Calon Guru Melimpah
JAKARTA, KOMPAS — Membaiknya tingkat kesejahteraan guru dengan sejumlah tunjangan memicu minat para lulusan SMA/ sederajat menempuh program studi ilmu keguruan dan pendidikan. Hal itu mendongkrak jumlah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) atau lembaga pendidikan calon guru tanpa diikuti dengan pengendalian mutu.
Mutu LPTK yang dangkal berdampak bagi masa depan lulusannya. Di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pangeran Dharma Kusuma (Padhaku) Indramayu, Jawa Barat, misalnya, karier lulusannya terancam mentok pada status guru honorer saja.
Hari Jumat (9/3), sejumlah alumnusnya yang merupakan guru honorer datang ke STKIP Padhaku di Segeran, Kecamatan Juntinyuat, sekitar 25 kilometer dari pusat Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Mereka membawa dokumen seperti ijazah dan kartu tanda penduduk. ”Saya mau ikut pendidikan profesi guru (PPG). Namun, enggak bisa karena kampus saya tidak terdaftar,” ujar Hidayat Risyandi (28), guru honorer SMAN 1 Gabuswetan, Indramayu.
- English Version: Oversupply of Prospective Teachers
PPG dibutuhkan untuk menyediakan guru profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Dengan begitu, guru akan meraih tunjangan sertifikasi yang besarnya satu kali gaji pokok.
Menurut Hidayat, kampusnya, yakni STKIP Padhaku, tidak terdapat di daftar kampus yang dapat mengikuti PPG. Padahal, sekolah tinggi yang terletak di tengah persawahan itu telah berdiri sejak 2013. Akreditasinya masih C. Kampus dengan 14 dosen tetap bergelar master tersebut mengasuh program studi Pendidikan Sejarah, Pendidikan Guru SD, Pendidikan Biologi, dan Pendidikan Ekonomi.
Hari Jumat itu tak tampak aktivitas belajar-mengajar. Ruangan dosen yang dindingnya terkelupas dan plafon bolong di sana-sini tampak terkunci. Hanya ruangan tata usaha yang terbuka melayani permintaan alumnus terkait pendaftaran PPG.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjadi titik awal menjamurnya LPTK, diikuti melubernya sarjana pendidikan. UU tersebut menjanjikan kesejahteraan pada guru berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Guru yang bersertifikat pendidik dapat meraih penghasilan tiga kali lipat daripada PNS lainnya.
Suryadi Ahmad (45), guru PNS di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, memiliki gaji pokok Rp 5 juta. Saat menerima tunjangan sertifikasi, penghasilannya bisa menjadi Rp 15 juta. Tunjangan itu diterima per tiga bulan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, sebelum UU itu berjalan, jumlah LPTK hanya sekitar 90 institusi. Setelah tahun 2005, jumlahnya terus bertambah hingga menjadi 374 pada 2012. Tahun 2014 menjadi 381. Kemudian tahun 2016 menjadi 421 LPTK.
LPTK itu sebagian dalam bentuk universitas (dulu dikenal dengan IKIP).
Sarjana melimpah
Pembengkakan LPTK membuat lulusan sarjana pendidikan pun melimpah. Tiap tahun jumlah sarjana pendidikan yang diluluskan LPTK sekitar 260.000 orang. Namun, yang terserap untuk ikut PPG hanya sekitar 27.000 orang.
Sebagian besar lembaga pencetak calon guru tak berakreditasi baik. Hanya 18 LPTK yang terakreditasi A dan 81 yang terakreditasi B. Dari sisi program studi, hanya 209 yang terakreditasi A. Adapun yang terakreditasi B hanya 811 program studi. Padahal, jumlah program studi Ilmu Pendidikan paling banyak, yakni 5.724 program studi dari total 26.864 program studi di perguruan tinggi di Indonesia. Jumlah mahasiswa calon guru sekitar 1,2 juta orang.
Ketidaksesuaian juga terjadi antara bidang ilmu yang dibutuhkan sekolah dan program studi yang dibuka di LPTK. Kebutuhan guru produktif untuk SMK minim disediakan LPTK. Sebaliknya, guru bidang lain yang sudah melimpah dan jenuh masih terus disediakan LPTK.
Sebagai contoh, sarjana Pendidikan Ekonomi sudah melimpah. Namun, di LPTK program studi ini masih dibuka dalam jumlah banyak dan diserbu mahasiswa. Sebaliknya, kebutuhan guru Seni Rupa masih tinggi, yang pada tahun 2017 mencapai 3.801 guru. Namun, sarjana pendidikan bidang seni rupa hanya 964 orang. Berdasarkan kajian Kemristek dan Dikti, program studi yang sepadan kapasitas penerimaan mahasiswa dan kebutuhan di lapangan hanya untuk teknik mesin dan pendidikan antropologi.
Ketidaksesuaian program studi dengan kebutuhan berisiko menimbulkan ketidaksesuaian guru mata pelajaran di sekolah, dan juga penganggur lulusan pendidikan tinggi.
Shifria, lulusan Pendidikan Kimia dari Universitas Negeri Surabaya, sudah mengirim lamaran untuk mengajar ke sejumlah sekolah, tetapi belum ada panggilan.
”Saya akhirnya ngajar di bimbingan belajar dari 2012-2017. Kalau di bimbel kan fokus ke latihan soal-soal. Sementara dulu saya belajar di kampus lebih fokus pada cara mengajarkan ilmunya,” katanya.
FKIP Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mengasuh hampir 7.000 mahasiswa dan hampir 1.000 mahasiswa diwisuda setiap tahun. Namun, tak semua yang diwisuda itu terserap jadi guru.
Universitas PGRI Palembang, yang baru membuka program studi PGSD tahun 2017, juga diserbu peminat. Saat baru buka, sudah 400 pendaftar, sedangkan daya tampung hanya 200,” ujar Wakil Rektor PGRI Palembang II bidang Administrasi dan Kepegawaian Yasir Arafat.
Di Semarang terdapat dua universitas pendidikan guru terbesar, yakni Universitas Negeri Semarang dan Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang (UPGRIS) yang meluluskan ribuan sarjana per tahun. Namun, hampir 80 persen lulusan tidak lanjut ke jenjang profesi.
Sekretaris Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Nurzaman mengatakan, mutu guru sangat dipengaruhi oleh LPTK.
Mutu guru tampak dari hasil uji kompetensi guru tahun 2015. Nilai rata-rata yang dicapai hanya 56,69. Materi yang diujikan adalah kemampuan pedagogik dan kemampuan profesional guru menguasai materi ajar. Kluster guru SD memiliki nilai rata-rata terendah, yaitu 54,33. Nilai rata-rata tertinggi di-
raih kluster guru SMA, yaitu 61,74.
Hal itu juga tampak dari hasil tes siswa internasional PISA tahun 2015 yang menunjukkan Indonesia di peringkat nyaris terendah, yakni ke-64 dari 72 negara. Siswa Indonesia lemah di bahasa, sains, dan matematika (DNE/FLO/IKI/RAM/IDO/KRN/ELN/NSAVIO/SEM/GER/NAR)