Satu Pasal Ancam Hak Perempuan Penyandang Disabilitas
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali menjadi sorotan karena salah satu pasalnya, yaitu Pasal 104, mengancam hak asasi kaum perempuan penyandang disabilitas. Pasal tersebut dinilai tidak sejalan dengan tiga undang-undang yang telah ada.
Pasal 104 dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyebutkan, ”dalam hal pemasangan kontrasepsi terhadap orang dengan disabilitas mental yang dilakukan atas permintaan keluarga berdasarkan pertimbangan ahli untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut bukan merupakan tindak pidana”.
Ketua Umum Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti menyatakan, klausa ”atas permintaan keluarga berdasarkan pertimbangan ahli” sebenarnya tidak tepat. Masyarakat dan hukum masih menganggap perwalian keluarga adalah hal yang normal.
”Kendati demikian, kondisi itu sebenarnya adalah perwalian informal. Perwalian yang baik adalah perwalian yang telah diakui oleh pengadilan negeri, bukan sekadar asumsi karena merupakan anggota keluarga,” tutur Yeni, dalam diskusi dan festival bertema ”Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia” di Jakarta, Kamis (8/3). Tanggal 8 Maret adalah Hari Perempuan Internasional.
Melalui pengadilan, lanjutnya, proses perwalian akan memiliki kriteria dan kontrol. Perwalian dinyatakan tidak bisa diwakili secara informal karena orang tersebut akan mengatur hak perdata orang yang diwakilkan.
Apalagi, pada dasarnya Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyebutkan, hak perdata seseorang tidak boleh dicabut. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi itu dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas).
Yeni melanjutkan, disabilitas mental juga memiliki berbagai jenis. Ada penyandang disabilitas yang terkadang mampu membuat keputusan pada waktu tertentu dan ada yang tidak. Metode komunikasi yang bervariasi dinilai perlu diterapkan agar hak mereka tidak dilanggar.
Misalnya, komunikasi dengan menggunakan metode advance healthcare directive. Seseorang yang dalam keadaan sehat dapat membuat permintaan mengenai tindakan medis yang ia inginkan ketika ia sakit dan tidak mampu membuat keputusan.
Metode lainnya yang dinyatakan Yeni dapat diterapkan adalah personal ombudsman (PO) yang diterapkan di Swedia. PO merupakan orang yang ditunjuk langsung oleh seseorang untuk mengambil keputusan baginya ketika ia tidak lagi mampu melakukan hal tersebut.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari mengatakan, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seharusnya melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk kaum perempuan dari berbagai lapisan masyarakat.
Ia menceritakan, Koalisi Perempuan Indonesia pada awal berdiri juga pernah diprotes oleh para perempuan penyandang disabilitas karena menggolongkan mereka sebagai kelompok yang tidak produktif. ”Mereka bilang, ’Jangan bicara saya tanpa saya,” ujar Dian.
Perkataan itu kini diulang oleh Dian untuk pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terkait penyandang disabilitas melibatkan komunitas terkait.
Selain ancaman diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas, pasal itu bertabrakan dengan Pasal 103 dalam RUU yang sama. Pasal 103 menyatakan, pemaksaan kontrasepsi karena kekerasan seksual merupakan tindak pidana, baik dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, maupun situasi khusus lainnya.
Adapun Pasal 104 juga dinyatakan bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 2006 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dan UUD 1945.
Dian mencontohkan, Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G (1), dan Pasal 28I Ayat (2) dalam UUD 1945. Secara umum, ketiga pasal itu menyebutkan, setiap orang berhak atas jaminan hukum, perlindungan diri pribadi, dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Ia juga mengingatkan, Pasal 104 muncul karena perempuan penyandang disabilitas rentan menjadi korban perkosaan. Mereka dikhawatirkan hamil dan melahirkan anak, padalah tidak mampu untuk membesarkan anak tersebut.
Namun, lanjutnya, pengizinan pemasangan alat kontrasepsi kepada penyandang disabilitas atas permintaan keluarga seolah menyatakan mereka tidak apa-apa untuk menjadi korban perkosaan. Padahal, status mereka sama dengan perempuan lainnya.
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani A Rotinsulu menambahkan, perempuan disabilitas harus menjadi subyek dalam pembahasan terkait kesejahteraan mereka. ”Kami juga mampu menjadi pelaku pembangunan bangsa,” kata Maulani.
Belum ada data
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dalam Bidang Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Siti Mardiah menyatakan, data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menyebutkan, prevalensi penyandang disabilitas 2,45 persen. Dari angka itu, prevalensi penyandang perempuan lebih besar dari laki-laki, yaitu 12,8 persen.
”Pemerintah belum ada data representatif terbaru yang bisa gambarkan kondisi penyandang disabilitas saat ini,” kata Siti. Pemerintah akan mendorong agar Badan Pusat Statistik (BPS) membuat Sensus Penduduk tahun 2020 dengan menambah beberapa kategori, seperti profil penyandang disabilitas Indonesia.
Data yang akurat akan membantu pemerintah dalam membuat kebijakan. Adapun pemerintah telah memiliki strategi pengarusutamaan jender, termasuk untuk penyandang disabilitas.
Strategi itu memiliki tujuh komponen. Contohnya adalah pernyataan komitmen untuk melindungi penyandang disabilitas melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Pemerintah juga telah mengakui empat hak dasar bagi mereka, yaitu hak kesehatan reproduksi, hak menerima dan menolak pemakaian alat kontrasepsi, hak perlindungan diskriminasi berlapis, serta hak perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
”Kami juga membuat kesepakatan dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kasus yang menimpa penyandang disabilitas. Perwakilan di provinsi akan membantu,” ujar Siti. (DD13)