Ketika ”Kota Terapung” di Kepulauan Aru Hidup Kembali
Pamor perairan di Kepulauan Aru, Maluku, yang meredup selama lebih dari 3 tahun kini kembali bergairah. Lampu-lampu kapal menghiasi gelapnya malam di atas perairan yang pernah menjadi surga penangkapan ikan ilegal, peredaran narkoba, hingga perbudakan nelayan itu.
Di Selat Wamar, seperti tampak pada awal Maret lalu, berjejer banyak kapal penangkap ikan. Gemerlap lampu dan aktivitas dari kapal-kapal itu membuatnya tampak bak ”kota terapung”.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku mencatat lebih kurang 1.300 kapal ikan secara bergelombang datang dari pantai utara Pulau Jawa ke Laut Arafura sejak tahun lalu. Banyak di antaranya kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang yang belakangan ramai menjadi polemik.
Pulau Wamar menjadi tempat terdekat bagi kapal-kapal yang umumnya berukuran di atas 30 gros ton (GT) untuk mengisi bahan bakar, perbekalan, dan mengurus kelengkapan administrasi kapal.
Di pulau itulah terletak Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, yang menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan setempat. Dobo berada di tenggara Maluku yang berjarak sekitar 702 kilometer dari Kota Ambon, ibu kota Maluku.
Aktivitas kapal-kapal itu membuat Pelabuhan Yos Sudarso, Dobo, menjadi ramai. Perahu motor kecil berlabuh menanti disewa anak buah kapal ikan. Perahu itu menjemput dan mengantar mereka dari pelabuhan ke kapal yang lego jangkar di lepas pantai.
Hampir setiap saat, tak kurang dari 20 perahu motor tersedia. Padahal, biasanya setelah pukul 17.00 WIT, pelabuhan itu sepi kecuali ada kapal yang sandar.
Lebih kurang 1.300 kapal ikan secara bergelombang datang dari pantai utara Pulau Jawa ke Laut Arafura sejak tahun lalu. Banyak di antaranya kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang.
Di atas pelabuhan juga berjejer pedagang kaki lima. Mereka pun beroperasi selama 24 jam per hari. Begitu pula pengojek motor yang membuka pangkalan di pelabuhan. Sebelumnya, pengojek hanya menunggu jam masuk dan pulang sekolah. Mereka mengais rezeki dari aktivitas pelajar yang datang dari Wokam, pulau di seberang Wamar, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Namun, Kece (42), pengojek yang pernah bekerja di kapal ikan eks asing, rupanya tak terlalu senang dengan kondisi tersebut. ”Orang luar yang datang cari ikan di sini, tapi kami di sini tidak diperhatikan,” ujarnya kepada Kompas dengan nada kecewa, Senin (5/3) malam.
Selama belasan tahun, Kece bekerja di kapal ikan milik perusahaan nasional yang bekerja sama dengan perusahaan asing.
Ketika penertiban sektor perikanan di era Presiden Joko Widodo dengan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dilakukan sejak Oktober 2014, kapal eks asing dilarang beroperasi. Kece dan ratusan nelayan yang bekerja di perusahaan ikan itu kembali ke darat. Mereka beralih jadi buruh serabutan dan pengojek.
Selain nelayan, banyak juga warga Aru yang kehilangan pekerjaan setelah perusahaan tempat mereka bekerja, PT Pusaka Benjina Resources, ditutup dengan tuduhan melakukan perbudakan terhadap nelayan dan sejumlah pelanggaran aturan di sektor perikanan.
Perusahaan itu pernah menyulap Pulau Benjina, sekitar 1,5 jam dari Dobo, menjadi pelabuhan ikan paling ramai di Maluku. Kejayaan Benjina kini telah lenyap.
Kece memuji kebijakan pemerintah dalam memberantas penangkapan ilegal. Laut Arafura sebagai salah satu surga praktik tersebut pun kondusif.
Dari catatan Kompas yang mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebelum penertiban itu, setiap tahun negara kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp 20 triliun akibat penangkapan ilegal di Laut Arafura. Jumlah itu hampir tujuh kali lipat APBD Provinsi Maluku tahun 2017.
Orang luar yang datang cari ikan di sini, tapi kami di sini tidak diperhatikan.
Kece hanya menyayangkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap nelayan-nelayan di Aru. ”Bisa lihat sendiri kondisi nelayan di sini,” ujarnya.
