JAKARTA, KOMPAS — Seiring semakin masifnya peredaran dan penyelundupan narkoba di Tanah Air membuat pemerintah dan DPR akan memprioritaskan langkah pencegahan, salah satunya dengan mengantisipasi keterlibatan oknum penegak hukum. Oleh karena itu, revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika akan mengatur sanksi tegas kepada aparat sipil dan hukum yang terlibat dalam kasus narkoba.
Dalam UU Narkotika saat ini, belum ada aturan rinci terkait hukuman kepada aparat sipil dan penegak hukum yang terlibat dalam peredaran serta penanganan kasus narkoba. Sanksi kepada oknum itu diatur oleh masing-masing kementerian/lembaga.
Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo, Senin (12/3), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pencegahan kasus narkotika perlu dimulai dengan membersihkan oknum-oknum nakal yang melakukan pembiaran dan ikut bermain dalam peredaran narkoba di Indonesia. Ia mengungkapkan, pihaknya telah menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat yang mengaku diperas oleh oknum aparat setelah ditangkap dalam kasus narkoba.
“Narkoba adalah masalah bertahun-tahun yang tidak mungkin bisa sebesar ini kalau tanpa pembiaran (kasus) kecil yang kemudian menjadi besar. Untuk itu, kita menganggap pencegahan secara dini harus dilakukan secara komprehensif,” tutur Firman, Senin.
Narkoba adalah masalah bertahun-tahun yang tidak mungkin bisa sebesar ini kalau tanpa pembiaran (kasus) kecil yang kemudian menjadi besar. Untuk itu, kita menganggap pencegahan secara dini harus dilakukan secara komprehensif
Atas dasar itu, lanjut Firman, DPR menganggap revisi U Narkotika perlu menyertakan klausul pemberian sanksi pidana berat kepada seluruh oknum aparat sipil dan hukum yang ikut serta dalam kasus narkoba. “Aparat yang memberi bantuan dan pembiaran ketika mengetahui kasus narkoba, maka harus disanksi berat agar ada efek jera,” katanya.
Selain itu, untuk mengurangi potensi tersangka atau terpidana narkoba menjadi korban “permainan” oknum aparat, Firman menekankan, revisi Narkotika juga akan mencantumkan durasi waktu proses hukum mulai dari proses persidangan hingga pelaksanaan sanksi hukuman, terutama bagi vonis hukuman mati.
Pemecatan
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Ade Kusmanto menegaskan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah memberlakukan hukuman tegas hingga sanksi pemecatan kepada seluruh pegawai negeri sipil kementerian itu yang terlibat kasus narkoba. Ia menambahkan, pihaknya tidak akan menolerir keterlibatan oknum yang dapat mencoreng nama baik institusi.
Terkait keterlibatan kasus narkoba, Ditjen Pemasyarakatan telah memecat 53 orang aparat sipil yang terlibat kasus narkoba pada 2015. Jumlah itu menurun menjadi 39 orang pada 2016. Kemudian, pada 2017, sebanyak 39 orang aparat sipil Ditjen PAS dipecat karena terbukti melakukan pembiaran dan ikut serta dalam peredaran serta penyelundupan narkoba di lembaga pemasyarakatan.
Dalam sejumlah kesempatan, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian berkomitmen untuk menindak keras seluruh oknum kepolisian yang tidak menindak tegas peredaran narkoba. Misalnya, bagi kepala kepolisian kewilayahan yang gagal mengungkap kasus narkoba di daerahnya akan diganti.
Selama 2017, dari 222 personel Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH), sebanyak 75 orang, di antaranya, dipecat karena terlibat kasus narkotika. Selain diberhentikan dari Polri, oknum tersebut juga menjalani hukuman pidana.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, menilai terulangnya keterlibatan oknum penegak hukum dalam kasus narkoba menunjukkan hukuman yang diberikan selama ini belum membuat jera. Hukuman oknum, tambahnya, cenderung tidak dilakukan secara menyeluruh kepada oknum yang terlibat, sehingga tetap berpotensi menghadirkan anggota baru ikut serta.
“Hukuman tegas dan pemecatan harus diberikan menyeluruh. Contohnya, apabila pelakunya lengkap dari atasan hingga bawahan, maka semuanya harus dihukum, jangan hanya salah satu dari mereka,” ujar Bambang.