Muhammad Ikhsan Mahar/Andy Riza Hidayat/Antonius Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya partai politik yang mengusung Presiden Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden 2019 berpotensi menyulitkan penentuan calon wakil presiden untuk Jokowi.
Guna menjaga soliditas di antara parpol pengusung, terbuka kemungkinan cawapres untuk Jokowi berasal dari luar parpol pengusungnya.
”Ini pandai-pandainya Jokowi dan Megawati (Ketua Umum PDI-P) sebagai pihak yang menentukan (cawapres pendamping Jokowi) supaya tidak muncul konflik di antara parpol pengusung Jokowi,” kata Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris, di Jakarta, Selasa (13/3).
Konflik di antara parpol pengusung Jokowi bisa terjadi karena mereka ingin kadernya menjadi cawapres bagi Jokowi. ”Jika salah satu kader parpol yang dipilih, bisa jadi parpol lain tidak terima, dan memunculkan peluang lahirnya poros koalisi baru,” lanjutnya.
Saat ini, sudah ada lima parpol pemilik kursi di DPR yang menyatakan akan mengusung Jokowi sebagai capres pada Pemilihan Presiden 2019. Kelima partai itu adalah PDI-P, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.
Dari kalangan internal Golkar, sudah muncul suara untuk menyodorkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai cawapres pendamping Jokowi. Kemudian, dari PPP muncul nama Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
Selain itu, dari Hanura muncul pula nama Ketua Dewan Pembina Hanura yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Eriko Sotarduga menilai, adalah wajar jika setiap parpol pengusung mengajukan kadernya menjadi cawapres dari Jokowi. Pasalnya, jika kader parpolnya jadi cawapres, hal itu bisa mendongkrak elektabilitas parpolnya.
Selain itu, lanjutnya, kader parpol tersebut juga berpeluang besar untuk bisa terpilih menjadi presiden pada Pemilu Presiden 2024. Ini karena jika menang di Pilpres 2019, Jokowi sudah tidak mungkin maju kembali di Pilpres 2024.
”Namun, penting pula berpikir tidak sebatas pada kepentingan setiap partai. Ini tentunya akan dibicarakan lebih lanjut saat pertemuan partai-partai pengusung Jokowi,” ujar Eriko. Ia menyebutkan pertemuan itu segera dilakukan.
Untuk menjaga soliditas parpol pengusung Jokowi, ujarnya, bisa saja cawapres untuk Jokowi diambil dari luar parpol pengusungnya. ”Namun, PDI-P menyerahkan sepenuhnya soal cawapres dari Jokowi itu ke Ketua Umum PDI-P. Ketua Umum PDI-P yang akan memutuskan,” ucap Eriko.
Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan, jika nantinya parpol pengusung Jokowi tidak bersepakat kader dari salah satu parpol jadi pendamping Jokowi, harus dicari figur dari luar parpol pengusung Jokowi. ”PPP ada dalam posisi yang siap untuk itu (mencari figur dari luar partai pengusung Jokowi),” katanya.
Figur tersebut, lanjut Arsul Sani, tentunya harus bisa diterima oleh semua partai, meningkatkan kans kemenangan Jokowi pada 2019, dan juga bisa meningkatkan elektabilitas parpol pengusungnya.
Poros ketiga
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan menilai, kehadiran poros ketiga, di luar koalisi parpol pendukung Jokowi dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, di Pemilu Presiden 2019 merupakan kemustahilan. Untuk memastikan arah dukungan dalam Pilpres 2019, PAN akan melakukan pertemuan formal dengan semua parpol.
”Meski hitung-hitungan matematis (poros ketiga) memungkinkan, tetapi pembentukan poros baru itu butuh keajaiban,” ujar Zulkifli.
Menurut dia, dua poros dalam Pilpres 2019, yaitu poros koalisi parpol pendukung Jokowi dan Prabowo, merupakan pilihan yang rasional. Kehadiran poros baru membutuhkan banyak pertimbangan, salah satunya terkait sosok calon presiden alternatif.
Guna memastikan arah dukungan PAN di Pilpres 2019, Zulkifli mengatakan, pihaknya baru melakukan komunikasi informal dengan sejumlah pimpinan parpol. Pertemuan resmi dengan seluruh petinggi parpol untuk membicarakan Pilpres 2019, lanjutnya, akan dilaksanakan pada April mendatang.