Presiden Diminta Beri Perhatian Khusus Soal Kekerasan Pada Perempuan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Jakarta, Kompas – Pemerintah diminta untuk lebih memberikan perhatian khusus terhadap situasi kekerasan pada perempuan di Tanah Air, terutama kekerasan seksual dan perkawinan anak, yang kasusnya terus meningkat. Untuk itu, Presiden Joko Widodo diharapkan segera menggerakkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta kementerian/lembaga terkait untuk menghentikan kekerasan pada perempuan.
Salah satu langkah kongkrit untuk memberi perlindungan pada perempuan adalah mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan jadi undang-undang. Sementara untuk menghentikan praktik perkawinan anak, Presiden diharapkan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Demikian harapan kepada Presiden Joko Widodo yang disampaikan sejumlah tokoh perempuan dan aktivis perempuan dari berbagai organisasi masyarakat sipil saat berdiskusi dengan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, Senin (12/3) di Gedung Bina Graha Jakarta. Moeldoko didampingi Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V), Avanti Fontana (Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan), dan Sylvana Apituley (Staf Ahli Utama Kedeputian V) menerima berbagai informasi, masukan termasuk kritik terhadap terkait isu perempuan dan anak di Tanah Air.
Saparinah Sadli, tokoh perempuan yang juga pendiri Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan sangat prihatin, karena angka kasus kekerasan terhada perempuan yang terjadi sejak 20 tahun lalu saat Komnas Perempuan berdiri hingga kini tidak pernah turun, tetapi justru terus meningkat dan semakin serius.
“Mungkin pemerintah kurang fokus pada masalah ini. Bukan dianggap tidak penting, tapi ada yang dianggap terlalu penting sehingga isu ini dijadikan nomor dua, tiga atau nomor berapa. Saya ingi bertanya sejauh mana pemerintah memberikan perhatian khusus pada kekerasan seksual dan perkawinan anak,” ujar Saparinah.
Pertanyakan komitmen pemerintah
Rita Serena Kalibonso, Koordinator Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia dalam perlindungan perempuan. Sebab sampai saat ini Indonesia belum menyampaikan laporan pemantauan tentang pemajuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan atau pelaksanaan The Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) kepada Komite CEDAW. “Berkali-kali kami mengingatkan kepada pemerintah mengenai laporan CEDAW. Kami berharap laporan tersebut bisa disampaikan tahun ini,” ujarnya.
Kepada Moeldoko, para tokoh dan aktivis perempuan meminta kepada pemerintah untuk mengawal pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berlangsung di DPR yang rawan mengkriminaliasi perempuan dan kelompok rentan. Presiden juga diminta memanggil kementerian atau lembaga untuk membahas dampak dari RKUHP. Jika perlu Presiden menarik kembali RKUHP tersebut dan merevisi kembali.
Pada akhir diskusi, Moeldoko menerima laporan dari berbagai organisasi terkait situasi dan kondisi kekerasan terhadap perempuan antara lain Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2018 dan Laporan Tahunan LBH APIK Jakarta.
Khusus untuk perkawinan anak, Koordinator Koalisi +18 Indry Oktaviani menyerahkan draf Raperppu Tentang perubahan UU Perkawinan, yang disusun organisasi masyarakat sipil sebagaimana permintaan Presiden Jokowi pada tahun 2015.
“Uji materi Undang-Undang Perkawinan jilid dua sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, tetapi MK belum memberikan keputusan apakah akan melanjutkan pleno atau tidak. Kita perlu kepastian segera dan jalan keluar cepat straregis karena situasi perkawinan anak tida bisa lagi ditoleril. Kalau dibiarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tidak akan tercapai,” kata Indry.
Menanggapi berbagai masukan dan kritik dari para tokoh perempuan, Moeldoko mengungkapkan KSP memiliki program “KSP Mendengar” untuk menyerap semua aspirasi dan informasi bahkan hal-hal jauh lebih penting yang bisa disampaikan kepada Presiden. “Presiden dan pemerintah saat ini betul-betul terbuka , dan tidak ada namanya alergi terhadap kritik,” ujarnya.
Kendati demikian, Moeldoko mengakui birokrasi saat ini agak lambat tidak berjalan cepat seperti yang diinginkan presiden. Ia berjanji akan menindaklanjuti semua informasi dan harapan yang disampaikan pada diskusi tersebut, bahkan akan menyampaikan kepada kementerian/lembaga terkait, termasuk akan mengundang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Selama sekitar dua jam diskusi yang juga dihadiri Syamsiah Ahmad (Tokoh perempuan/wakil RI di Komite CEDAW), Lena Maryana Mukti (Koordinator Maju Perempuan Indonesia), Maria Ulfah Anshor (tokoh perempuan Nahdlatul Ulama), Yuda Irlang Kusumaningsih (Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik), Indriyanti Suparno (Komisioner Komnas Perempuan), Lily Danes (Sekjen Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti (LBH APIK), Justina Rostiawati (Ketua Presidium Wanita Katolik RI), Kencana Indrishwari (Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan), Rubiyanti Kholifah (AMAN Indonesia), serta sejumlah aktivis perempuan.
Soal RKUHP di DPR, Yuda Irlang menyatakan prihatin karena ada kelompok-kelompok perempuan yang mengusahakan pemikiran mereka yang tak sejalan dengan semangat organisasi perempuan yang mengawal RKUHP. Masukan-masukan kelompok itu dikhawatirkan memengaruhi para anggota DPR saat pembahasan RKUHP.
Retno Dwi Utami, yang selama ini ikut mengawal pencapaian TPB/SDGs di Sulawesi Barat mengungkapkan meskipun kondisi perkawinan anak di Sulbar masuk dalam peringkat dua sesuai Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2015, sampai saat ini, tidak ada organisasi perempuan menangani masalah tersebut di Sulbar.