NUSA DUA, KOMPAS — Sebanyak 37 perusahaan dan 58 aplikasi layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi diduga tidak memiliki legalitas hukum. Akan tetapi, mereka berani menyalurkan pinjaman kepada masyarakat.
Hal itu dikatakan Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing yang ditemui di sela-sela Seminar Internasional Kebijakan dan Regulasi Teknologi Finansial (Tekfin) di Hotel Sofitel Nusa Dua, Bali, Senin (12/3).
Menurut dia, sebagian dari mereka berdomisili di luar Indonesia. Pusat data atau server mereka pun terpasang di luar negeri. Hal ini tentu menyalahi ketentuan Peraturan OJK No 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Sesuai Pasal 2 Ayat 1 POJK No 77 Tahun 2016, penyelenggara layanan wajib berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Pada Pasal 7, penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.
Sementara pada Pasal 8 Ayat 2, penyelenggara yang telah melakukan kegiatan sebelum POJK No 77/2016 harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK paling lambat enam bulan setelah POJK itu. Pasal 10 Ayat 1 menyebutkan, penyelenggara yang telah terdaftar di OJK wajib mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara dalam jangka setahun sejak tanggal terdaftar.
Tongam menjelaskan, aplikasi layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi wajib terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kelima puluh delapan aplikasi tersebut belum terdaftar.
”Kami sudah memanggil mereka pada 19 Februari. Kami bekerja sama dengan Bareskrim Polri. Laporan aktivitas ataupun pergerakan mereka, kami peroleh dari berbagai sumber,” katanya.
Lebih jauh, Tongam mengemukakan, sampai sejauh ini belum ada warga yang menjadi korban dari aktivitas 38 perusahaan dan 58 aplikasi ilegal itu melapor ke OJK. OJK mengkhawatirkan aktivitas mereka bisa mengarah ke pencucian uang atau tindak kriminal lainnya.
”Aplikasi layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi muncul dan bergerak cepat di Google Playstore ataupun Apple Store. Untuk menyelidiki legalitas mereka, kami harus aktif. Pengawasan harus ditingkatkan sehingga perlindungan hak konsumen terjamin,” ujarnya.
Ibnu Dwi Cahyo, peneliti di Communication and Information System Security Research Center, yang dihubungi secara terpisah, mengungkapkan, ancaman serangan kejahatan siber ke industri jasa finansial tidak boleh disepelekan. Di tingkat dunia, sepanjang tahun 2016-2017, serangan kejahatan siber banyak menyasar ke sektor keuangan.
Ancaman serangan kejahatan siber ke industri jasa finansial tidak boleh disepelekan. Di tingkat dunia, sepanjang tahun 2016-2017, serangan kejahatan siber banyak menyasar ke sektor keuangan.
Dengan adanya inovasi tekfin, sistem layanan keuangan semakin mudah terhubung satu sama lain, bahkan terkoneksi antarnegara. Di satu sisi, situasi ini meningkatkan kecepatan layanan kepada masyarakat. Di sisi lain, potensi kejahatan siber pun meningkat.
”Pembicaraan keamanan siber di sektor industri jasa keuangan sudah seharusnya dibahas antarnegara,” kata Ibnu.
Laporan Akamai Technologies Inc ”Kondisi Internet/Keamanan Triwulan IV-2017” yang dirilis 20 Februari menyebutkan, industri keuangan menjadi target utama serangan DDoS. Sebagai gambaran, pada triwulan IV-2017, sebanyak 37 organisasi berbeda mendapatkan 298 serangan DDoS.