Perlu Dukungan Pemerintah dan Pemuka Agama
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendonorkan kornea mata masih rendah. Hal ini menyebabkan 80 persen operasi kornea mata masih bergantung pada pasokan dari luar negeri.
Faktor budaya dan nilai agama dinilai menjadi penyebab minimnya jumlah donor ini. Untuk itu, dukungan pemerintah dan pemuka agama diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau mendonorkan kornea.
Ketua Umum Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia Bank Mata Indonesia Tjahjono D Gondhowiardjo mengatakan, sebagian masyarakat masih menganggap organ tubuh, termasuk kornea, merupakan bagian privat sehingga masyarakat sulit untuk menyumbangkannya sebagai kepentingan sosial.
”Padahal, satu orang yang mau mendonorkan kornea matanya bisa menyelamatkan empat orang dari kebutaan,” ujarnya di sela-sela konferensi pers grand opening Lions Eye Bank di Jakarta, Sabtu (10/3).
Berdasarkan Survei Rapid Assesment of Avoidable Blindness dari Kementerian Kesehatan yang dilakukan di 17 provinsi di Indonesia pada 2014-2016, ada 3 persen penduduk dengan usia lebih dari 50 tahun yang menyandang kebutaan. Dari jumlah tersebut, 4,5 persen merupakan penyandang kebutaan kornea.
”Kebutaan kornea merupakan jenis kebutaan yang bisa dicegah dengan transplantasi kornea. Namun, keterbatasan saat ini, penderita kebutaan kornea tak bisa langsung dioperasi karena kornea donor tidak tersedia,” katanya.
Bank Mata Indonesia mencatat baru ada sekitar 15 persen pasien kebutaan yang dapat menjalani transplantasi atau cangkok kornea. Hal ini disebabkan keterbatasan kornea donor dari dalam negeri. Untuk mengatasi hal ini, upaya yang dilakukan dengan menerima donor kornea dari negara lain, seperti Sri Lanka, Filipina, Nepal, Belanda, dan Amerika Serikat.
Kebutaan kornea dapat terjadi karena kecelakaan, terinfeksi bakteri, virus, atau jamur, serta reaksi penolakan tubuh (autoimun). Penyebab lain akibat peningkatan tekanan bola mata (glaukoma), penumpukan materi abnormal akibat kelainan bawaan, kerusakan lapisan endotel, dan komplikasi tindakan bedah mata.
Ketua Lions Eye Bank Jakarta Sharita R Siregar yang juga dokter spesialis mata di Jakarta Eye Center (JEC) Hospital Jakarta mengatakan, beberapa kendala menjadi penyebab kurangnya kesadaran masyarakat untuk mendonorkan kornea matanya.
Masyarakat enggan mendonorkan kornea matanya karena menganggap donor kornea dilakukan dengan mengambil seluruh bagian bola mata. ”Padahal, dengan bantuan teknologi, pengambilan bisa dilakukan hanya pada bagian korneanya,” kata Sharita.
Ia menambahkan, sebagian besar masyarakat biasanya mendaftarkan diri di usia muda untuk mendonorkan kornea setelah ia meninggal. Namun, ketika meninggal ada anggota keluarga yang tidak setuju sehingga korneanya tidak dapat diambil. Tidak jarang pula, keluarga dan lingkungannya tidak tahu jika anggota keluarganya tersebut telah mendaftar untuk mendonorkan korneanya.
Selain itu, Tjahjono menyampaikan, regulasi yang berlaku di Indonesia juga dinilai dapat membatasi pengambilan kornea. Hal yang dimaksud tercantum di Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia membatasi pengambilan kornea.
Pasal tersebut mengatur, pengambilan kornea pada orang meninggal baru bisa dilakukan 48 jam sejak kematiannya jika tidak ada keluarga. Adapun kornea idealnya diambil maksimal enam jam setelah meninggal.
Dukungan pemerintah
Ia membandingkan dengan Filipina, pemerintah setempat telah mengatur undang-undang bahwa setiap kasus kematian yang terkait hukum, seperti kecelakaan lalu lintas dan pembunuhan, bagian kornea mata dari korban bisa diambil dalam waktu 6-12 jam.
Hal ini membuat jumlah ketersediaan kornea donor lebih tinggi dari Indonesia yang memiliki jumlah penduduk lebih besar.
Untuk itu, Tjahjono berharap, kerja sama antarsektor, baik dari pemerintah maupun masyarakat melalui komunitas dapat terjadi. Hal ini agar sosialisasi dapat lebih masif digalakkan. Pemuka agama dan tokoh masyarakat pun dinilai perlu lebih sering membicarakan masalah kebutuhan transplantasi ini.
Tokoh agama dan masyarakat lebih mudah memberikan pemahaman kepada publik sehingga anggapan yang salah mengenai donor organ tubuh bisa diminimalisasi. Kurangnya sosialisasi juga menjadi penyebab kurangnya kesadaran masyarakat untuk mendonorkan kornea.
Pemanfaatan teknologi
Sharita mengatakan, tindakan transplantasi saat ini lebih mudah dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. JEC telah menerapkan teknologi lamelar keratoplasty. Dengan teknologi ini, dokter hanya melakukan penggantian kornea pada bagian yang rusak saja dan tetap memertahankan jaringan kornea yang masih sehat.
Teknik lamelar ini terdiri dari dua jenis, yaotu Deep Anterior Lamellar Keratoplasty (DALK) dan Descements Stripping Automated Endothelial Keratoplasty (DSEK). ”DALK ditujukan untuk mengganti sebagian besar lapisan depan kornea, termasuk bagian kornea yang lebih dalam, sedangkan DSEK untuk mengganti lapisan tipis kornea terdalam melalui lubang atau sayatan kecil tanpa jahitan,” ujarnya.
Dengan metode ini, pemulihan pascaoperasi lebih cepat dibandingkan metode konvensional yang mengambil seluruh bagian kornea. Hal ini karena tindakan ini hanya membutuhkan sedikit jahitan saat transplantasi dilakukan.
Untuk melakukan transplantasi di JEC, Sharita mengatakan, butuh biaya sekitar Rp 50 juta. Untuk itu, meski fungsi kornea tidak optimal, biasanya dokter tidak akan langsung melakukan transplantasi jika produktivitas seseorang belum terganggu. (DD04)