Sopir Angkot Gugat Gubernur DKI Jakarta, Menhub, dan Mendagri
JAKARTA, KOMPAS — Sopir-sopir angkot M08 jurusan Tanah Abang-Kota menggugat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (13/3). Gugatan dilakukan setelah somasi kepada Anies untuk membuka Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dalam waktu 5 x 24 jam tidak digubris.
Kuasa hukum sopir angkot dari Perkumpulan Advokat Kebijakan Publik untuk Masyarakat Indonesia (Pakubumi) Afriady Putra mengatakan, gugatan terdaftar dengan nomor 140/PDT.GBTH.PLW/2018/PN.JKT.PST. Ia menambahkan, gugatan perdata itu diajukan melalui mekanisme gugatan warga negara atau citizen lawsuit.
Citizen lawsuit merupakan gugatan yang terjadi karena pelanggaran hukum oleh pemerintah yang mengakibatkan hak warga negara terabaikan. Gugatan ini bertujuan agar pemerintah membuat kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran serupa.
Ia menambahkan, kebijakan penataan kawasan Tanah Abang dengan menutup Jalan Jatibaru Raya sejak akhir Februari telah merugikan sopir angkot. Mereka dilarang melewati jalan yang termasuk dalam wilayah operasi berdasarkan izin trayek.
Kami ingin menggugah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar tidak membuat kebijakan yang melanggar peraturan lain
”Izin trayek mereka semua masih berlaku,” kata Afriady. Ia melanjutkan, penataan Tanah Abang yang tidak memiliki payung hukum telah melanggar hukum, salah satunya terkait izin trayek. Para sopir harus melewati rute yang berbeda dari ketentuan.
”Kami ingin menggugah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar tidak membuat kebijakan yang melanggar peraturan lain,” ujar Afriady.
Selain kepada Anies, gugatan juga dilayangkan kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Dua menteri itu dianggap ikut bertanggung jawab mengawasi kerja Gubernur DKI dan Dinas Perhubungan.
”Tuntutan kami hanya satu, yaitu buka kembali Jalan Jatibaru dan kembalikan sebagaimana fungsinya,” kata kuasa hukum sopir angkot, Ferdian Sustanto.
Ferdian melanjutkan, kebijakan tersebut berdampak pada terabaikannya hak warga negara mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Selain itu, kata Ferdian, penataan Tanah Abang diduga kuat melanggar UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1), Pasal 12 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 130 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut juru bicara sopir angkot, Abdul Rosyid, sejak Jalan Jatibaru ditutup, penghasilannya turun 50 persen. Hal itu juga dirasakan oleh sopir lain, Purnomo. Sebelum jalan ditutup, penghasilan minimum Purnomo sebanyak Rp 150.000 per hari.
”Saat ini penghasilan saya tidak menentu. Saya pernah mendapatkan Rp 20.000 dalam sehari,” ucap Purnomo. Menurut dia, jumlah itu jauh dari kebutuhan. Dalam sehari, ia harus membayar setoran angkot Rp 170.000-Rp 200.000. Belum lagi biaya untuk istri dan dua anaknya.
Purnomo menjelaskan, Jalan Jatibaru merupakan titik penting dalam wilayah operasi mereka. Lokasi itu merupakan jalan pertama yang dilewati para penumpang kereta setelah keluar dari Stasiun Tanah Abang. Selain itu, di jalan itu pula terdapat ratusan pedagang yang menjadi pusat perhatian pembeli.
Solusi dipertanyakan
Sebelum melayangkan somasi dan gugatan hukum, sopir angkot juga telah berunjuk rasa. Pemprov pun mengeluarkan program One Karcis One Trip (OK Otrip) sebagai alternatif yang bisa diikuti oleh para sopir.
Menurut Rosyid, program OK Otrip semestinya dibahas setelah Jalan Jatibaru dibuka. Saat ini, konsep yang ditawarkan masih menimbulkan beragam persoalan.
