JAKARTA, KOMPAS — Untuk meningkatkan mutu pendidik di Indonesia, diperlukan pembenahan dalam pengelolaan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Selama ini, sebagian besar lembaga tersebut dinilai belum sesuai dengan standar yang ditentukan.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) pada 2016 mencatat, dari 421 lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di Indonesia, hanya ada 18 LPTK yang terakreditasi A dan 81 LPTK yang terakreditasi B. Sementara dari 5.724 program studi ilmu pendidikan, ada 209 program studi yang terakreditasi A dan 811 program studi yang terakreditasi B. Dari jumlah tersebut terdapat sekitar 1,2 juta mahasiswa calon pendidik.
”Padahal, salah satu syarat dari mahasiswa yang ingin melanjutkan program pendidikan profesi guru (PPG) bersubsidi harus merupakan lulusan S-1 atau D-4 dari program studi terakreditasi minimal B,” ujar Totok Bintoro, Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (12/3) di Jakarta.
Kondisi tersebut kemudian menimbulkan ketimpangan antara jumlah lulusan sarjana pendidikan dan sumber daya yang terserap dalam program PPG. Dari sekitar 260.000 lulusan, jumlah calon pendidik yang terserap hanya sekitar 27.000 orang.
Program PPG merupakan program pendidikan sarjana untuk memersiapkan calon tenaga didik agar memiliki standar keahlian guru yang profesional. Pendidikan ini ditempuh selama 1-2 tahun oleh calon tenaga pendidik yang lulus dari program sarjana kependidikan ataupun nonsarjana kependidikan. Kelulusan dari program ini dibuktikan dengan sertifikat pendidik sehingga guru pun bisa mendapatkan tunjangan sertifikasi yang besarnya satu kali gaji pokok.
Totok menilai, pembenahan LPTK saat ini perlu dilakukan. Pemerintah perlu fokus pada LPTK yang belum memenuhi standar akreditasi. Investasi anggaran pendapatan dan belanja negara untuk pengelolaan LPTK perlu dirinci agar pengembangannya dapat berjalan lebih baik.
Selain itu, seleksi calon pendidik yang mendaftarkan diri untuk masuk ke LPTK juga harus diperketat. Ketika seleksi dirasa keliru dan calon pendidik yang terseleksi dinilai tidak kompeten, dalam waktu jangka panjang akan berdampak pada generasi masa depan. ”Kekeliruan dalam seleksi ataupun kegagalan seleksi sama dengan pembodohan generasi masa depan,” kata Totok.
Menurut dia, guru perlu diseleksi dengan baik, dididik dengan baik, dan diasramakan dengan baik sehingga menjadi guru yang unggul. ”Generasi yang unggul dihasilkan oleh guru yang unggul. Guru unggul itu dihasilkan dari LPTK yang unggul,” ujar Totok.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa predikat guru profesional harus memenuhi empat kompetensi, yaitu aspek pedagogi, kepribadian, profesional, dan sosial. Pedagogi ini mencakup kemampuan mendidik dan memahami siswa, aspek kepribadian berarti memiliki karakter yang unggul, profesional berarti mampu menguasai materi pembelajaran, dan sosial berarti mampu berkomunikasi dan berinteraksi, baik dengan peserta didik maupun lingkungannya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti menyampaikan, pola pembenahan di LPTK akan dilakukan dari beberapa aspek. ”Pembenahan dilakukan, baik dari sisi materi, pedagogi, maupun proses belajar-mengajar yang disesuaikan dengan perubahan Revolusi Industri 4.0 yang serba digital dan internet of things,” katanya.
Perluas PPG
Ghufron menambahkan, program PPG akan semakin diperluas. Berbagai sarana dan prasarana yang mendudukung akan dikembangkan. Untuk pembangunan infrastruktur, seperti gedung, laboratorium, dan industri pembelajaran, akan dikembangkan melalui alternatif skema pembiayaan, seperti pinjaman, pembiayaan kerja sama badan usaha (PKBU), ataupun berbagi sumber daya (sharing resources).
Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di LPTK untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.
Dari peraturan tersebut, Ghufron mengatakan, saat ini jumlah asrama untuk PPG akan diperbanyak. ”Untuk jumlah asrama kami sudah meminta para pimpinan (LPTK) untuk mengajukan. Untuk relevansi kebutuhan dan program studi kami sudah bikin grand design kebutuhan tenaga pendidikan (guru) sampai tahun 2024 per masing-masing jenis guru yang dibutuhkan dan per masing-masing jenjang, seperti SD, SMP, SMK, SMA,” katanya.
Totok menilai keberadaan asrama bagi guru ikatan dinas berasrama ini dapat meningkatkan mutu dari tenaga pendidik. Melalui asrama, kompetensi guru bisa lebih ditingkatkan melalui penerapan sistem, struktur, dan pemantauan kepribadian yang lebih bisa dikendalikan dan dibentuk secara maksimal.
Pengadaan dosen
Tidak hanya itu, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pengadaan dosen yang kompeten dalam mendidik calon guru. ”Permasalahan sumber daya dosen ini dalam hal jumlah dan kualitasnya. Sekarang dosen di bidang ilmu pendidikan ini bisa mengajar di empat tempat, yaitu mengajar di S-1, baik jurusan kependidikan maupun nonkependidikan, pascasarjana, dan PPG,” kata Totok.
Ia menyarankan, dosen yang mengajar dalam program PPG harus memiliki sertifikasi khusus. Ada bekal tertentu yang perlu diuji sehingga memenuhi syarat sebagai dosen PPG. Saat ini, syarat sebagai dosen PPG masih sebatas pada golongan dan jenjang pendidikan minimal.
Ghufron pun mengakui, dosen yang memiliki kualifikasi dan dinilai kompeten masih kurang. Untuk itu, pihaknya telah melakukan berbagai skema beasiswa untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi dosen ilmu pendidikan. ”Beasiswa khusus untuk menyiapkan dosen ialah PMDSU (Program Menuju Doktor Sarjana Unggul) dan program peningkatan kapasitas dosen, seperti program magang dan world class professor,” katanya.