JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat diharapkan mewaspadai kekuatan media sosial yang dapat menyebabkan dampak negatif melalui penyebaran kabar bohong atau hoaks. Untuk menangkal kabar bohong, rasionalitas publik perlu dikedepankan ketimbang mengumbar emosi saat menerima informasi di dunia maya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, kehadiran media sosial selama ini mengubah hubungan sosial yang semula relasi langsung melalui silaturahim menjadi relasi maya dengan interaksi di media sosial. Relasi maya dinilai lebih memberikan efek buruk karena hadirnya keleluasaan orang untuk berbohong, melakukan kekerasan kepada orang lain, hingga melakukan provokasi.
”Melalui media sosial, masyarakat kehilangan rasa kemanusiaannya yang hadir melalui silaturahim. Akibatnya, muncul sifat-sifat eksplosif hingga agresif yang buruk bagi kehidupan sosial di masyarakat,” ujar Haedar saat acara Pengajian Bulanan Muhammadiyah dengan tema ”Fenomena Kekerasan terhadap Tokoh Agama”, Jumat (9/3), di Jakarta.
Dalam acara itu hadir sebagai pembicara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar.
Masifnya serangan provokasi di media sosial, kata Haedar, menyebabkan pihak-pihak yang melakukan kerusakan melalui produksi dan penyebaran hoaks justru tidak merasa melakukan kesalahan.
Karena itu, Haedar meminta seluruh masyarakat untuk tabayyun atau melakukan klarifikasi ketika mendapatkan informasi dari media sosial. Selain itu, ia juga meminta para tokoh agama untuk bersama-sama mencari cara baru yang lebih efektif untuk berdakwah tentang nilai keislaman dan keindonesiaan di ruang baru media sosial.
Adapun Tito mengungkapkan, kelompok produksi dan penyebar hoaks di media sosial menjadi aktor di balik fenomena isu penyerangan tokoh agama. Isu itu telah menyebabkan keresahan di masyarakat sejak Februari lalu, terutama di tiga provinsi tempat sejumlah peristiwa yang diduga penyerangan terjadi, yakni di Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Menurut Tito, dari 46 isu penyerangan tokoh agama yang mengemuka di masyarakat, hanya tiga isu di antaranya yang benar terjadi. Sebanyak dua kasus di Jawa Barat dan satu di Jawa Timur. Ketiga kasus itu memiliki motif serupa, yaitu penyerangan oleh orang dengan masalah kejiwaan.
Sementara itu, lima kasus lainnya direkayasa dengan alasan yang sama, yakni menginginkan perhatian agar imbalan sebagai pengurus masjid dinaikkan. Kemudian, enam kasus lain, yang merupakan penganiayaan masyarakat umum, tetapi disebarkan di media sosial seakan-akan korban adalah tokoh agama. Terakhir, sebanyak 32 kasus adalah peristiwa fiktif yang diproduksi di media sosial.
”Dari hasil penyelidikan kami, belum ada serangan secara sistematis kepada tokoh agama. Isu menyebar karena adanya serangan udara dengan saling merangkaikan semua isu itu di media sosial,” kata Tito.
Pelaku utama penyebar isu itu ialah kelompok MCA yang terdiri atas 12 pengelola akun di Facebook. Lalu, kelompok itu juga memiliki 177 sniper yang mengatur lalu lintas produksi konten hoaks dan penyebaran hoaks kepada 100.000 anggota kelompoknya di media sosial.
Motif politik
Lebih lanjut, Tito mengungkapkan, penyebaran hoaks itu didasari motif politik yang memanfaatkan iklim politik yang memanas jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilu 2019. Para pelaku, lanjut Tito, menghendaki pergantian pemerintahan secara tidak sah dengan menyebarkan berbagai informasi untuk menghadirkan kesan pemerintah seolah-olah tidak kredibel.
”Situasi itu tidak hanya berbahaya bagi pemerintah, tetapi juga bagi kondisi kebangsaan kita karena dapat menimbulkan konflik,” ucap Tito.
Oleh karena itu, Tito berharap masyarakat seharusnya mengutamakan rasionalitas setiap menerima informasi di media sosial. Langkah itu diperlukan agar masyarakat tidak mudah terpancing emosinya ketika menemukan informasi yang bernuansa provokasi.