Pada 31 Januari lalu, Presiden Joko Widodo membayar piringan hitam album Metallica: Master of Puppets senilai Rp 11 juta ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, piringan hitam pemberian Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen yang dilaporkan Presiden ke Direktorat Gratifikasi KPK pada 7 Desember 2017 tersebut menjadi milik Presiden.
Piringan hitam itu bukan pemberian pertama yang dilaporkan Jokowi ke KPK. Sebelumnya, Presiden antara lain telah melaporkan dua kuda jenis dari Nusa Tenggara Timur seharga Rp 170 juta, seperangkat tea set dan lukisan dari Rusia yang harganya ditaksir Rp 320 juta, serta jam tangan merek Graff edisi GyroGraff Tourbillon berharga Rp 2 miliar.
Selama menjabat Presiden, nilai pemberian yang dilaporkan Jokowi ke KPK mencapai Rp 58 miliar. Saat menjabat Gubernur DKI pada 2012-2014, Jokowi juga melaporkan hadiah yang diterimanya, Saat itu, ia antara lain melaporkan bas pemberian basis Metallica, Robert Trujillo. Bas itu kini disimpan KPK.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga aktif melaporkan pemberian yang diterimanya ke KPK. Demikian pula dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang antara lain menyerahkan pedang emas yang diterimanya.
Saat menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said juga menyerahkan cincin berlian yang diperkirakan harganya Rp 2 miliar ke KPK. Sejumlah pejabat daerah juga aktif melaporkan gratifikasi yang diterimanya ke KPK. Mereka antara lain Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang menyerahkan sejumlah suvenir yang diterimanya dari Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud saat berkunjung ke Bali beberapa waktu lalu. Barang itu antara lain jam tangan merek Rolex berharga sekitar Rp 500 juta, sepasang manset emas merek Chopard, bolpoin berlian, dan sebuah tasbih. Sebagian dari barang tersebut sudah dilelang KPK pada Desember 2017.
Namun, ada pejabat negara yang menolak namanya dipublikasikan saat menyerahkan barang yang diterimanya. Barang itu, misalnya, perhiasan zamrud dan berlian yang harganya mencapai puluhan miliar dan kini disimpan oleh KPK karena belum berhasil dilelang.
Sebagian barang mewah tersebut ada yang disimpan di ruang berukuran 4 meter x 4 meter di lantai 6 Gedung KPK, Jakarta. Ruang itu sejatinya hanya tempat transit. Pasalnya, menurut Peraturan KPK Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi, barang yang dilaporkan harus segera ditetapkan sebagai milik negara dalam waktu 30 hari sejak dilaporkan dan diserahterimakan ke Direktorat Jenderal Keuangan Negara.
”Tapi, kami minta izin untuk menyimpan sebagian barang yang dinilai punya nilai edukasi terhadap masyarakat. Barang itu antara lain untuk menunjukkan contoh keteladanan dalam melaporkan pemberian yang diterima,” kata Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono.
Gratifikasi
Berbagai barang hingga uang yang diterima pejabat negara dan pegawai negeri itu disebut gratifikasi. Terkait dengan hal itu, penyelenggara negara dan pegawai negeri diminta melaporkan berbagai penerimaan hadiah yang merupakan gratifikasi tersebut dalam waktu 30 hari kerja setelah memperolehnya.
”Apabila tidak dilaporkan, bisa jadi kasus pidana,” kata Giri.
Sejumlah pejabat harus diproses hukum karena menerima gratifikasi. Mereka antara lain mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno karena menerima gratifikasi sekitar 334.000 dollar AS serta Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono yang menerima gratifikasi Rp 20,4 miliar.
Apabila tidak dilaporkan, bisa jadi kasus pidana
Sejumlah kepala daerah juga diproses hukum karena menerima gratifikasi. Munculnya kasus itu bukan berarti pejabat negara dan pegawai negeri dilarang menerima gratifikasi. Mereka tetap boleh menerima gratifikasi selama tidak ada konflik kepentingan dan tidak melanggar kode etik. Gratifikasi yang dapat diterima adalah yang berasal dari keluarga, rekan kerja, hingga rekan pergaulan dengan nilai maksimal Rp 1 juta untuk setiap pemberian dan hal itu diberikan dalam perayaan tertentu, seperti pernikahan, ulang tahun, upacara adat, kematian, dan musibah bencana.
Ketentuan ini, menurut Giri, sudah disosialisasikan ke berbagai lembaga dan kementerian sejak tahun 2012. Ini membuat nilai gratifikasi yang dilaporkan ke KPK terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2013 ada 1.883 pelaporan dengan nilai Rp 1,9 miliar. Nilai itu meningkat menjadi Rp 114,2 miliar dari 1.685 pelaporan pada tahun 2017.
”Jumlah barangnya tidak banyak berubah, tetapi nilai yang dilaporkan meningkat sehingga besarannya naik. Ini fenomena yang bagus. Jika dulu hanya yang kecil yang dilaporkan, sekarang sudah tepat karena yang besar yang diserahkan,” tutur Giri.
Di sisi lain, KPK tengah merumuskan aturan untuk menjerat pemberi gratifikasi yang dinilai melanggar hukum. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, mengatakan, aturan bahwa penerima dan pemberi gratifikasi dapat diproses hukum sudah berlaku di sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, India, Korea Selatan, Finlandia, dan Amerika Serikat.
Laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dapat dijadikan acuan untuk menduga ada atau tidaknya gratifikasi pada seorang pejabat. ”Apabila harta yang dimilikinya tidak sesuai dengan pendapatan, tentu akan menimbulkan kecurigaan hingga perlu ditelusuri,” kata Lola.
Penelusuran ini jadi penting karena, menurut Giri, gratifikasi terkadang ada yang dimasukkan dalam LHKPN, tetapi disamarkan menjadi barang warisan atau hibah. Akhirnya, langkah sejumlah pejabat yang melaporkan gratifikasi yang diterimanya ke KPK menjadi awal dari terbangunnya budaya untuk tidak menerima dan memberi gratifikasi dalam bentuk apa pun di berbagai profesi.