martabat ahadiyah yaitu zat Allah semata, martabat wahdah adalah sifat Allah, martabat wahidiyah yakni asma Allah, martabat alam arwah yaitu keadaan semua nyawa, martabat alam mitsal yakni permisalan semua keadaan, martabat alam ajsam adalah semua keadaan yang nyata, serta martabat alam insan yaitu manusia.
Dalam praktek bernegara, ketujuh martabat itu ditafsirkan dengan tujuh jabatan politik di Kesultanan Buton. Tanailandu merupakan wujud dari martabat ahadiyah, tapi-tapi adalah pemaknaan dari martabat wahdah, lalu kumbewaha disamakan dengan martabat wahidiyah, sultan serupa dengan martabat alam arwah, sapati adalah wujud dari martabat alam mitsal, kenepulu adalah penafsiran dari martabat alam ajsam, dan kapitalao adalah bentuk dari martabat alam insan.
“Tiga pangkat pertama disebut kamboru-boru tulupalena berarti tiga jabatan batiniah yang bersifat kekal dan menjadi cikal-bakal kaum bangsawan yang kelak menduduki empat jabatan berikutnya yang bersifat lahiriah,” ujar La Niampe.
Berdasarkan Martabat Tujuh, Sultan La Elangi membuat aturan bahwa penerus jabatan sultan tidak harus berasal dari keturunan kandungnya.
Berdasarkan Martabat Tujuh, Sultan La Elangi membuat aturan bahwa penerus jabatan sultan tidak harus berasal dari keturunan kandungnya. Keputusan itu, lanjut La Niampe, dilakukan karena kekhawatiran La Elangi tentang sistem monarki yang dapat menimbulkan konflik di antara keturunannya. Oleh karena itu, tiga golongan bangsawan atau disebut kaomu itu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sultan.
Merujuk pada buku Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni I (1977) yang disusun Abdul Mulku Zahari dkk., ketiga golongan kaomu itu adalah tanailandu yang merupakan keturunan La Elangi, kemudian tapi-tapi yang memiliki jejak keturunan dari La Singga, dan kumbewaha yang membawa garis darah dari La Bula.
Pilihan dewan
Pemilihan calon orang nomor satu di Kesultanan Buton dilakukan oleh golongan walaka yang merupakan keturunan para petinggi Kerajaan/Kesultanan Buton.
Adapun, dewan ahli adat disebut siolimbona (menteri) yang berjumlah sembilan orang. Mereka memiliki tugas untuk mengamati sifat dan perilaku calon sultan yang berasal dari tiga golongan kaomu sejak masih belia. Siolimbona menjaga kerahasiaan operasi “intelijen” mereka. Bahkan, calon sultan yang akan diusung baru mengetahui penunjukkannya setidaknya satu hari sebelum pelantikan.
“Siolimbona diposisikan sebagai bapak oleh sultan. Sebab, merekalah yang memilih dan mengangkat sultan,” tutur La Niampe.
Siolimbona diposisikan sebagai bapak oleh sultan. Sebab, merekalah yang memilih dan mengangkat sultan
Hasaruddin, dalam artikelnya “Demokrasi dan Nasionalisme dalam Konteks Budaya Lokal” yang tercantum dalam buku Negeri Seribu Benteng: Lima Abad Dinamika di Kota Baubau (2012), menyebutkan terdapat empat kewajiban sultan. Setiap sultan wajib menilik mata hatinya untuk memahami hati nurani rakyat, menjadi panutan dan pemimpin di dalam dan luar kesultanan, menjadi bapak rakyat di kesultanan, serta memegang keadilan sesuai adat demi kebaikan rakyat banyak.
Andai dianggap tidak mampu menjalankan kewajiban, siolimbona akan melakukan penilaian dan mengusulkan sultan diturunkan. Sementara itu, kenepulu akan berperan mengumpulkan aspirasi masyarakat terhadap sultan. Dan, sapati yang akan menjalankan hukuman untuk menurunkan sultan dari tahtanya.
La Niampe menambahkan, jabatan sultan Buton murni tergantung dari kemampuan sultan untuk menjalankan aturan hukum adat dan pemerintahan secara adil dan benar. Atas dasar itu, dari 33 sultan yang diangkat melalui proses pemilihan, sebanyak 19 sultan mengakhiri jabatan karena wafat, kemudian 3 orang mengundurkan diri, dan 11 orang diturunkan dari jabatannya, bahkan 1 orang, di antaranya, dihukum mati.
Diabaikan
Melalui bukti-bukti sejarah itu, Kesultanan Buton telah menerapkan sistem demokrasi yang berdasarkan pemisahan kekuasaan, yang terdiri dari eksekutif (sultan), yudikatif (sapati), dan legislatif (siolimbona), jauh sebelum filsuf Inggris, John Locke (1632-1704), serta filsuf politik Perancis, Baron de Montesquieu (1689-1755) memperkenalkan konsep trias politika di akhir dekade abad ke-17. Konsep itu kemudian menjadi dasar pelaksanaan sistem pemerintahan demokratis era modern kini.
Namun, kondisi Sultra saat ini justru mengabaikan jejak demokrasi dari warisan leluhur, seperti yang dijalankan Kesultanan Buton lima abad silam. Kepala daerah tersandung kasus korupsi dan politik dinasti bukan lagi hal tabu di bumi Sultra.
Sebagai contoh, Gubernur Sultra 2008-2017 Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sultra pada tahun 2008 hingga 2014. Selain itu, ada pula Samsu Umar Abdul Samiun yang hanya mengemban jabatan bupati Buton selama satu jam karena langsung dinonaktifkan akibat terlibat kasus suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, pada sengketa Pilkada Buton 2011.
https://kompas.id/baca/polhuk/2017/05/17/kpk-kembali-periksa-samiun/
Sementara itu, praktek dinasti politik terlihat, salah satunya, melalui terpilihnya Adriatma Dwi Putra sebagai wali kota Kendari pada Pilkada 2017 lalu. Ia melanjutkan kepemimpinan ayahnya, Asrun, yang menjadi pemimpin kota Buton periode 2007-2017 dan maju sebagai calon gubernur Sultra pada Pilkada 2018. Keduanya pun telah ditetapkan KPK sebagai tersangka penerimaan suap dalam sejumlah proyek di Kendari, 28 Februari.
Jabbar, salah seorang warga kota Baubau, Pulau Buton, mengatakan, sebagian masyarakat Sultra apatis dan tidak berminat dengan kontenstasi Pilkada 2018. Hal itu disebabkan minimnya kepala daerah yang berkomitmen penuh mengabdi dan memajukan provinsi itu.
“Seharusnya para calon kepala daerah belajar kembali sejarah dan memahami falsafah Kesultanan Buton. Kami telah memiliki bukti nyata pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dan Islam yang menjadikan Buton dan Sultra disegani di masa lalu,” kata Jabbar yang berprofesi sebagai wirausaha.
Seharusnya para calon kepala daerah belajar kembali sejarah dan memahami falsafah Kesultanan Buton
Akhirnya, masyarakat Sultra akan selalu mengharapkan sosok pemimpin yang mampu membawa kembali era-era keemasan provinsi itu. Laiknya Kesultanan Buton yang memiliki pengaruh besar, baik di jazirah Sulawesi maupun di hadapan bangsa kolonial. Oleh karena itu, nasihat ulama terpandang asal Buton di abad ke-19, Syekh Abdul Ganiu, yang mengawali tulisan ini patut dipedomani oleh para pemimpin di bumi Sultra…