Momentum Terbaik bagi Indonesia sebagai Tuan Rumah
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia, yang untuk kali pertama menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional 2018, harus mengusung tema pembahasan untuk kepentingan nasional. Pertemuan yang dihadiri ribuan pelaku ekonomi itu menjadi momentum untuk meningkatkan ekonomi dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) akan berlangsung pada 12-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali. Pertemuan akan dihadiri sekitar 15.000 orang dari 189 negara. Untuk menakar kesiapan menyambut ajang itu, Senin (12/3) dilakukan diskusi yang melibatkan pemerintah, ekonom, dan masyarakat sipil pada Focus Group Discussion di kantor Metro TV, Jakarta.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pertemuan itu akan berpengaruh besar pada ekonomi Indonesia. Pengaruh pada ekonomi yang pasti didapatkan adalah yang langsung dan bersifat jangka pendek.
Berbagai macam aktivitas langsung akan meningkatkan konsumsi di Bali dan sekitarnya. Hunian dan hotel pasti meningkat selama pertemuan itu. Selain itu, akan berpengaruh pada pariwisata.
”Berbagai macam aktivitas langsung akan meningkatkan konsumsi di Bali dan sekitarnya. Hunian dan hotel pasti meningkat selama pertemuan itu. Selain itu, akan berpengaruh pada pariwisata,” ucap Enny.
Dalam Kompas 27 Februari disebutkan, peredaran uang selama pertemuan itu bisa mencapai Rp 1,36 triliun, belum termasuk dampak keberlanjutan wisata dan perdagangan. Indonesia pun menyiapkan 60 tempat wisata, antara lain 33 wisata di Bali dan 27 wisata lainnya di luar Bali.
Meski demikian, Enny melihat hal itu belum cukup. Momentum pertemuan tahunan yang dihadiri ribuan pelaku ekonomi itu harus menguntungkan dalam jangka menengah dan panjang. Indonesia harus menawarkan proyek yang berkepentingan nasional, seperti mempromosikan investasi infrastruktur, pariwisata, dan usaha kecil, mikro, menengah (UMKM).
”Jangan sampai momentum positif hanya sesaat dan jangka pendek, hanya berlangsung seremonial. Apalagi dijadikan agenda kepentingan IMF. Untuk itu, harus ada penawaran kerja sama dan menarik investasi dari tamu yang hadir,” kata Enny.
Apalagi, pertemuan tersebut dilaksanakan pada tahun politik, setelah Pemilihan Kepala Daerah 2018 dan sebelum Pemilihan Umum 2019. ”Apabila acara berlangsung lancar, kita bisa menunjukkan dapat menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan secara bersamaan. Ini pesan pada dunia internasional untuk datang berinvestasi ke Indonesia karena aman dan risiko yang terukur,” pungkas Enny.
Kepentingan nasional
Menurut ekonom yang juga Rektor Universitas Paramadina Firmanzah, Indonesia harus memperjuangkan sektor informal seperti UMKM, yang menjadi penyangga ekonomi. ”IMF belum ramah pada sektor informal seperti pengembangan UMKM. Ini harus menjadi perhatian di forum tersebut,” katanya, yang juga hadir pada diskusi itu.
Padahal berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2016, orang Indonesia yang bekerja pada UMKM mencapai 97,3 persen. Sektor ini menyumbang sekitar 57 persen dari produk domestik bruto nasional.
Selain itu, Firmanzah mengatakan, kampanye hitam terhadap produk minyak kelapa sawit mentah (CPO) harus diluruskan. Hal itu harus dibawa dalam agenda diskusi pada pertemuan tahunan IMF. Apalagi, CPO merupakan sektor ekspor terbesar dari bahan mentah.
Sebelumnya, Parlemen Uni Eropa melarang biodiesel berbasis kelapa sawit. Mereka menilai perkebunan kelapa sawit di Indonesia menimbulkan deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia karena mempekerjakan anak di bawah umur.
”Kita harus bertarung untuk kepentingan UMKM dan CPO tersebut. Itu semua untuk kepentingan nasional,” kata Firmanzah.
Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada, Mudrajad Kuncoro, menyarankan untuk membicarakan terkain infrastruktur. Menurut dia, ada jarak pembiayaan infrastruktur pemerintah sekitar Rp 791 triliun.
”Pertanyaannya, IMF mau masuk dari mana terkait jarak pembiayaan itu? Apakah menjadi utang baru atau bantuan baru,” kata Mudrajad.
Mudrajad berharap pemerintah juga menjual sektor pariwisata. Dia mencontohkan, wisata Goa Pindul di Yogyakarta sangat menarik karena pada hari libur dikunjungi sekitar 15.000 orang.
”Promosi itu bisa membalikkan arus urbanisasi dengan menghidupkan kembali ekonomi di desa. Ini tentang mimpi bagaimana membangunan Indonesia ke depan dan apa yang mau kita jual di forum itu. Pastinya tuan rumah memiliki keuntungan,” kata Mudrajad.
Potensi pariwisata dan kuliner terus dikembangkan untuk membuka peluang terbukanya pertumbuhan ekonomi.
Chief of Organisational Transformation Officer Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengatakan, potensi pariwisata dan kuliner terus dikembangkan untuk membuka peluang terbukanya pertumbuhan ekonomi.
Menurut Adi, hal itu sudah dilakukan pemerintah sejak 2015. Potensi Indonesia dinilai kuat pada kuliner, pelayanan, dan pemberdayaan wisata nasional.
Ambil pengaruh
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Parjiono mengatakan, akan menegosiasi kekuatan pengaruh Indonesia pada IMF. Adapun, kuota Indonesia hanya 0,98 persen, sangat timpang dari Amerika Serikat, sekitar 16 persen.
”Kita ingin itu diubah, masih tahap negosiasi dengan IMF. Kita ingin lebih banyak agar bisa menyuarakan kepentingan. Formula penghitungan kuota yang berdasarkan PDB, pendapatan per kapita, dan lainnya akan kita negosiasikan,” ucap Parjiono.
Menurut Parjiono, pemerintah akan menyodorkan beberapa isu pada pertemuan tersebut, antara lain ketahanan pangan, ekonomi digital, urbanisasi, pembiayaan infrastruktur, dan perubahan sistem kuota. Dia berharap akan menghasilkan inisiatif atau konsesus di Bali.
Enny menambahkan, Indonesia harus tampil dan mengkritik sistem moneter internasional. Menurut dia, kekuatan modal besar seperti AS dan China selalu menjadi penentu. Sementara itu, negara lain hanya mengikuti, yang berujung pada terjadinya ketimpangan.
”Kalau bisa memanfaatkan follow up dan pertemuan, punya usulan moneter yang lebih berkeadilan,” ucap Enny.
Enny berharap Indonesia mengulang kejadian saat Konferensi Asia Afrika, Bandung, pada 2015. Saat itu, Presiden Joko Widodo pada pidato pembukaan yang mengkritik ketidakadilan global dalam ekonomi. Jokowi mengatakan, persoalan ekonomi dunia tidak melulu harus diselesaikan lewat Bank Dunia dan IMF.