Perkawinan Usia Dini Naik 5,05 Persen
DEPOK, KOMPAS — Persoalan perkawinan anak telah menjadi masalah yang dibahas sejak kongres pertama perempuan Indonesia di Yogyakarta, 22 Desember 1928. Namun, hingga saat ini perkawinan anak kian menjadi-jadi.
Pada kongres pertama perempuan Indonesia, perkawinan anak menjadi salah satu persoalan yang ditekankan untuk dibahas selain peningkatan jumlah sekolah untuk perempuan, taklik atau perjanjian dalam perkawinan, dan regulasi untuk menjamin kesejahteraan janda dan anak yatim piatu. Kongres yang dipimpin oleh Soejatin dari Poetri Indonesia itu sepakat bahwa perkawinan anak harus diberantas.
Namun, setelah 90 tahun berlalu, masalah perkawinan anak belum tuntas. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, jumlah perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun sebanyak 14,04 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jumlah tersebut naik dari Susenas 2015, yaitu 8,99 persen.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, mereka masih tergolong sebagai anak-anak karena berusia di bawah 18 tahun. Mereka berhak mendapatkan perlindungan agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu, mereka pun berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sebagian besar anak perempuan menganggap pernikahan dini perlu dilakukan untuk mencegah zina dan kehamilan sebelum pernikahan.
Peneliti Institut Hukum, Pemerintahan, dan Pembangunan, Sekolah Hukum Leiden, Mies Grijns, di Depok, Jumat (9/3), mengatakan, anak-anak yang menikah di bawah usia 18 tahun cenderung meninggalkan sekolah, kemudian bekerja di sektor informal.
Dengan begitu, potensi kemajuan ekonomi dari generasi berusia produktif hilang. Bahkan, menurut dia, hal tersebut berdampak pada hilangnya 1,7 persen produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan penelitian Mies di satu desa di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terjadi pergeseran bentuk perkawinan anak. Dari perkawinan yang distereotipkan terjadi antara perempuan muda dan laki-laki tua menjadi perkawinan sesama remaja. Hal itu terjadi karena semakin banyak kehamilan di luar pernikahan.
”Batas usia tertinggi anak perempuan menikah pada 100 tahun saat ini juga berubah menjadi batas terendah usia menikah anak perempuan, yaitu 16 tahun,” ujar Mies dalam diskusi bertajuk ”Child, Early, and Forced Marriages in Indonesia: Impact and Counter Measures” di Universitas Indonesia (UI).
Diskusi itu juga menghadirkan pengajar Sosiologi UI, Ida Ruwaida Noor, dan dimoderatori pengajar Jender dan Lingkungan Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, Mia Siscawati.
Turut hadir Kepala Pusat Kajian Antropologi UI Achmad Fedyani Saifuddin, Wakil Dekan FISIP UI Dody Prayogo, serta Direktur KITLV Jakarta dan Perwakilan Tetap Universitas Leiden di Indonesia Marrik Bellen.
Mies menambahkan, salah satu faktor signifikan yang menyebabkan pernikahan anak masih terjadi adalah nilai agama. ”Sebagian besar anak perempuan menganggap pernikahan dini perlu dilakukan untuk mencegah zina dan kehamilan sebelum pernikahan,” ucapnya.
Di samping itu, mereka beranggapan, pernikahan dini merupakan langkah untuk membebaskan diri dari kemiskinan. Pengalaman mengalami kekerasan dan tidak mendapatkan kasih sayang karena perceraian orangtua juga mendorong mereka untuk menikah.
Ida menjelaskan, berdasarkan penelitiannya di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada 2016, sebanyak 56 persen masyarakat menikah dini untuk mematuhi perintah agama, yaitu menghindar zina. Sebanyak 51,8 persen masyarakat menikah dini karena motif ekonomi. Sisanya merupakan gabungan antara ketidakbahagiaan di dalam keluarga dan ketakutan ditinggalkan pasangan.
Praktik perjodohan yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat pun masih terjadi.
Perkawinan, lanjut Ida, dianggap sebagai sebuah keharusan bagi seorang anak yang sudah tampak dewasa secara biologis. Akan tetapi, usia mereka tidak menjadi pertimbangan.
”Praktik perjodohan yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat pun masih terjadi,” kata Ida.
