Demokrasi Indonesia Terancam
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hasil revisi hari ini resmi berlaku menjadi undang-undang. Dengan demikian, mulai hari ini, Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hari ini, DPR juga dapat meminta bantuan polisi untuk memanggil paksa dengan ancaman sandera terhadap mereka yang hingga tiga kali tidak memenuhi panggilan DPR. Pada saat yang sama, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana kini harus mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
”Keberadaan ketentuan itu dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) hasil revisi tersebut memperlihatkan bahwa DPR sedang membangun oligarki parlemen. DPR memperkuat seluruh kewenangan yang dimilikinya, lalu membangun benteng agar tak bisa disentuh oleh siapa pun. Ini merupakan ancaman terhadap demokrasi,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/3).
Hingga semalam, sudah lebih dari 203.000 netizen yang menyatakan menolak UU MD3 hasil revisi tersebut di laman change.org.
Ketika di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 21 Februari lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan memahami keresahan masyarakat terkait adanya sejumlah ketentuan dalam UU MD3 hasil revisi. ”Banyak yang mengatakan, ini hukum dan etika kok dicampur aduk. Ada yang mengatakan, politik sama hukum kok dicampur aduk. Pendapat-pendapat itu saya baca dan saya dengar di masyarakat. Saya kira semuanya tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi,” kata Presiden saat itu.
Berlaku
Hingga semalam, belum ada kejelasan apakah Presiden menandatangani atau tidak menandatangani UU MD3 hasil revisi tersebut. Namun, yang pasti, Rapat Paripurna DPR pada 12 Februari lalu telah menyetujui agar peraturan itu disahkan jadi UU.
Dengan demikian, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hari ini UU MD3 hasil revisi itu resmi berlaku. Ini karena Pasal 73 Ayat 2 UU No 12/2011 menyebutkan, jika rancangan undang-undang (RUU) tidak ditandatangani Presiden dalam waktu paling lama 30 hari sejak disetujui bersama oleh DPR bersama dengan pemerintah, RUU tetap menjadi UU dan wajib diundangkan.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menuturkan, Presiden mendengarkan aspirasi publik, terutama terkait kritik atas UU MD3 hasil revisi. Namun, setelah aturan itu berlaku dan diundangkan, maka bukan lagi menjadi domain pemerintah ataupun DPR. ”Kalau masih ada yang keberatan, orang bisa melakukan gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo juga mempersilakan pihak-pihak yang tidak setuju dengan UU itu untuk mengajukan uji materi ke MK. ”Kami serahkan kepada MK untuk memutuskan yang terbaik karena kami yakin MK sudah mempertimbangkan banyak pihak. Kami akan mengikuti apa pun putusan MK,” ujarnya.
MK telah menyidangkan perkara uji materi UU tersebut yang diajukan oleh tiga pihak, yakni Partai Solidaritas Indonesia, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, dan perseorangan warga negara Zico Leonard Djagardo (mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia) serta Josua Satria Collins (penulis kajian-kajian hukum). Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo digelar Kamis pekan lalu.
Ketiga pemohon tersebut mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 73 Ayat (3) dan Ayat (4) Huruf a, c, Pasal 122 Huruf k, dan Pasal 245 Ayat (1).
Perppu
Feri menuturkan, berlakunya UU MD3 hasil revisi menjadi ujian selanjutnya bagi Presiden atas peraturan itu. ”Jika Presiden sungguh-sungguh menolak UU itu, seharusnya mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) untuk merevisi sejumlah pasal yang mengancam demokrasi dalam peraturan tersebut,” katanya.
Presiden, lanjut Feri, tak perlu ragu mengeluarkan perppu yang merupakan hak konstitusional Presiden. Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mengeluarkan perppu pada UU Pilkada ketika dia keberatan mekanisme pilkada diubah dari semula langsung dipilih oleh rakyat menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perppu juga dibutuhkan karena jika menempuh jalur uji materi, butuh waktu sebelum MK mengeluarkan putusan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menambahkan, jika uji materi dilakukan, juga tidak ada jaminan bahwa putusan MK akan mengakomodasi seluruh keberatan publik atas UU itu. Oleh karena itu, dia juga mendesak Presiden mengeluarkan perppu.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menuturkan, jika perppu dikeluarkan, perppu tersebut cukup memperbaiki rumusan pasal yang dinilai oleh publik bakal mengancam demokrasi.
PPP dan Fraksi Partai Nasdem menolak revisi UU MD3 disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 Februari lalu. Delapan fraksi lainnya menyetujui revisi undang-undang disahkan.
Bersamaan dengan berlakunya UU MD3 hasil revisi, berarti penambahan satu wakil ketua DPR untuk PDI-P, tiga wakil ketua MPR untuk tiga fraksi partai politik, dan satu wakil ketua DPD, seperti diatur dalam revisi bisa segera direalisasikan.
Terkait hal ini, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, pimpinan DPR segera mengirimkan surat kepada Fraksi PDI-P di DPR untuk mengirimkan nama anggota DPR dari fraksi itu yang akan mengisi jabatan wakil ketua DPR.
Bendahara Fraksi PDI-P Alex Indra Lukman mengatakan, fraksi masih menunggu keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri terkait kader partainya yang akan jadi wakil ketua DPR. (APA/GAL/INA/ANA)