Konflik Harimau Sumatera dan Manusia yang Terus Terjadi
Sejak peristiwa kematian Yusri Efendi (34) akibat diterkam harimau, Sabtu (10/3) malam, warga Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, semakin waswas dan cemas. Berita kematian buruh bangunan yang sedang mengerjakan rumah walet di Dusun Sinar Danau, Desa Tanjung Simpang, itu langsung menyebar cepat.
Apalagi peristiwa maut itu merupakan kejadian kedua dalam 66 hari pada awal tahun 2018 ini. Sebelumnya, pada 3 Januari, Jumiati (33), pekerja PT Tabung Haji Indo Plantation, tewas diterkam harimau di areal kebun wilayah Eboni Estate saat sedang melakukan pekerjaan survei tanaman.
Belum ada pihak yang dapat memastikan apakah harimau yang menyerang Yusri dan Jumiati merupakan individu yang sama. Namun, ada kesamaan bahwa lokasi kedua kejadian tersebut berada di dalam wilayah berdekatan (satu kecamatan). Tempat kejadian berada di dalam kawasan hutan yang sudah berubah menjadi kebun kelapa sawit dan permukiman yang masuk dalam ekosistem Kerumutan.
Juru Bicara WWF Riau Syamsidar mengungkapkan, luas jelajah harimau betina dewasa mencapai 40-70 kilometer persegi. Adapun harimau jantan memiliki jelajah yang sangat luas, 180-380 kilometer persegi.
”Secara pasti belum dapat dikatakan hewan yang menyerang manusia di Pelangiran merupakan harimau yang sama. Namun, kemungkinan ke arah itu sangat terbuka. Apalagi tim BBKSDA sudah memetakan wilayah jelajah harimau yang menyerang Jumiati berada dalam satu areal dengan harimau yang menerkam Yusri,” tutur Syamsidar yang dihubungi pada Senin (12/3).
Kesamaan lainnya, harimau yang menerkam Jumiati dan Yusri dipastikan merupakan hewan yang tidak takut dengan manusia. Pada dua kejadian penyerangan itu, baik Jumiati maupun Yusri sedang bersama kawan-kawan mereka. Serangan harimau itu bahkan dilakukan dari depan.
”Menurut kami, harimau ini telah mengalami perubahan perilaku. Kami menduga, hewan itu sudah lama berada dalam lingkungan manusia sehingga dia sudah beradaptasi dan menganggap manusia sebagai mangsa,” ujar Syamsidar.
Di habitat aslinya, lanjut Syamsidar, harimau justru sangat sulit dijumpai. Selama 14 tahun tim survei WWF turun ke hutan-hutan habitat harimau, hanya ada lima peristiwa perjumpaan langsung dengan satwa itu. Namun, tidak pernah ada serangan.
Tim WWF sangat sering menjumpai kotoran atau bekas cakaran baru di pohon yang menandakan harimau itu masih sangat dekat. Namun, harimaunya tidak pernah menampakkan diri.
Untuk mencegah peristiwa lainnya, pihak Kepolisian Resor Indragiri Hilir telah mengeluarkan imbauan agar masyarakat Pelangiran lebih waspada apabila bekerja di ladang atau kebun. Secara khusus, imbauan juga disampaikan kepada warga yang bekerja di dalam kawasan hutan.
”Dalam waktu dekat, saya bersama Pak Bupati dan Komandan Kodim akan ke Pelangiran untuk mencari solusi penanganan kasus ini,” ujar kepala Polres Indragiri Hilir Ajun Komisaris Besar Christian Rony Putra.
Untuk mengatasi keresahan warga akibat mengganasnya harimau, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pasal 26 PP itu menyebutkan, satwa yang membahayakan kehidupan manusia harus segera dievakuasi dan dipindahkan. Namun, apabila kondisi tidak memungkinkan, satwa itu dapat dibunuh oleh petugas berwajib.
