Benahi Sistem Penelitian
JAKARTA, KOMPAS -- Penelitian dan pengembangan iptek tidak akan mencapai target yang diinginkan apabila sistem atau pola kerja yang dibangun tidak sesuai. Ini merupakan masalah mendasar yang perlu lebih dahulu dibenahi.
Dengan sistem yang sesuai, maka institusi yang ada bisa dioptimalkan. Pembentukan organisasi baru bukan pilihan yang tepat karena akan memerlukan waktu lama dan akan menghentikan riset yang ada.
Demikian benang merah pendapat Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, Kepala Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi, dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Sabtu (10/3), terkait rencana penataan kelembagaan riset nasional dan pembentukan Badan Riset Nasional (BRN) yang digagas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dalam rencana pembentukan BRN, menurut Plt Sekretaris Utama LIPI Laksana Tri Handoko, yang juga Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, nantinya AIPI akan jadi lembaga atau konsil ilmiah. Jadi, AIPI berfungsi memberi masukan bagi BRN. (Kompas, 8/3)
Berbeda dengan DRN yang dibentuk untuk memberi rekomendasi kepada Menteri Ristek Dikti, BRN berada sejajar dengan Kemenristek Dikti dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pembentukan BRN berdasarkan peraturan presiden.
Apabila nanti dibentuk BRN yang akan menyatukan lembaga riset di kementrian dan lembaga, menurut Satryo, tidak dapat menggabungkan AIPI dalam badan tersebut. Ini karena AIPI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1990, yang menyatakan AIPI sebagai lembaga independen, non pemerintah, dan bukan lembaga riset. Tugasnya memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah dan pihak manapun dalam pemanfaatan iptek.
Apabila nanti dibentuk BRN yang akan menyatukan lembaga riset di kementerian dan lembaga, tidak dapat menggabungkan AIPI dalam badan tersebut.
“Jadi AIPI di luar sistem, tidak mungkin masuk dalam BRN yang akan dibentuk berdasarkan perpres (peraturan presiden),” katanya.
Dalam hal ini, AIPI dapat memberi masukan tentang arah pengembangan iptek di Indonesia. Hal ini tertuang dalam buku tentang Science 45 yang diterbitkannya, yang berisi hal-hal yang harus diteliti tahun 2045.
Satryo mengatakan, membentuk lembaga baru prosesnya lama. "Lebih baik yang ada sekarang di tingkatkan perannya, dan dipertegas pembagian tugasnya," lanjut Satryo.
Kurang diberdayakan
Hal senada dikemukakan Unggul yang melihat DRN dan AIPI masih kurang diberdayakan. Dia mengatakan, AIPI karena merupakan lembaga yang independen, maka dapat mendukung pengembangan iptek untuk kepentingan negara atau bangsa. Hal yang sama dilakukan National Academy of Science di Amerika Serikat yang melakukan telaah tentang perkembangan tren iptek dan memberi masukan kepada presidennya.
Selama ini, DRN dan AIPI kurang diberdayakan. Karena merupakan lembaga yang independen, AIPI dapat mendukung pengembangan iptek untuk kepentingan negara atau bangsa.
Menurut Bambang, rencana pembentukan BRN, di luar yang selama ini diwacanakan. Beberapa waktu lalu Forum Profesor Riset Nasional mengajukan usulan kepada Megawati Sukarnoputri tentang perluasan peran DRN menjadi Dewan Riset dan Inovasi Nasional.
“Pada masa pemerintahan BJ Habibie, DRN pernah dinaikkan statusnya dari di bawah Menristek menjadi di bawah Presiden. Namun kini kembali di bawah Menristekdikti,” katanya.
Menurut Satryo yang perlu lebih dulu dibenahi adalan sistem keuangan yang berlaku karena belum cocok untuk kegiatan penelitian iptek. Saat ini setiap institusi riset harus mengajukan usulan program kegiatan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Pelaksanaan program itu hanya setahun. Padahal penelitian tidak mungkin setahun, tetapi bisa puluhan tahun untuk menghasilkan inovasi yang bernilai signifikan dan komersial.
"Penelitian dikategorikan sebagai kegiatan belanja barang, belanja pegawai, dan biaya perjalanan. Ini sangat kaku. Mata Anggaran Kegiatan ini harus ditiadakan diganti dengan sistem block grant," kata Satryo.
Anggaran yang dikeluarkan harus melalui sistem hibah ini mengacu pada agenda nasional yang dicanangkan pemerintah. Ia mengambil contoh, apabila pencanangan pemerintah untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada tahun 2030, maka semua lembaga terkait misalnya di sektor transportasi, kehutanan, dan industri mengajukan isu atau program riset yang akan ditangani untuk mencapai target itu serta anggaran yang diperlukan.
"Untuk mengkaji usulan itu presiden harus membentuk tim adhoc sebagai evaluator. Tim ini terdiri dari tokoh ilmuwan nasional dan internasional yang independen. Sebetulnya DRN dapat berperan melakukan hal ini karena tidak mengeksekusi program. Hanya memberi masukan kepada presiden," kata Satryo.
Pelaksanaan penelitian juga harus multi disiplin ilmu. Saat ini sistem keuangan tidak mungkin multi tahun dan multi disiplin.
Menurut Unggul, tumpang tindih dan pengulangan kegiatan riset selama ini merupakan kesalahan manajemen riset dalam lingkup nasional. Untuk membenahinya harus dilihat dan diatur lagi tugas pokok dan fungsi setiap lembaga riset termasuk yang berada di kementerian.
Untuk lembaga litbang di kementerian mestinya melakukan sertifikasi dan pengujian untuk inovasi yang dihasilkan. Selama ini litbang kementerian juga melakukan riset hilir, papar Unggul.
Dari segi sumberdaya manusia, beberapa kementrian seperti Pertanian juga lebih besar daripada LPNK, yaitu sekitar 450 sedangkan BPPT 290 lebih. Jadi bila dibandingkan Balitbangtan dengan LPNK, ibarat tanker dan perahu. Anggaran riset pun jauh lebih besar mencapai triliunan rupiah. Untuk riset sawit saja mencapai Rp 1 triliun. Sedangkan LPNK dana riset ratusan miliar rupiah.