Kebebasan Imaji dan Mimpi ”Sukhavati” Riyanto
Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal seni. Namun, pengalamannya ”melayani” seniman di sejumlah tempat menumbuhkan keberanian untuk bebas berfantasi dan berekspresi.
Seperti kata pepatah, ”Pengalaman adalah guru yang terbaik”, demikianlah kisah hidup Riyanto Sudikyo, perupa otodidak yang baru saja menggelar pameran tunggal bertajuk ”Sukhavati” di Omah Petroek, Karang Klethak, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 24 Februari-10 Maret 2018. Tanpa harus terbebani dengan landasan-landasan teori akademik, seniman otodidak ini mampu menyuguhkan karya-karya seni rupa dan instalasi yang liar dan unik.
Bakat seni Riyanto benar-benar tumbuh dari ”alam” pergaulan. Setelah tak bisa melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi, saat masih SMA di Semarang, Riyanto kemudian bekerja serabutan di rumah seorang Bali yang ternyata adalah saudara pelukis Bali, Krisnamurti. Dari situlah, Riyanto mengenal Krisnamurti yang kemudian mengajaknya ke Bandung, lalu ke Bali untuk menjaga sebuah toko kerajinan seni di Sukawati.
Sembari bekerja, perlahan-lahan Riyanto belajar melukis, tepat di salah satu jantung seni Bali, Sukawati. Tak sungkan-sungkan, ia juga beguru kepada dua seniman dari Batuan, Made Tubuh dan Ketut Murtika.
Berawal sebagai pelayan
Dalam kesempatan apa pun, dan kepada siapa pun, Riyanto mau belajar dan mencecap ilmu. Ia bahkan tak segan mengakui turut belajar banyak dari perupa ternama, seperti Nasirun dan Heri Dono. Ia memang pernah hidup dan membantu kedua seniman itu.
”Riyanto tidak berkesempatan mengklaim dirinya sebagai seniman. Ia menerima jika dirinya hanyalah disebut pelayan, bahkan tukang bagi seniman yang memang pernah dibantunya. Namun, di segala kesempitan itu, ia selalu mencari kesempatan untuk belajar dan menjadikan dirinya seorang yang bisa berkarya seperti yang ia inginkan dan cita-citakan,” kata Sindhunata, kurator pameran tunggal ini pekan lalu.
Pengalaman hidup Riyanto di berbagai tempat, seperti Semarang, Bandung, dan Bali, turut memengaruhi karya-karya lukisan dan instalasi yang dipamerkan dalam Pameran Sukhavati di Omah Petroek. Karya-karya merupakan perpaduan tradisi Jawa, kultur China, dan kehidupan Bali. Secara kebetulan juga, pameran ini bertepatan dengan perayaan Imlek 2018/2569 yang juga merupakan shio Anjing Tanah.
Seruan perdamaian
Salah satu karya Riyanto yang menarik adalah lukisan berjudul ”Putri Tikus di Tahun Anjing” yang sarat akan seruan pesan perdamaian di tengah menghangatnya gejolak intoleransi akhir-akhir ini. Dalam lukisan ini, Riyanto mendobrak segala ramalan shio dan perhitungan fengsui yang selama ini diamini banyak orang.
Lukisan itu menggambarkan tentang seorang putri cantik bergaun panjang yang tengah menunggangi seekor anjing putih. Putri itu disebutnya Putri Tikus dengan kuping lebar seperti halnya tikus. Menurut ramalan shio, tikus dan anjing berlawanan atau jiong. Namun, dalam lukisan tersebut, Riyanto justru menggambarkan suasana kerukunan di antara putri, anjing, dan monyet yang menurut fengsui juga tidak cocok dengan anjing.