Konflik antara manusia dan harimau adalah dampak dari menciutnya habitat hutan yang merupakan rumah bagi satwa liar. Manusia secara sengaja telah mengubah habitat hutan menjadi kebun dan permukiman sehingga wilayah jelajah harimau atau satwa liar lain menciut.
Berdasarkan pengamatan Kompas pada pertengahan Februari, ribuan hektar kawasan ekosistem Kerumutan di wilayah Kecamatan Gaung, Indragiri Hilir (sekitar 10 kilometer dari wilayah Pelangiran), porak poranda akibat dirambah, dibakar, dan dijadikan kebun kelapa sawit. Patut diduga satwa liar mulai kehilangan sumber makanan di hutan yang rusak dan mulai mencari makan di dekat permukiman penduduk.
Kerusakan habitat harimau di Riau tidak hanya terjadi di ekosistem Kerumutan, lokasi kematian Yusri dan Jumiati, tetapi juga di Hutan Senepis (Rokan Hilir) Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (Siak dan Bengkalis), Taman Nasional Tesso Nilo (Pelalawan, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu), serta Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Indragiri Hulu). Perambahan awal juga sudah terjadi di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling (Kampar dan Kuantan Singingi).
Harimau yang dulunya menghindar bertemu manusia kini sebagian di antaranya justru beradaptasi dengan makhluk berjenis spesies Homo sapiens ini. Pada awalnya, harimau akan memangsa ternak manusia. Namun, kemudian ”si belang” itu mengamati perilaku dan menganggap manusia sebagai mangsa yang mudah. Konflik harimau dan manusia berkembang semakin berat.
Dari tabel diagram di atas, peristiwa konflik antara manusia dan harimau di wilayah Jambi, Sumatera Barat, dan Riau terus terjadi. Grafik kejadian konflik belum menunjukkan tanda-tanda menurun atau berakhir.
Dalam konflik selama empat tahun ini, jumlah korban manusia yang tewas akibat serangan harimau mencapai empat orang. Rinciannya, dua orang meninggal di Jambi pada 2015 dan 2016 serta dua kejadian di Riau baru-baru ini.
Namun sebaliknya, korban harimau yang mati akibat ulah manusia justru lebih besar. Harimau yang mati dalam kurun yang sama mencapai 12 ekor. Rinciannya, di Jambi sebanyak 8 ekor dan di Riau sebanyak 4 ekor.
Harimau dibunuh tidak hanya karena berkonflik dan memasuki wilayah permukiman manusia, tetapi juga karena ulah pemburu yang mengincar kulit dan anggota tubuh harimau yang bernilai jual tinggi di pasar gelap.
Pihak kepolisian dan BBKSDA sudah beberapa kali menangkap pemburu dan pedagang kulit harimau. Namun, pembunuhan harimau belum berhenti.
Pengadilan Negeri Rengat pada September 2016 menghukum dua pedagang kulit harimau, Herman dan Andri, dengan hukuman 4 tahun penjara. Namun, hukuman itu tidak membuat manusia jera.
Pada Februari 2017, Pengadilan Negeri Rengat kembali menghukum dua pedagang kulit dan kerangka harimau, Joko Surwanto dan Muzainul, dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Pengadilan Negeri Jambi pada Maret 2017 juga menghukum dua pedagang kulit harimau, Edi Kumala dan MN. Hanya saja hukumannya minimal, hanya 8 bulan penjara.
Dari seluruh kisah di atas, jelas konflik antara manusia dan harimau hampir dapat dipastikan masih belum akan berakhir dalam waktu dekat. Persinggungan manusia dan satwa liar itu masih terus terjadi selama manusia masuk dan merusak habitat sang raja hutan itu.
Kalaupun tidak berkonflik dalam habitatnya, manusia pemburu selalu mengincar kulit hewan yang dilindungi itu untuk tujuan ekonomi.