Banjir Akan Senantiasa Datang ke Cirebon
Pada Januari 1995, harian Kompas menurunkan laporan banjir di sejumlah daerah di Pulau Jawa, termasuk Kabupaten Cirebon, dengan tajuk ”Banjir Akan Senantiasa Datang”. Lebih dari 23 tahun berlalu, laporan itu masih relevan di Cirebon.
Muslimah (55) terpaksa melintasi banjir setinggi 1 meter siang itu, Senin (12/3/2018). Ia harus berkumpul bersama empat anggota keluarganya yang sudah mengungsi ke rumah tetangga di Desa Wanakaya, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon.
Tangannya gemetar membawa semangkok nasi putih dan telur. Badannya menggigil termakan dinginnya banjir. Perlahan ia berjalan, takut terjebak di selokan sempit seukuran kakinya.
Jalan desa siang itu lebih tampak seperti sungai berwarna coklat. Beberapa tetangganya masih bertahan di rumah, bahkan di atas motor. Sebagian besar rumah di sana telah ditinggikan beberapa sentimeter. Pohon pisang dan karung berisi pasir disimpan di depan pintu rumah untuk menghalau air masuk.
Namun, itu sia-sia. Ribuan rumah terendam sejak Sabtu (10/3) malam hingga lebih dari 120 sentimeter. Bagi Muslimah, ini banjir terparah selama puluhan tahun menetap di Wanakaya. Namun, banjir tersebut bukan yang pertama. Sejak Januari 2018, sudah empat kali ia kebanjiran. Padahal, selama 2017 banjir hanya tiga kali menerjang rumahnya.
Solihin (40), warga lainnya, harus meninggalkan pekerjaan sebagai tukang parkir selama dua hari. Rumahnya kebanjiran. Entah sudah berapa kali ia tak bekerja karena banjir. Yang jelas, ia merugi. Tidak bekerja berarti tidak ada uang.
Wanakaya merupakan salah satu dari 33 desa dari 11 kecamatan di Cirebon yang terendam banjir sejak Sabtu. Gunung Jati menjadi daerah terdampak paling parah dengan 11 desa kebanjiran. Kecamatan lain ialah Ciledug, Pasaleman, Ciwaringin, dan Susukan.
Data sementara yang dihimpun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon, sekitar 24.000 jiwa terdampak. Meskipun tidak ada korban jiwa, warga terpaksa mengungsi ke balai desa hingga median Jalan Raya Gunung Jati, yang merupakan jalur utama Cirebon-Indramayu via Karangampel.
Ratusan pengungsi itu hanya beralaskan tikar dan spanduk dengan atap terpal. Tanpa dinding. ”Semalam, anginnya dingin sekali. Enggak ada selimut,” ujar Supardi (32), warga Desa Grogol, Gunung Jati. Bersama empat anggota keluarganya, termasuk anaknya, Faozan (1), ia tidur di posko darurat tersebut. Baru kali ini ia mengungsi.
Warga terpaksa mengungsi di median jalan karena pos pengungsian seperti balai desa terdekat juga kebanjiran. Pos pengungsian yang tidak memadai itu memicu sejumlah penyakit.
Menurut dokter Puskesmas Suranenggala, Gunawan, 137 pengungsi memeriksakan kesehatannya hingga Senin siang. ”Keluhan pengungsi ialah diare, pusing, gatal, hingga demam. Kami berikan obat,” ujarnya.
Kami takut kena banjir lagi. Di sini saluran pembuangannya jelek. Kali dan sungai dangkal.
Hingga Selasa (13/3) siang, sebagian besar pengungsi telah kembali ke rumah seiring surutnya banjir. Namun, warga masih khawatir banjir menerjang Gunung Jati yang berjarak 5 kilometer dari Kota Cirebon.
”Kami takut kena banjir lagi. Di sini saluran pembuangannya jelek. Kali dan sungai dangkal,” ujar Muhammad Thoffa (23), warga Wanakaya.
Dia mencontohkan, lebar Kali Simuntuk hanya 3 meter dengan kedalaman tidak sampai 1,5 meter. Padahal, kali itu merupakan saluran pembuangan menuju perairan Bondet sebelum ke laut.
Saat banjir, sungai ini tidak mampu menampung luapan Sungai Condong dan Sungai Pekik. Desa Wanakaya, Gunung Jati, merupakan hilir dari sungai yang berasal dari Plered, Jamblang, dan Weru. Ketika ketiga daerah itu diguyur hujan deras, Gunung Jati berpotensi kebanjiran.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya sampah di kali dan sungai. Setelah banjir, tumpukan sampah setinggi 1 meter tampak di pinggir jalan dan permukiman. Sampah yang terdiri dari batang pohon pisang hingga kasur ini menghambat surutnya banjir. Warga, polisi, TNI, dan relawan saling membantu mengangkut sampah tersebut.
Jatuhnya korban jiwa menunjukkan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Cirebon masih gagap bencana. Padahal, banjir termasuk bencana yang dapat diprediksi dari intensitas hujan dan kondisi di hulu.
