Tiga Tahun Terakhir, Tujuh Orang Meninggal Setiap Hari karena Kecelakaan Kerja
JAKARTA, KOMPAS - Setidaknya tujuh orang meninggal dunia setiap hari akibat kecelakaan kerja dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Minimnya pengawasan dan disiplin kerja membuat angka kecelakaan kerja cukup tinggi. Pemerintah didesak untuk memperketat pengawasan keselamatan kerja dan merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja yang mengutip Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, jumlah korban jiwa akibat kecelakaan kerja pada tahun 2015 sebanyak 2.375 orang, tahun 2016 sebanyak 2.382 orang, dan tahun 2017 sebanyak 3.173 orang. Rata-rata setiap tahun ada 2.643 orang yang meninggal dunia pada rentang waktu 2015-2017 atau terdapat tujuh orang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja setiap hari.
Jumlah kecelakaan kerja pada tiga tahun terakhir menembus 100.000 kejadian. Pada 2015 jumlah kecelakaan kerja sebanyak 110.000 kejadian, 2016 sebanyak 101.000 kejadian, dan 2017 ada 123.000 kasus. Dalam tiga tahun, BPJS Ketenagakerjaan mengeluarkan biaya pengobatan kecelakaan kerja hingga Rp 2,5 trilliun.
“Berdasarkan pemetaan di lapangan, penyebab terjadinya kecelakaan kerja adalah karena kurangnya pengawasan di lapangan dan kurang pemahaman tentang penggunaan alat pelindung diri,” ujar Kepala Seksi Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja Daafi Armanda, Selasa (6/3).
Tingginya angka kecelakaan kerja sejalan dengan rendahnya jumlah perusahaan yang berhasil mencatatkan nol kejadian kecelakaan kerja (zero accident). Data Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) menunjukkan, jumlah perusahaan yang mencatat nol kejadian kecelakaan kerja pada periode 1996-2015 sebanyak 7.325 perusahaan. Jumlah tersebut setara dengan 2,7 persen dari total 262.347 perusahaan yang ada di Indonesia. Perusahaan itu terdiri dari berbagai seluruh sektor mulai dari konstruksi, industri, perkebunan, migas, dan lain-lain.
“Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, perusahaan-perusahaan belum menunjukkan komitmen untuk mencegah kecelakaan kerja. Yang kedua, masih rendahnya disiplin dan taat prosedur mencapai keselamatan dan kesehatan kerja,” ujar Kepala Kesekretariatan DK3N Amri AK.
Kecelakaan Becakayu
Dari seluruh sektor itu, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengutip data Kementerian Tenaga Kerja pada 2013, sektor konstruksi menyumbang kecelakaan kerja tertinggi dibandingkan sektor-sektor lain yakni rata-rata 32 persen pada periode 2007-2011. Jumlah kecelakaan kerja pada 2007 mencapai 83.714 kasus, 2008 sebanyak 94.736 kasus, 2009 sebanyak 96.314 kasus, 2010 sebanyak 98.711 kasus, dan 2011 sebanyak 99.491 kasus.
Merujuk data Badan Pusat Statistik yang mengutip data Kementerian Tenaga Kerja pada 2013, sektor konstruksi menyumbang kecelakaan kerja tertinggi dibandingkan sektor-sektor lain yakni rata-rata 32 persen pada periode 2007-2011
Pada Februari 2018 misalnya, terdapat tiga kecelakaan kerja konstruksi di Jakarta yang menyebabkan 5 orang tewas dan 9 orang terluka. Kejadian itu antara lain pada proyek pembangunan jalur kereta api dwiganda (double-double track) di Matraman, Jakarta Timur (4 tewas, 1 terluka), ambrolnya terowongan jalan perimeter selatan Bandara Soekarno-Hatta (1 tewas, 1 terluka), dan ambrolnya cetakan penyangga kepala tiang Tol Bekasi-Cawang –Kampung Melayu di Jalan DI Panjaitan Jakarta Timur (7 pekerja terluka).
