Kasus kekerasan terhadap perempuan tak pernah ada habisnya. Hampir setiap saat ada saja kasus kekerasan yang menimpa perempuan di Tanah Air, di desa maupun di perkotaan. Beberapa kasus mencuat ke publik dan mengundang kecaman dan kemarahan masyarakat, namun banyak kasus yang tenggelam dan terkubur dalam rumah masing-masing. Hampir tidak ada ruang yang aman lagi bagi perempuan baik di ranah privat maupun publik.
Situasi ini seharusnya bisa dihentikan oleh perempuan. Selain mendorong terjadi perubahan perilaku di tengah masyarakat yang masih kuat budaya patriarki, perempuan bisa hadir dan tampil sebagai pembawa solusi, bersatu menyuarakan dan melawan semua bentuk kekerasan, diskriminasi dan pembodohan, khususnya terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan.
Namun sejauh ini, suara lantang dari perempuan-perempuan di Tanah Air untuk melawan kekerasan masih sebatas diwakili oleh aktivis-aktivis perempuan (termasuk laki-laki) dari organisasi perempuan dan pemimpin organisasi masyarakat maupun keagamanan.
Beberapa tahun terakhir memang ada kemajuan, para perempuan korban kekerasan yang sebelumnya tidak berani bersuara kini mulai berani melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Untuk mampu bersuara lantang melawan kekerasan, pemberdayaan dan penguatan kapasitas perempuan di tingkat paling bawah (akar rumput) menjadi salah satu kata kunci untuk melakukan perubahan.
Sekolah perempuan
Upaya mengembangkan kesadaran kritis, kepemimpinan perempuan untuk pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, sebenarnya sudah dilakukan sejumlah LSM sejak era reformasi dan paskareformasi. Seperti yang dilakukan oleh Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan) yang menyelenggarakan sekolah perempuan sejak tahun 2000.
Sekolah perempuan tersebut diikuti perempuan-perempuan berusia 20-60 tahun dari berbagi daerah di Indonesia dari keluarga miskin. Latar belakang pendidikan mulai dari buta huruf, sekolah dasar, hingga sekolah menengah pertama. Beberapa dari lulusan sekolah menengah atas. Peserta sekolah juga berasal dari lintas agama.
Sampai saat ini perempuan-perempuan dari tingkat akar rumput yang ikut sekolah perempuan lebih dari 5.000 orang, tersebar di seluruh provinsi. Saat ini kKapal Perempuan sedang memulai Sekolah Perempuan Remaja Desa. Selain mengedukasi perempuan di akar rumput, sekolah tersebut juga menyasar perempuan aktivis.
“Kepemimpinan perempuan akar rumput merupakan kunci dalam melakukan perubahan dan mengeluarkan diri perempuan dari belenggu kemiskinan dan berbagai bentuk diskriminasi,” ujar Direktur Kapal Perempuan Misiyah, Rabu (7/3) di Jakarta.
Dari pengalaman Kapal Perempuan selama ini, upaya menumbuhkan kepemimpinan perempuan miskin, ternyata bukan hal mustahil. Buktinya, melalui wadah belajar yang dikembangkan melalui Sekolah Perempuan selama empat tahun terakhir ini berdampak besar pada perempuan yang menjadi peserta, yakni tumbuhnya kesadaran kritis dan komitmen melakukan perubahan.
Ia mencontohkan, seorang perempuan yang tinggal di pulau terpencil bernama Bangko-bangkoang, Desa Mattiro Uleng, Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, yang tidak bisa membaca dan menulis, tidak dapat berbahasa Indonesia, setelah mengikuti sekolah perempuan bisa berani memantau program pemerintah, bahkan berani memprotes kepala desa jika terjadi penyalahgunaan bantuan pemerintah.
Pemberdayaan dan edukasi perempuan di daerah-daerah pedesaan juga dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, yang saat ini memiliki 1.500 perempuan yang menjadi pengurus di daerah yang melakukan pendampingan pada perempuan-perempuan di desa.
Pelopor perdamaian
Tak hanya melawan kekerasan di ranah privat, perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan perdamaian. Karena itulah, semenjak tahun 2017 Wahid Institut yang dipimpin Yenny Zannuba Wahid aktif melakukan program desa damai di sejumlah desa di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Awalnya program tersebut hanya menyasar ibu-ibu dan perempuan di desa, tetapi belakangan pemerintah di desa ikut bersama-sama dan mendukung program tersebut.
Dari sisi ekonomi, mereka difasilitas untuk membentuk unit usaha koperasi dan usaha kecil menengah, sementara dari kemasyarakatan perempuan-perempuan di desa tampil sebagai pelopor perdamaian dengan menjaga toleransi antaragama di tengah masyarakat.
“Jadi tidak hanya deklarasi desa damai. Kami mendorong perempuan-perempuan supaya berdaya di desanya. Jadi kita hanya memandu, narasi-narasi perdamaian mereka sendiri yang menyusunnya. Dampaknya besar, karena memberikan penyadaran dan mendorong perubahan perilaku di tengah komunitas masyarakat,” katanya.
Menurut Yenny, untuk mendorong perubahan kuncinya adalah turun langsung mendampingi masyarakat, pemerintah, maupuan LSM tidak bisa lagi menggurui perempuan-perempuan di desa tanpa turun langsung ke basis masyarakat.
“Perempuan adalah kunci. Ketika kita memberdayakan perempuan, sebenarnya \'telah menyelesaikan banyak persoalan\'. Karena perempuan yang berdaya bisa menjadi agen perubahan yang handal dalam berbagai isu, kesehatan reproduksi, pernikahan dini, pendidikan, penghapusan kekerasan dan lain sebagainya," kata Yenny yang baru saja membawa dua perempuan dari Sumenep Madura dan Klaten, Jawa Tengah ke Jepang untuk berbicara sebagai perempuan pelopor perdamaian.
Selain perempuan, upaya mengubah pola pikir masyarakat agar melindungi perempuan dan mewujudkan kesetaraan jender juga harus melibatkan laki-laki. Caranya adalah dengan menggandeng laki-laki dalam berbagai kegiatan serta mencari laki-laki yang bisa mengampanyekan isu kesetaraan jender di kalangan masyarakat.
Meskipun menyadari pentingnya peran perempuan, hingga kini pemberdayaan dan edukasi terhadap perempuan di akar rumput tidak banyak digarap pemerintah dan para pemangku kepentingan. Bahkan, LSM pun tidak banyak yang berbasis masyarakat.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi Dian Kartikasari mengakui, paskareformasi organisasi masyarakat sipil lebih banyak terfokus pada advokasi kasus. Jumlah desa di Indonesia berjumlah sekitar 80.000 desa, sementara pendampingan LSM yang di Tanah Air hanya menjangkau paling banyak sekitar 3.000 desa. Padahal LSM sebenarnya bisa berperan lebih besar mendorong perempuan-perempuan di akar rumput agar bisa berdaya dan tampil sebagai agen perubahan.