Di belakang Putri Tikus tampak para dewa tertawa di Sukhavati, surga yang penuh dengan kebajikan, ketenteraman, dan keagungan. ”Dewa-dewa tertawa itu seakan menertawakan segala ramalan shio dan perhitungan fengsui yang dibuat manusia di dunia ini. Di Sukhavati, semua ramalan dan perhitungan itu gugur dan tidak berlaku lagi. Jika kerukunan anjing dan tikus di Sukhavati itu ditarik ke sini, di bumi ini pun akan terjadi kerukunan dan kedamaian,” kata Sindhunata.
Masih berkisah seputar legenda Tionghoa, Riyanto juga membuat karya instalasi berjudul ”Kupu-kupu Cinta Abadi” di pelataran Kelenteng Bio Ciu Bah Petroek di Omah Petroek. Di atas kolam di depan kelenteng itu dibangun sebuah jembatan kecil, khas jembatan dalam tradisi romantisisme China, berwarna merah. Di atas pegangan jembatan, Riyanto meletakkan patung yang menggambarkan sepasang kekasih, Sam Pek dan Eng Tay, yang dirangkai dengan lingkaran besi berbentuk yin dan yang.
Di sekitar patung itu, Riyanto menempelkan patung kupu-kupu berbahan keramik. ”Hanya dengan cinta, kehidupan dan kesegaran di bumi ini dapat hidup dan datang kembali. Seperti kupu-kupu kuning yang mati di utara agar hujan turun kembali ke bumi, cinta Sam Pek Eng Tay yang terbang bersama kupu-kupu itu juga membuahkan kehidupan dan harapan yang mekar kembali di atas bumi ini,” kata Sindhunata.
Di Omah Petroek, tepatnya di depan Omah Lumbung atau rumah tradisional Jawa yang atapnya didesain seperti atap kelenteng, Riyanto membuat instalasi berjudul ”Petruk Liwet”. Instalasi ini berbentuk mandala yang tersusun dari tumpukan batu bata yang menyimbolkan alam semesta.
Yang unik dari instalasi ini adalah Riyanto meletakkan sebuah soblok dari seng yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperti stupa. Soblok itu ditaruh di atas wajan, yang diletakkan di atas sebuah pawon atau dapur. Ia seperti hendak mengajak kepada siapa pun berkonsentrasi dan memusatkan perhatian pada pawon.
Pesan simbolis ini hendak mengajarkan bahwa orang harus fokus dalam mengendalikan pikiran, seperti halnya orang memasak di dapur agar hasil masakannya nikmat. ”Dalam hidup ini semuanya dimulai dari pawon,” kata Riyanto.
Di depan pawon, Riyanto menaruh patung salah satu tokoh punakawan, Petruk, yang sedang bersamadi. Petruk turut meneladani laku semadi Buddha. Maka, di samping barat patung Petruk ditaruhlah patung Buddha yang dikelilingi dengan kepala-kepala Buddha.
Penyematan tema ”Sukhavati” dalam pameran tunggal ini sama sekali bukan sekadar menggali romantisisme sejarah berkesenian Riyanto di Sukawati, Bali, melainkan lebih jauh dari itu, ”Sukhavati” dimaknai sebagai harapan dan kerinduan tentang tanah perdamaian abadi yang kita rindukan. Seperti diajarkan Buddha, ”Sukhavati” adalah tempat atau surga yang penuh dengan kebajikan, ketenteraman, dan keagungan.
”Sukhavati adalah suatu tempat abadi nun jauh di sana yang sangat tepat untuk menggambarkan kerinduan saya. Dengan tema ini, saya merasa masih harus terus mengejar cita-cita kesenian saya. Tidaklah mudah meraih cita-cita yang jauh itu,” kata Riyanto.
Baginya, pameran ini bukan semata-mata sebagai kesempatan berseni, melainkan juga ritual untuk bersyukur, memohon maaf, dan berdoa seperti ketika orang memohon pertolongan dan memuja nama Amitabha Buddha di tanah Sukhavati, surga cinta kasih dan kebahagiaan yang tiada batasnya.