Rentetan kejadian kecelakaan kerja infrastruktur atau setidaknya 14 kecelakaan pada proyek strategis nasional pada rentang waktu Agustus 2017 hingga Februari 2018 membuat pemerintah menginstruksikan penghentian sementara. Terdapat 40 proyek yang dievaluasi Komite Keselamatan Konstruksi selama sembilan hari sebelum dilanjutkan kembali dengan sejumlah rekomendasi.
Kecelakaan kerja terakhir di proyek Tol Becakayu yang menyebabkan tujuh pekerja terluka juga diselidiki polisi. Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur menetapkan dua tersangka pada insiden tersebut, yakni AA yang menjabat kepala pelaksana lapangan dari PT Waskita Karya dan AS yang menjabat kepala pengawas dari PT Virama Karya dengan mengenakan pasal kelalaian.
Padahal, selain unsur kelalaian yang terkait kesalahan prosedur pengecoran juga terdapat pengurangan material batang baja. Saat kecelakaan kerja terjadi pada tiang PCB 34 Tol Becakayu, Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, pada 20 Februari lalu, itu ditemukan hanya empat batang baja yang dipasang pada bracket di tiang tersebut. Adapun sesuai desain eksisting, seperti dimuat dalam dokumen Metode Improvement dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, semestinya ada 12 batang baja yang dipasang pada bracket dengan menembus tiang tol.
PT Kresna Kusuma Dyandra Marga selaku pemilik proyek Tol Becakayu, pun mengungkap adanya pengurangan dalam penggunaan batang baja pada bracket. Pimpinan Proyek Tol Becakayu dari PT KKDM Herarto Startiono mengakui, bahwa saat cetakan kepala tiang itu ambrol ditemukan jumlah batang baja yang dipasang pada bracket oleh PT Waskita Karya, selaku pelaksana proyek, itu hanya 4 batang.
Namun, PT Waskita Karya membantah adanya pengurangan spesifikasi material. “Tak mungkin kami mengurangi stress bar. Berapa sih nilainya. Jika itu dikurangi maka tak setimpal dengan risiko yang ditanggung,,” ucap Kepala Divisi III PT Waskita Karya Dono Parwoto.
Ahli Manajemen Konstruksi dari Universitas Indonesia Mohammed Ali Berawi mengungkapkan, kecelakaan konstruksi pada umumnya itu bisa karena beberapa faktor. Pada tahap pra-konstruksi, kealpaan bisa berasal dari perancangan desain yang keliru perhitungan kekuatan beban atau underdesign. Desain konstruksi harus dibuat untuk mampu menahan beban di atasnya.
“Kekeliruan menghitung dan merencanakan membuat kekuatan konstruksi yang dibuat tidak mampu menahan beban yang akan diangkutnya, jika tidak bisa berbahaya,” ujar Ali.
Bila proyek dikerjakan dengan mengurangi spesifikasi material dan prosedur yang tidak tepat maka akan mengurangi kualitas konstruksi. Ini berisiko sekali mengakibatkan kecelakaan kerja
Kecelakaan kerja juga bisa terjadi pada tahap pelaksanaan pembangunan (proses konstruksi). Dalam pelaksanaan pembangunan, pelaksana proyek harus mengerjakannya sesuai desain rancang bangun, mengikuti prosedur yang ditetapkan, menggunakan material yang sesuai dengan spesifikasi, serta memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
“Bila proyek dikerjakan dengan mengurangi spesifikasi material dan prosedur yang tidak tepat maka akan mengurangi kualitas konstruksi. Ini berisiko sekali mengakibatkan kecelakaan kerja,” ujar Ali.
Pembenahan sistem
Ketua Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Irwan Kartiwan mengatakan, kecelakaan kerja itu bisa dikurangi apabila terbangun sistem pengawasan yang baik serta profesionalitas antara pihak-pihak.
