JAKARTA, KOMPAS — Angka perkawinan usia anak di Indonesia masih tinggi, yaitu berada di peringkat ketujuh dunia. Kampanye stop perkawinan usia anak yang gencar setahun terakhir belum membawa perubahan berarti. Ini karena upaya yang dilakukan pemerintah belum menyasar pada akar persoalan dari perkawinan anak, yaitu kultural dan ekonomi.
Secara global, berdasarkan data Unicef 2018, setiap tahun sekitar 12 juta anak perempuan menikah sebelum 18 tahun. Jumlah ini menurun 3 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik 2016 menunjukkan, prevalensi perkawinan usia anak, yakni persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun, di atas 20 persen. Angka itu hanya menurun 7 persen dalam 7 tahun.
Menurut Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab), lembaga riset untuk advokasi, Lies Marcoes, tanpa menyasar akar masalah, upaya mengatasi perkawinan usia anak tidak akan berhasil. Belum ada upaya berarti dari pemerintah untuk mengatasi ketimpangan jender dan pemberdayaan perempuan.
Tanpa menyasar akar masalah, upaya mengatasi perkawinan usia anak tidak akan berhasil.
”Ketimpangan jender mengakar kuat dalam kebudayaan kita. Secara umum, kebudayaan kita menempatkan perempuan dan remaja secara subordinatif dalam struktur masyarakat dan dalam pengambilan keputusan,” kata Lies di Jakarta, Jumat (9/3).
Perkawinan usia anak, kata Lies, juga terkait dengan kemiskinan. Dia mencontohkan perkawinan usia anak di sejumlah daerah yang terkait dengan krisis lahan dan agraria, yaitu Kalimantan yang menyumbang angka perkawinan usia anak 17-22 persen, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah 18 persen, serta Nusa Tenggara Barat dan Jambi 17 persen.
”Di daerah-daerah itu sejak 10 tahun terakhir terjadi krisis ekologis yang menggusur rakyat dari sumber ekonomi mereka digantikan industri masif yang tidak banyak menyerap tenaga kerja perempuan,” kata Lies.
Hal senada dikatakan peneliti Institut Hukum, Pemerintahan, dan Pembangunan Sekolah Hukum Leiden, Mies Grijns, dalam diskusi bertajuk ”Child, Early, and Forced Marriages in Indonesia: Impact and Counter Measures” di Universitas Indonesia (UI), kemarin. Masih ada anggapan, menikahkan anak di usia dini merupakan langkah untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Nilai agama, kata Lies, juga merupakan salah satu faktor signifikan yang menyebabkan perkawinan usia anak masih terus terjadi. Dalam diskusi tersebut, sosiolog UI, Ida Ruwaida Noor, mengatakan, hasil penelitiannya juga menyatakan demikian. Dari penelitiannya di Kabupaten Lombok Barat, NTB, dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada 2016 sebanyak 56 persen masyarakat menikah dini untuk mematuhi perintah agama, yaitu menghindari zina, dan 51,8 persen karena motif ekonomi.
Karena itu, kata Ida, butuh intervensi kultural ataupun struktural untuk mengatasi perkawinan usia anak. Intervensi ini harus memperhatikan ihwal kesejahteraan anak, yaitu kesehatan fisik, mental, keberdayaan, kompetensi sosial, dan kompetensi kognitif. Jika lima dimensi ini dimiliki secara paripurna, anak akan memiliki posisi tawar dalam menentukan nasibnya.
Dari aspek struktural, regulasi harus mendukung pencegahan perkawinan usia anak. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan usia minimal perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, masih ”mendukung” perkawinan usia anak. (son/dd01)