Menurut dia, hal tersebut membuat anak berada dalam situasi sulit karena posisi tawar mereka tidak setimbang dengan para tokoh.
UU Perkawinan
Menurut Mies, perkawinan anak juga terjadi karena regulasi belum mendukung. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.
Batas usia menikah bagi perempuan yang bertentangan dengan UU Perlindungan Anak itu menuai protes dari masyarakat. Pada 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan uji materi atas Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Dewan Pengurus Harian YKP Zumrotin mengatakan, usia minimum perkawinan perlu direvisi karena pernikahan dini berdampak buruk pada kesehatan remaja perempuan (Kompas, 6/3/2014).
Namun, permohonan uji materi itu ditolak MK. Dalam sidang putusan yang dihadiri delapan hakim konstitusi, yaitu Patrialis Akbar, Arief Hidayat, Aswanto, Suhartoyo, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul, dan Maria Farida Indriati, MK menolak revisi Pasal 7 UU No 1/1974.
Dalam amar putusannya, MK mengatakan, tidak ada ajaran agama yang menjelaskan batas usia minimal perkawinan, tetapi hanya persyaratan bahwa calon mempelai sudah akil balig serta bisa membedakan yang baik dan buruk.
Dinyatakan pula bahwa tidak ada hubungan langsung antara pernikahan anak dan Pasal 7 yang menyatakan usia minimal perkawinan 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Perkawinan usia dini itu akibat masalah ekonomi dan rendahnya pendidikan (Kompas, 19/6/2015).
Dari kedelapan hakim konstitusi, hanya Maria Farida Indrati yang memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, pemahaman tentang hak asasi manusia telah berubah dibandingkan dengan saat UU Perkawinan dibuat. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Perlindungan Hak-hak Anak.
Maria menganggap, Pasal 7 UU Perkawinan bertentangan dengan UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut menegaskan, anak harus tumbuh berkembang sesuai minat di lingkungan yang aman dan nyaman. Orangtua dilarang membiarkan anak menikah hingga berusia di atas 18 tahun. “UU Perkawinan seharusnya bisa diubah agar sesuai keadaan,” kata Maria (Kompas, 19/6/2015).
Setelah ditolak pada 2015, permohonan uji materi atas pasal yang sama kembali diajukan oleh korban perkawinan anak, Rasminah, Maryanti, dan kuasa hukum dari Tim Koalisi 18+ pada awal 2017. Permohonan itu ditindaklanjuti dengan dua kali sidang, terakhir pada 7 Juli 2017. Namun, hingga delapan bulan setelahnya, belum ada kelanjutan sidang uji materi (Kompas, 10/1).
Menurut Ida, keputusan MK pada 2015 lebih mengutamakan perspektif agama dalam menilai persoalan batas usia perkawinan. Padahal, diperlukan perspektif lain untuk mengakhiri perkawinan anak.
Kesejahteraan anak
Meski permasalahan perkawinan anak masih terbelit persoalan kultural dan dasar hukum, menurut Mies, nasib anak perempuan tetap harus menjadi prioritas. Hal itu dapat dilakukan dengan mencegah pernikahan dini serta mengurangi dampak buruk dari pernikahan dini yang telah terjadi.
Konsep perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan perlu dipikirkan kembali. Perlindungan anak tidak bisa dibatasi oleh status pernikahan. Anak yang telanjur menikah tetap harus mendapatkan perlindungan seperti yang tertera dalam undang-undang.
Sementara itu, pemberdayaan perempuan juga tidak terbatas pada perempuan dewasa, tetapi juga pada anak perempuan.
Ida menambahkan, persoalan perkawinan anak membutuhkan intervensi, baik secara kultural maupun struktural. Intervensi tersebut perlu memperhatikan ihwal kesejahteraan anak (well-being).
Adapun kesejahteraan tersebut terdiri atas lima dimensi, yaitu kesehatan fisik, mental, keberdayaan (self regulation), kompetensi sosial, dan kompetensi kognitif.
Jika kelima dimensi tersebut sudah dimiliki secara paripurna, ujar Ida, anak akan memiliki posisi tawar dalam menentukan nasibnya. Mereka mampu menegosiasikan pendapat kepada orangtua ketika menghadapi paksaan untuk menikah. (DD01)