Ia mengatakan, kecelakaan kerja itu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak kontraktor. Sebab, dalam kecelakaan kerja, pihak kontraktor adalah korban sekaligus pelaksana di lapangan.
“Kalau ada kecelakaan kerja, pekerja yang terluka itu kan kontraktor, apa iya kami bunuh diri? Kan tidak. Artinya, harus dibangun sistem pengawasan yang ketat untuk memastikan proyek dibangun dengan baik,” ujar Irwan.
Pembenahan sistem juga disuarakan Ali. Ia menilai, sistem tender yang memenangkan tawaran perusahaan dengan anggaran terminim dan termurah itu juga menurunkan kualitas konstruksi. Ali yang menamatkan studi doktoralnya di Oxford Brookes University, Inggris ini, mengatakan, tender seharusnya dilakukan dengan metode beauty contest bukan dengan penawaran termurah.
“Kalau sistem meritokrasi seperti ini diterapkan, maka perusahaan pelaksana proyek akan berlomba-lomba menawarkan produk konstruksi dengan spesifikasi terbaik yang tentu menghasilkan kualitas terbaik,” ujar Ali.
Selain itu nilai kontrak investasi proyek yang dipatok dari awal membuat membuat pelaksana proyek tidak bisa lagi membuat penyesuaian harga barang yang bisa terjadi di kemudian hari. Pembangunan infrastruktur itu memakan waktu beberapa tahun atau proyek tahun jamak (multiyears project). Apabila di tahun kedua misalnya terjadi kenaikan harga material, akibatnya, material harus menyesuaikan anggaran yang sudah dipatok dari awal.
“Pada waktu ke depan kan bisa saja ada kenaikan harga barang tapi dana yang dipatok sudah segitu-segitu saja. Nah ini yang berpotensi kurangi kualitas, karena barang yang dibelanjakan kan harus pas dengan dananya,” ujar Ali.
Tidak hanya itu, Ali juga mengusulkan agar dijalankan metode penilaian kinerja kontraktor. Apabila kontraktor tersebut sering mencatat kecelakaan kerja, maka harus masuk daftar catatan hitam. Sebaliknya, kontraktor yang professional dan bekerja dengan rapi, harus memperoleh apresiasi.
Konsekuensinya, kontraktor yang berprestasi akan lebih mudah memperoleh proyek dan kontraktor yang wanprestasi akan dipaksa untuk memperbaiki kinerjanya untuk memperoleh proyek.
“Sistem meritokrasi ini yang belum terbentuk di Indonesia. Seharusnya mengedepankan kualitas,” kata Ali.
Selain mendorong perbaikan sistem jasa konstruksi, Ali mengatakan, parlemen harus merevisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada undang-undang itu, sanksi yang dikenakan bagi pihak-pihak yang mengakibatkan kecelakaan hanya sebesar Rp 100.000 dan hukuman penjara tiga bulan.
“Tahun 1970 uang sebesar Rp 100.000 itu luar biasa besar. Puluhan tahun kemudian jumlah tersebut tidak lagi besar sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Maka ini harus direvisi agar bisa membangunkan kesadaran untuk mendorong keselamatan kerja,” tutur Ali.
(BKY/ADY/DD05)
Baca juga
- Ada Pengurangan Batang Baja di Balik Ambrolnya Tiang Tol Becakayu
- Waskita Karya Akui Ada Ketelodoran di Proyek Tol Becakayu
- Benarkah Ambrolnya Tiang Tol Becakayu karena Kelalaian Semata?
- Audit Investigasi Proyek Infrastruktur BUMN yang Alami Kecelakaan Kerja
- BPK Bisa Lakukan Audit Investigasi
- Percepatan Proyek Infrastruktur dalam Bayangan Kerawanan Korupsi
- Sektor Konstruksi Rawan Korupsi