Banjir di utara Cirebon tersebut seperti ironi. Saat kemarau, wilayah seperti Gunung Jati, Suranenggala, dan Kapetakan kerap dilanda kekeringan. Karena daerah hilir, giliran mendapatkan air untuk sawah pun terakhir.
Sebelumnya, pada akhir Februari, banjir dahsyat menerjang wilayah timur Cirebon, seperti Pasaleman, Waled, dan Ciledug. Sebanyak 9.398 rumah terendam dan 43.268 warga terdampak. Empat warga meninggal dunia dan seorang hilang terseret arus.
Jatuhnya korban jiwa menunjukkan masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Cirebon masih gagap bencana. Padahal, banjir termasuk bencana yang dapat diprediksi dari intensitas hujan dan kondisi di hulu.
Ketika hujan di hulu, Kabupaten Kuningan, misalnya, BPBD Kuningan meminta wilayah di hilir, bagian timur Cirebon, agar berhati-hati. Peringatan itu kerap disampaikan di grup BPBD Kabupaten Cirebon yang juga diisi oleh awak media.
Tahun lalu, banjir juga menerjang Cirebon. Sebanyak 34 desa dari 10 kecamatan yang berada di bagian timur Cirebon kebanjiran. Ketinggian air tercatat 30 sentimeter hingga 1,5 meter di permukiman. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Namun, 10.500 keluarga atau sedikitnya 42.000 orang menjadi korban banjir itu.
Bahkan, seperti yang dituliskan di awal, harian Kompas telah melaporkan banjir Cirebon sejak 1995. Berita tersebut menjelaskan, Sungai Cisanggarung yang berhulu di Kuningan, melintasi Cirebon, dan berakhir di Brebes dapat meluap dan mengakibatkan banjir. Selain hujan deras, kondisi tanggul juga kritis saat itu.
Lalu, apakah Cirebon yang merupkan lumbung pangan Jabar dengan produksi lebih 600.000 ton gabah kering giling (GKG) akan terus-menerus terendam banjir? ”Kami belum selesai membuat laporan banjir jilid II, sudah datang yang jilid III,” ujar Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon Rahmat Sutrisno.
Rahmat mengatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan kewenangan. Daerah aliran sungai (DAS) di Cirebon, lanjutnya, merupakan wewenang Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung (BBWSCC).
Sungai Condong, misalnya, termasuk DAS Karanganyar, sementara Sungai Pekik termasuk DAS Cipager. Pihaknya telah menyampaikan hal tersebut kepada BBWSCC dalam rapat koordinasi penanggulangan banjir bersama Pemkot Cirebon dan Pemkab Kuningan.
Rapat dalam ruangan Balai Kota Cirebon tersebut terkesan saling lempar tanggung jawab dan menyalahkan sejumlah pihak. Pemda menilai, banjir yang terjadi akibat kondisi sungai yang merupakan wewenang BBWSCC sudah kritis dan butuh normalisasi.
Tahun lalu, kami mencatat 599 titik kritis di Sungai Cimanuk dan Cisanggarung.
Sementara BBWSCC menganggap banjir dipicu drainase buruk dan maraknya bangunan di sempadan sungai. Ini diperparah dengan tingginya curah hujan pertengahan Februari lalu yang mencapai 236 milimeter per hari.
Akibatnya, debit Sungai Cisanggarung mencapai 1.291 meter kubik per detik. Padahal, daya tampung sungai hanya 800 meter kubik per detik. Sungai pun meluap.
Meski demikian, Kepala BBWSCC Bob Arthur mengakui, Sungai Cisanggarung telah rusak dari hulu hingga hilir karena terjadi sedimentasi dan pendangkalan sungai. ”Tahun lalu, kami mencatat 599 titik kritis di Sungai Cimanuk dan Cisanggarung,” ujar Bob.
Padahal, pada 2013 hanya terdapat sekitar 300 titik kritis. Titik yang dimaksud ialah bantaran sungai yang tergerus lalu jatuh ke sungai dan mengakibatkan pendangkalan. Selain Cisanggarung yang merupakan DAS utama, juga terdapat 17 sungai yang melintasi Cirebon.
Kerusakan Cisanggarung yang membentang 71 kilometer itu juga dipengaruhi oleh okupasi bangunan di sempadan sungai dan lahan kritis di Kuningan, termasuk galian C. Di perbatasan Cirebon-Brebes, tepatnya Ciledug, bantaran Sungai Cisanggarung dijadikan tempat pembuangan sampah akhir Kabupaten Cirebon. Tempat pembuangan sampah akhir (TPSA) tersebut merupakan satu-satunya di Cirebon.
Tanah di badan sungai juga dijadikan bahan baku untuk pembuatan batu bata. Meski demikian, Bob mengakui, normalisasi seperti pengerukan sungai sulit dilakukan karena berdasarkan pada proyek tahunan.
Kondisi ini bisa lebih buruk. Menurut peta cuaca BMKG Jatiwangi, yang membawahkan wilayah Cirebon, puncak musim hujan terjadi pada Februari dan Maret. Melihat hal itu, banjir masih akan senantiasa datang ke Cirebon.