JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia didorong mendekati dan membangun kepercayaan dengan para pemangku kepentingan terkait konflik Afghanistan. Hal itu penting untuk memastikan semua pihak mau menghadiri Forum Trilateral Ulama Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan yang akan digelar di Jakarta pada akhir Maret ini.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengatakan, NU pernah menyelenggarakan dialog soal Afghanistan. Kala itu, semua pihak terkait bersedia datang dalam tiga kali pertemuan di Indonesia dan Turki. ”Dulu NU dekati satu per satu,” ujarnya, Senin (12/3), di Jakarta.
Kala itu, semua pihak terkait bersedia datang dalam tiga kali pertemuan di Indonesia dan Turki. Dulu NU dekati satu per satu.
Marsudi mengatakan, dialog seperti itu bisa terselenggara tidak cukup hanya dengan mengirim undangan. Terlebih dahulu penyelenggara harus mendapatkan kepercayaan dari semua pihak yang bertikai. Jika masih ada yang menolak hadir, bisa jadi ada yang belum selesai didekati. Pemerintah perlu mencari tahu penyebab penolakan dari salah satu pihak yang diundang dalam dialog itu.
Indonesia akan menggelar Forum Trilateral Ulama, akhir Maret ini, sebagai tindak lanjut Konferensi Proses Kabul II dalam upaya mewujudkan perdamaian di Afghanistan. Menurut rencana, forum itu akan diikuti masing-masing 15 ulama dari Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan.
Namun, seperti diberitakan, Taliban mendesak para ulama Afghanistan tidak menghadiri pertemuan ulama tersebut. Mereka menuding pertemuan itu digelar untuk mengesahkan pendudukan asing di Afghanistan (Kompas, 12/3).
Tanpa kehadiran Taliban, kata Marsudi, pertemuan hanya dihadiri para pihak yang sudah sepakat. Padahal, tujuan pertemuan adalah membuat semua pihak bisa duduk bersama.
Dalam upaya mewujudkan perdamaian di Afghanistan, pada 26-27 Maret mendatang juga akan digelar perundingan langsung antara Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban di Tashkent, Uzbekistan. Namun, menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Uzbekistan, Senin, perwakilan Taliban diperkirakan bakal absen dalam perundingan itu.
Hingga kemarin, perwakilan Taliban belum menyatakan hadir pada perundingan itu, menandakan mereka tak akan datang. Pada perundingan tersebut, direncanakan akan hadir Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Wakil Menlu AS John Sullivan, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, serta para menlu dari India, Iran, Kazakhstan, Kirgistan, Pakistan, Rusia, Tajikistan, dan Turki, plus Wakil Khusus PBB untuk Afghanistan Tadamichi Yamamoto.
Rebut wilayah
Dari Afghanistan dilaporkan, milisi Taliban kembali memperluas wilayah yang dikendalikannya. Juru bicara Pemerintah Provinsi Farah, Naser Mehri, mengatakan, milisi Taliban menduduki pusat kota Anar Dara, Provinsi Farah, Afghanistan bagian barat, sejak Minggu. Meskipun demikian, adu tembak antara pasukan pemerintah dan milisi Taliban masih terus terjadi.
Menurut versi pemerintah, kantor polisi dan badan intelijen masih dikendalikan pemerintah. Namun, juru bicara Taliban, Qari Yousuf Ahmadi, menyebut, Taliban sudah menguasai Anar Dara. Taliban menyiarkan foto yang menunjukkan milisi bertebaran di berbagai penjuru Anar Dara. Mereka mengklaim menyita banyak amunisi dan kendaraan tempur di Anar Dara.
Klaim itu disampaikan beberapa hari setelah Pemerintah Afghanistan menyebut kelompok itu semakin terdesak di Farah. Pernyataan pemerintah didasarkan pada gempuran udara dan darat oleh pasukan Afghanistan dan Amerika Serikat. Selain di Farah, Taliban juga digempur di Helmand yang bersebelahan dengan Farah.
Dengan kemenangan di Anar Dara, Taliban ingin menunjukkan mereka belum menyerah. Mereka saat ini mengendalikan hampir separuh wilayah Afghanistan dan berkeras menolak pemerintahan Ashraf Ghani yang diakui banyak negara.
Klaim penguasaan wilayah yang dikeluarkan Afghanistan mendekati klaim versi AS yang mendukung pemerintahan Ghani. Menurut satuan tugas tentara AS di Afghanistan, pemerintah mengendalikan 56 persen wilayah negara itu. Sisanya dikontrol Taliban dan sejumlah kelompok lain dengan Taliban sebagai pengendali terbesar. (AP/REUTERS/RAZ)