Tanjakan Emen: Alarm Kecelakaan yang Terbungkus Mitos
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
Jalan Raya Bandung-Subang di Kampung Cicenang, Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, kembali menelan korban. Senin (12/3) sekitar pukul 12.00, empat orang luka berat dan 12 orang luka ringan akibat tergulingnya minibus di lokasi yang dikenal dengan Tanjakan Emen itu.
Februari lalu, tepat di lokasi yang sama, 27 orang tewas akibat kecelakaan bus pariwisata. Barang-barang korban, seperti sepatu, sandal, dan pakaian, juga masih tertinggal. Mitos tentang keangkeran jalur itu pun kembali diperbincangkan.
”Baru sebulan, sudah ada kecelakaan lagi. Mungkin Emen marah karena enggak diberi rokok,” ujar pengendara sepeda motor yang berhenti saat melihat bekas lokasi kecelakaan.
Minibus Elf bernomor polisi E 7548 PB terguling di lokasi tersebut saat melintasi turunan dan berkelok ke kiri. Korban merupakan rombongan wisata pegawai rumah makan di Indramayu, Jabar. Mereka baru pulang dari Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu.
Sosok Emen sering dikaitkan dengan peristiwa kecelakaan di lokasi itu. Ceritanya melegenda di kalangan masyarakat sekitar dan pengemudi yang sering melintasi jalur tersebut.
Biasanya, pengemudi melemparkan rokok yang telah dibakar atau uang koin di Tanjakan Emen. Hal itu dilakukan agar mereka tidak ”diganggu” oleh Emen.
Cerita Emen mempunyai beragam versi. Namun, semuanya dikaitkan dengan kejadian kecelakaan di lokasi itu pada 1960-an.
Ada yang mengatakan Emen adalah sopir pengangkut sayur. Versi lainnya menyebutkan Emen sebagai kernet angkutan umum Subang-Bandung. Namun, semua versi menceritakan Emen meninggal dalam kecelakaan itu. Arwahnya gentayangan di lokasi itu.
Ada yang percaya, ada juga yang tidak. Namun, faktanya, tidak sulit menemukan puntung rokok dan uang koin di Tanjakan Emen.
”Ibaratnya, rokok dan uang koin itu untuk buang sial saja. Biar selamat dan tidak diganggu Emen,” ujar Asep Suparman, warga setempat.
Tanjakan Emen menjadi salah satu jalur rawan kecelakaan di Jabar. Banyak korban tewas di lokasi itu. Penyebab kecelakaan beragam, dari rem tidak berfungsi hingga sopir mengantuk.
Pada Oktober 2012, bus pariwisata yang mengangkut wisatawan asal Taiwan menabrak sepeda motor dan terguling di Tanjakan Emen. Akibatnya, empat orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.
Di lokasi yang sama, pada Juni 2014, sembilan orang tewas saat bus pariwisata menabrak mobil dari arah berlawanan. Bus tersebut berisi rombongan pelajar dari Jakarta.
Dari beberapa kasus kecelakaan, pengemudi kendaraan merupakan warga luar Bandung dan Subang atau yang belum berpengalaman melintasi jalan itu. Hal ini membuat sopir tidak terlalu memahami medan di Tanjakan Emen.
Padahal, sejumlah papan informasi mengenai lokasi rawan kecelakaan sudah terpasang sekitar 3,5 kilometer sebelum Tanjakan Emen. Bahkan, sebuah bangkai mobil bekas kecelakaan dijadikan tugu untuk mengingatkan pengendara agar lebih berhati-hati.
Terlepas dari cerita Emen, penyebab kecelakaan di Tanjakan Emen mempunyai penjelasan logis. Salah satu faktor utamanya adalah medan jalan yang banyak menanjak, menurun, dan berkelok.
Tanjakan Emen semakin rawan kecelakaan setelah turun hujan. Sebab, lokasi yang berada di antara perkebunan teh itu sering diselimuti kabut tebal. Imbasnya, jarak pandang terganggu, tidak sampai 20 meter.
Kepala Subdit Gakkum Korlantas Polri Komisaris Besar Joko Rudi saat meninjau Tanjakan Emen, Februari lalu, mengatakan, medan jalan di lokasi tersebut sulit diubah. Oleh sebab itu, dibutuhkan jalur penyelamat untuk mengurangi risiko.
”Jika dari arah Bandung menuju Subang, jalan menurun di Tanjakan Emen merupakan turunan terakhir mulai dari Jalan Tangkubanparahu (berjarak sekitar 3,4 kilometer). Jadi, sangat memungkinkan rem kendaraan yang terus digunakan akan panas dan memuai sehingga berpotensi tidak berfungsi dengan baik,” ujar Joko saat itu.
Dengan medan jalan yang berkelok, menanjak, dan menurun, Tanjakan Emen ibarat alarm kecelakaan bagi pengendara. Mitos Emen hanya menjadi ”bumbu” agar pengendara lebih berhati-hati melintasi jalur itu. Kesiapan kendaraan, kesehatan, dan pengalaman pengemudi tak boleh sedikit pun diabaikan agar dapat melintasi ”jalur tengkorak” itu dengan selamat.