Sinyal ”Pohon Pisang” dan Mahalnya Tarif Telekomunikasi di Maluku
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
Masyarakat pedalaman dan pulau-pulau terpencil di Maluku mengeluhkan sulitnya mendapatkan akses telekomunikasi. Di sisi lain, pemerintah sepertinya belum memiliki target pasti kapan warga di wilayah-wilayah itu dapat menikmati sinyal telepon seperti daerah lain, katakanlah di Jawa.
Keluhan itu dihimpun Kompas dalam beberapa pekan terakhir saat mendatangi pedalaman Pulau Seram di Kabupaten Seram Bagian Barat dan sejumlah pulau di Kabupaten Kepuluan Aru. Kondisi serupa juga ditemukan di delapan kabupaten/ kota lain di Maluku di luar Kota Ambon.
Di Desa Hukuanakota, Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat, hanya ada satu titik yang terdeteksi sinyal. Itu pun setelah telepon genggam diletakkan di atas balok kayu di bawah pohon pisang. Warga lantas menyebutnya ”sinyal pohon pisang”. Setelah sinyal terkoneksi, telepon itu tidak boleh digeser.
Mengapa sinyal telekomunikasi terkuat ada di bawah pohon itu? Entahlah. Yang jelas, di titik itu, warga berkumpul dan mengantre menelpon. Jika ada orang sakit, mereka datang ke tempat itu untuk menelepon bidan atau perawat yang tinggal di pesisir. Walau demikian, sinyal bisa hilang ketika turun hujan.
Hukuanakota berjarak sekitar 36 kilometer dari Kairatu, desa di mana terdapat menara jaringan.
”Kalau ada orang sakit, dan sedang tidak ada jaringan, warga terpaksa jalan kaki ke Desa Honitetuh sejauh 12 kilometer untuk lapor kepada petugas medis. Namun, apabila di desa tetangga itu tidak ada petugas medis, warga kemudian naik ojek ke Kairatu,” kata tokoh agama setempat, pendeta William Jan Hehakaya.
Petani dipermainkan
Minimnya sinyal telekomunikasi juga menyebabkan kerugian ekonomi bagi para petani.
Petani damar, misalnya, sering menjadi korban permainan harga oleh tengkulak yang datang langsung ke desa mereka. Mengapa? Karena mereka sulit mendapatkan informasi harga damar di pasaran. Mereka baru tahu harga yang sebenarnya setelah membelanjakan hasil penjualan damar di Kairatu.
Tidak adanya transportasi reguler juga menyulitkan warga menjual damar mereka ke pasar. Dari 36 kilometer jalan dari Hukuanakota ke Kairatu, ternyata 24 kilometernya dalam kondisi rusak berat. Sisanya malah berupa jalan tanah yang penuh kubangan lumpur.
”Jadi berapa pun harga yang ditetapkan tengkulak, kami ikut saja. Kami biasanya kaget saat tahu harga sebenarnya walau sudah terlambat,” ujar Elon, petani damar di Hukuanakota.
Raibnya sinyal telekomunikasi juga terjadi di beberapa desa di Kabupaten Kepulauan Aru. Di Desa Irloy, misalnya, warga harus mendayung sampan menyeberang ke pulau terdekat untuk mendapatkan sinyal.
Warga harus mendayung sampan ke pulau terdekat untuk mendapatkan sinyal.
Persoalannya, ada risiko bersampan. Bukan hanya masalah tenaga yang terkuras, melainkan perairan di kawasan itu juga banyak buaya.
Di Desa Kobadamar, yang dapat dijangkau dari Irloy setelah bersampan dalam waktu 1,5 jam, memang terdeteksi sinyal telepon. Agustinus Ditiaman terpantau menggantung telepon genggamnya di salah satu tiang di dalam rumahnya. Sinyal itu dapat membantu dia mengecek harga kepiting di pasaran.
Ditemui di Ambon, Kamis (8/3), Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui ada tantangan dalam mewujudkan jaringan telekomunikasi di seluruh Indonesia. ”Jaringan telepon itu susah, bro (brother, saudara),” ujarnya.
Dia tidak menyebutkan kapan semua daerah di Indonesia dapat terkoneksi jaringan telepon. Barangkali belum ada target yang jelas dan realistis.
Jagat sinyal di Maluku juga dikuasai salah satu operator telekomunikasi. Tarif bahkan sempat mencapai dua kali lipat dibandingkan tarif di Indonesia barat sebelum akhirnya diturunkan.
Di Maluku, keluhan terhadap mahalnya tarif layanan telekomunikasi juga sering diperbincangkan di media sosial. Banyak orang juga menyayangkan minimnya layanan itu di tengah kondisi Indonesia timur yang belum maju dan belum sejahtera. Kondisi di Maluku relevan dengan pepatah, ”sudah jatuh tertimpa tangga lagi”. Jadi, bagaimana bisa bangkit?