Perahu motor dan sampan milik nelayan Aru yang berlabuh di pesisir serta kapal-kapal berukuran lebih dari 30 GT di perairan sekitar adalah pemandangan yang kontras.
Potensi konflik
Kehadiran sekitar 1.300 kapal itu dapat berpotensi menimbulkan konflik. ”Memang tidak ada batas wilayah untuk mencari ikan, tetapi kecemburuan sosial itu pasti ada. Nelayan Aru bertanya, kenapa perairan di daerah mereka dikuasai nelayan dari luar daerah?” ujar Kepala Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Maluku Romelus Far Far di Ambon, Kamis (15/2).
Data 1.300 kapal itu, lanjut Romelus, diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Pantai Dobo. Selama ini, kapal-kapal itu dilayani di pelabuhan tersebut. Kapal-kapal itu umumnya berukuran di atas 30 GT yang perizinannya dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Romelus membenarkan, sejak moratorium tahun 2014, banyak nelayan dan buruh nelayan yang bekerja di kapal eks asing kehilangan pekerjaan. Minimnya anggaran daerah menyebabkan banyak dari mereka belum mendapatkan bantuan.
”Sejak 2014, bantuan kapal yang diberikan kementerian untuk nelayan di Kepulauan Aru hanya 6 unit dengan ukuran paling besar 3 GT. Ukuran itu terlalu kecil untuk menjelajahi Laut Arafura,” ujar Romelus.
Memang tidak ada batas wilayah untuk mencari ikan, tetapi kecemburuan sosial itu pasti ada. Nelayan Aru bertanya, kenapa perairan di daerah mereka dikuasi nelayan dari luar daerah?
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, jumlah nelayan di Maluku sebanyak 151.000 orang. Dari jumlah itu, kurang dari 10 persen sudah mendapat bantuan pemerintah, mulai dari daerah hingga pusat. Kapal yang dimiliki umumnya berukuran kurang dari 2 GT.
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawary, berpendapat, kebijakan penataan sektor perikanan di Maluku belum sepenuhnya berdampak pada nelayan lokal.
”Setelah kapal asing pergi, lalu apa yang dilakukan untuk nelayan lokal. Banyak yang belum mendapatkan perhatian pemerintah,” katanya.
Rencana jual bantuan
Sejumlah nelayan lokal yang tidak mendapatkan bantuan pemerintah terpaksa berutang ke bank atau tengkulak. Mereka semakin kecewa lantaran banyak bantuan tidak tepat sasaran. Penerima bantuan umumnya mereka yang memiliki kedekatan dengan elite partai atau birokrat.
Hendrik Picaulima, nelayan asal Taniwel yang dihubungi Kompas dari Ambon, Selasa (20/2), menuturkan, modal untuk melaut dia dapatkan setelah menggadaikan sertifikat tanah dan rumahnya ke bank.
Dari pinjaman itu, ia membeli satu perahu motor berukuran 1,5 GT dengan mesin 15 tenaga kuda (PK) untuk mencari ikan di Laut Seram. Hingga saat ini, utang di bank belum lunas.
Begitu pula Paulus Tuhupuring, nelayan asal Ambon yang ditemui di tempat pendaratan ikan di Pantai Eri, Kota Ambon, beberapa waktu lalu. Ia mengusahakan sendiri perahu motor berikut mesinnya untuk mencari nafkah. Ia pun menyesalkan pemberian bantuan yang terkesan berdasarkan kedekatan.
Terungkap pula, ada penerima bantuan kapal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Desember 2017 yang kini hendak menjual kapal itu. Kapal berukuran sekitar 20 GT itu ditawarkan dengan harga Rp 600 juta.
”Ini karena pemberian bantuan tidak tepat sasaran. Tapi, kami sebagai nelayan kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Kami mengharapkan keadilan dari pemerintah,” ujar Hendrik.
Penerima bantuan yang hendak menjual kapal itu, lanjutnya, memiliki hubungan atau kedekatan dengan salah satu elite.
Dari catatan Kompas, bantuan pada Desember itu sebanyak 134 kapal berukuran 3 GT hingga 20 GT. Sejumlah pejabat yang hadir saat itu antara lain Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja serta Wakil Ketua Komisi IV DPR Michael Wattimena.
Persoalan sektor perikanan di Maluku ibarat benang kusut yang masih terus diurai. Bagaimanapun, nelayan lokal harus diberi perhatian. Jangan sampai mereka hanya menjadi penonton di ”kota terapung” itu.