JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih masuk ke dalam kategori negara yang rawan konflik berdasarkan indeks kerentanan negara. Kondisi ini diakibatkan oleh tingkat pendidikan yang minim serta lunturnya nilai kebangsaan di kalangan generasi muda.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono mengatakan, berdasarkan indeks Lembaga Ketahanan Nasional dan lembaga keamanan internasional The Fund for Peace, Indonesia masih masuk ke dalam kategori rawan dan waspada konflik.
”Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat hanya sampai di kelas 2 SMP. Selain itu, masyarakat dihadapkan oleh gempuran internet dan globalisasi,” ucapnya dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-101 di Jakarta, Selasa (13/3).
Mulyono menjelaskan, ada korelasi linier antara minimnya tingkat pendidikan, jumlah pengguna internet yang semakin banyak, dan kerawanan konflik di Indonesia. Menurut dia, jika hal ini dibiarkan, Indonesia bisa berpotensi konflik, seperti Suriah, Libya, dan Yaman.
Indeks Kerentanan Negara The Fund for Peace 2016 mencatat, Indonesia berada di posisi ke-86 dari 178 negara yang terdaftar dengan nilai indeks 74,9. Berdasarkan indeks ini, ada empat kategori kerentanan negara di dunia, yaitu stabil (0-62), waspada (62-89,9), siaga (90-100), dan rentan (lebih dari 100).
Pada tahun 2017, Indonesia turun di posisi ke-94 dengan nilai indeks sebesar 72,9. Meski nilai indeks tersebut turun, masih masuk ke dalam kategori waspada. Mulyono mengatakan, indikator negara Indonesia sebagai negara rawan konflik terlihat dari lunturnya nilai-nilai kebangsaan di masyarakat.
”Kasus terorisme, narkoba, dan radikalisme masuk ke Indonesia akibat arus global. Kita tidak bisa menghindari arus globalisasi ini. Namun, kita bisa membentenginya dengan nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan,” katanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menjelaskan, masalah kebangsaan ini menjadi hal mendesak yang perlu segera ditangani dalam program TMMD tahun ini.
TMMD merupakan agenda berkelanjutan TNI AD untuk berperan aktif di masyarakat dan membantu percepatan pembangunan nasional, khususnya di daerah terpencil. Programnya meliputi perbaikan sekolah, penyuluhan agama, kesehatan, hukum, serta pembekalan wawasan kebangsaan.
”TMMD ini merupakan salah satu bentuk kerja sama Kemendikbud dengan TNI AD. Meskipun tidak berperang, TNI AD juga mampu berkontribusi kepada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Nantinya akan ada juga prajurit TNI yang menjadi staf pengajar selama program berlangsung,” ucap Muhadjir.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ada sekitar 4,1 juta anak tidak sekolah, tetapi yang terjangkau dan terdata berdasarkan data pokok pendidikan sebanyak 2,9 juta anak.
Mulyono mengatakan, dengan adanya program TMMD ini, terjadi pemerataan pendidikan bagi masyarakat. Selama tahun 2018 akan ada tiga kali TMMD yang dilangsungkan dan berfokus pada 83 desa di 50 kabupaten/kota.
”Program pertama akan berlangsung selama satu bulan, mulai dari 28 Maret hingga 26 april dengan melibatkan 7.500 anggota yang terdiri dari personel TNI/Polri, masyarakat, pemerintah daerah, dan kementerian,” kata Mulyono.