JAKARTA, KOMPAS — Rancangan besar pengadaan guru yang terintegrasi dan berkelanjutan dari hulu ke hilir belum juga mantap meskipun guru sudah dicanangkan sebagai profesi sejak Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diberlakukan.
Padahal, calon guru bergelar sarjana pendidikan terus bertambah. Pengangkatan guru baru yang profesional lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di lembaga pendidik tenaga kependidikan terpilih belum bisa diandalkan. Sebab, mutu lulusan itu umumnya tidak memadai.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/3), mengatakan, persoalan guru selama ini diatasi secara tambal sulam.
”Bangsa ini harus membuat grand design guru yang melibatkan semua pemangku kepentingan yang jelas targetnya serta terjamin keberlanjutannya, siapa pun pemerintahnya,” ujar Unifah.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Intan Ahmad mengatakan, guru baru yang profesional disiapkan lewat PPG. Peserta diseleksi ketat dan penyelenggaranya juga harus lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) yang memenuhi standar. ”Upaya menghadirkan guru baru yang berkualitas difokuskan di PPG,” ucap Intan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, guru bersertifikat lulusan PPG belum memadai dari sisi jumlah. Saat ini masih dibutuhkan 900.000 guru baru.
Jumlah guru yang ada saat ini—sekitar 3 juta orang—lanjutnya, akan terus menyusut karena pensiun dan faktor moratorium PNS tahun 2012. Guru yang pensiun mencapai 50.000 orang tiap tahun.
”Ketersediaan guru ini sudah dibahas. Sebagai user, Kemdikbud butuh guru profesional, tapi sering kali sulit dipenuhi. Ujung-ujungnya karena keterbatasan anggaran,” ujar Hamid.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia Muhdi menilai, selama ini pemerintah memang tak punya cetak biru pengadaan guru. Kondisi itu akan mengancam mutu pendidikan Indonesia di masa depan.
”Guru menjabat posisi utama dalam mengejar mutu pendidikan. Selama ini pemerintah sibuk mengganti kurikulum tiap tahun tanpa melirik jumlah guru yang ada dan akan pensiun,” ucap Muhdi yang juga Rektor Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang (UPGRIS).
Menurut Muhdi, pemerintah seharusnya membuka data ketersediaan guru secara transparan. Informasi kekurangan sekitar 998.000 guru baru dilansir Kemdikbud akhir 2017. Padahal, sebelumnya disebutkan jumlah guru mencapai 3 juta orang.
Dari hasil penelitian UPGRIS, ada sekitar 256.000 guru yang akan pensiun sepanjang 2018-2020. Adapun jumlah guru pensiun setiap tahun meningkat dari 62.759 tahun 2019 menjadi 72.976 tahun 2020. Puncak masa pensiun guru diperkirakan terjadi tahun 2023.
Jadi prioritas
Ketersediaan guru harus dipetakan, termasuk data kekurangan guru dan strategi penyelesaian.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur, pemerintah sedang mendorong pertumbuhan jumlah pegawai negeri sipil nol persen atau bahkan minus karena ada 134 kabupaten/kota yang 50 persen APBD-nya merupakan belanja pegawai. Namun, profesi guru tetap menjadi prioritas pemerintah dalam pengisian formasi pegawai negeri sipil.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana menuturkan, sebenarnya, letak persoalan bukan pada kekurangan guru, melainkan lebih pada distribusi. Ada daerah yang surplus guru dan ada yang kekurangan guru. Karena itu, dia menilai pertama-tama perlu redistribusi guru.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa, di Kantor Wapres, Jakarta, mengakui masalah rendahnya kualitas LPTK dan banyaknya LPTK berakreditasi C menjadi perhatian pemerintah. Tidak semua lulusan sekolah keguruan bisa menjadi guru.
”Jadi, jangan asal dikasih sertifikat, itu salah satu proses yang harus diikuti,” kata Wapres Kalla.
Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Rochmat Wahab mengatakan, perlu ada upaya membina LPTK yang tidak memenuhi standar. Jika sarjana pendidikan yang tidak mumpuni mengajar di sekolah, itu pasti akan mengorbankan mutu pendidikan dan merugikan masyarakat. (DNE/ELN/GAL/MHD/INA/KRN)