Purnomo mengatakan, program tersebut menawarkan honor sebesar Rp 120.000 per bulan bagi setiap sopir. Akan tetapi, hingga saat ini tidak ada sopir yang bersedia mengikuti OK Otrip.
Rosyid menambahkan, OK Otrip belum mengakomodasi semua sopir. Program tersebut mulanya alan merekrut 75 sopir kemudian ditambah menjadi 92 sopir.
”Jumlah kami ada lebih dari 200 orang, kemudian sisanya mau dikemanakan? Kalau tidak diurus, apakah mereka akan dibiarkan mati pelan-pelan,” ujarnya.
Selain itu, ketentuan batas minimum jarak tempuh dalam sehari dirasa tidak mungkin dilakukan. Menurut Rosyid, OK Otrip menyaratkan jarak tempuh sehari sejauh 195 kilometer lalu diturunkan menjadi 175 kilometer. Sementara itu, jarak tempuhnya dalam satu perjalanan hanya mencapai 10 kilometer dan sepanjang hari, paling banyak melakukan lima perjalanan.
Meski menolak OK Otrip, para sopir tetap mengemudikan angkot. Selain M08, angkot M03 dan M10 tampak melintas dan menunggu penumpang di sisi barat Jalan Jatibaru Raya mulai pukul 15.30.
Salah satunya Ahmad Fauzy, sopir M08. Menurut dia, setelah unjuk rasa dan somasi dilayangkan, para sopir memang diizinkan untuk melewati sisi barat Jalan Jatibaru Raya di atas pukul 15.00. Pada waktu itu pula, operasi bus Tanah Abang Explorer berhenti.
Akan tetapi, pengaturan tersebut belum berdampak banyak bagi para pengemudi. Menurut Ahmad, penghasilan mereka tetap tak menentu.
Selain itu, ruas jalan tampak semrawut. Sebab, bukan hanya angkot yang melewati jalan tersebut, melainkan juga sepeda motor. Bahkan, pedagang kaki lima (PKL) yang umumnya berjualan makanan pun berhamburan di badan jalan.
Gugatan kedua
Kebijakan penataan Tanah Abang sudah menuai dua gugatan. Dalam ranah pidana, Sekretaris Jenderal Cyber Indonesia Jack Boyd Lapian menggugat kebijakan tersebut ke Polda Metro Jaya. Ia melaporkan Anies Baswedan terkait kebijakan menutup Jalan Jatibaru Raya yang diduga melanggar UU No 38/2004.
Sebelumnya, Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ferdi Iriawan mengatakan, terkait laporan tersebut, pihaknya memeriksa saksi dari empat pihak, yaitu Dinas Perhubungan, Pemprov DKI, ahli dari Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), dan ahli dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan (Ditjen Hubdat, Kemenhub). Dari keempat pihak tersebut, hanya ahli dari Ditjen Hubdat yang belum memenuhi panggilan pemeriksaan.
Saksi terakhir yang diperiksa adalah Kepala Subbagian Peraturan Pelaksanaan Biro Hukum Pemprov DKI R Okie Wibowo. ”Pemeriksaan berfokus pada dasar hukum kebijakan penataan kawasan Tanah Abang,” kata Ferdi.
Okie mengatakan, penataan tersebut memang tidak memiliki peraturan, kecuali Instruksi Gubernur Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penataan Kawasan Tanah Abang. Gubernur hanya memerintahkan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan kepala dinas terkait untuk menata kawasan Tanah Abang.
Ketika dikonfirmasi mengenai gugatan hukum tersebut, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Yayan Yuhana mengatakan, tidak tahu persis jumlah gugatan yang telah dilayangkan kepada Pemprov. Ia pun enggan berkomentar mengenai langkah hukum yang akan diambil pemprov menghadapi beragam gugatan terhadap kebijakan penataan Tanah Abang.