Sikap Presiden Joko Widodo Dinanti
JAKARTA, KOMPAS — Sikap Presiden Joko Widodo yang belum menandatangani revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyiratkan ada kesalahan pada UU itu. Presiden diminta turut membenahi kesalahan itu dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Karena dalam kurang dari 24 jam, nasib demokrasi dipertaruhkan.
Pada Rabu (14/3), setelah berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan, UU MD3 akan berlaku mulai Kamis (15/3), dengan atau tidak adanya tanda tangan dari Presiden. Mengingat, batas waktu penandatanganan hanya sampai pukul 00.00, malam ini.
Akhir Februari, Jokowi menyampaikan mendengarkan keluhan masyarakat terhadap revisi itu. Dia tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi. Bahkan, sebelumnya Yasonna menyebutkan Jokowi cukup kaget dan kemungkinan tidak akan menandatangani revisi UU MD3.
”Pak Jokowi mengakui ada masalah di revisi itu. Karena itu, tidak mau tanda tangan. Ini menunjukkan adanya ancaman pada demokrasi. Presiden perlu sesegara mungkin membenahi. Kita tidak boleh bertaruh kualitas dan masa depan demokrasi walau hanya hitungan hari,” ucap Direktur Eksekutif Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Pak Jokowi mengakui ada masalah di revisi itu. Karena itu, tidak mau tanda tangan. Ini menunjukkan adanya ancaman pada demokrasi. Presiden perlu sesegara mungkin membenahi. Kita tidak boleh bertaruh kualitas dan masa depan demokrasi walau hanya hitungan hari.
Titi mengatakan, Presiden perlu mengeluarkan perppu. Hal itu pernah dilakukan pada pemerintahan lalu. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah mengeluarkan perppu terkait UU yang mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Dilihat Titi, tingkat urgensi untuk mengeluarkan perppu sudah sama. Pada 2014, demokrasi terancam karena masyrakat daerah tidak bisa berpartisipasi dalam memilih pemimpinnya.
Sementara itu, saat ini revisi UU MD3 menghadirkan darurat demokrasi karena dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam mengkritik kebijakan dan pertanda parlemen yang sedang membangun oligarki.
Meski demikan, Titi melihat tanggung jawab moral Jokowi lebih besar daripada SBY. ”Dulu Pak SBY sempat menandatangani UU-nya. Namun, karena tekanan publik, beliau membuat perppu. Situasi lebih buruk sekarang karena ancaman demokrasi sudah dilihat oleh Jokowi dengan tidak mau menandatangani,” katanya.
Peneliti Indonesia Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan, UU MD3 akan berlaku besok. Untuk itu, Jokowi harus bergerak cepat agar tidak ada yang menjadi korban UU itu.
”Presiden menyetujui itu atau tidak? Kalau tidak, seharusnya mengeluarkan perppu. Jangan sampai bilang tidak setuju, tetapi menyuruh masyarakat menguji materi saja di Mahkamah Konstitusi,” kata Erwin.
Menurut Erwin, kesalahan dalam UU adalah sebuah kewajaran. Sementara itu, apabila Presiden melihat kesalahan itu penting, dia bebas mengeluarkan perppu. Bukan berarti kesalahan itu dibiarkan begitu saja dengan tidak menandatangani UU tersebut.
Mulai besok, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berwenang mengambil langkah hukum bagi mereka yang merendahkan martabat DPR dan anggotanya. Selain itu, DPR dapat meminta bantuan polisi untuk memanggil paksa dengan ancaman sandera terhadap mereka yang tidak memenuhi panggilan DPR sebanyak tiga kali. Di lain sisi, pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR harus melalui pertimbangan MKD.
Pasal-pasal tersebut terdapat pada Revisi UU MD3 Pasal 73 Ayat (3) dan (4), Pasal 122 Huruf k, dan Pasal 245 Ayat (1).
Darurat atau tidak
Meski demikian, Bambang menilai, tidak perlu ada perppu. Menurut dia, Indonesia sedang tidak dalam keadaan darurat kenegaraan.
”Perppu dikeluarkan manakala ada keadaaan yang memaksa, apakah ada? Seperti besok negara akan runtuh atau masyarakat saling bunuh. Tidak ada keadaan yang memaksa,” ucapnya.
Sebetulnya, kata Bambang, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan pasal-pasal yang kontroversial tersebut. DPR tidak akan menggunakannya untuk membentuk benteng ataupun mengkriminalisasi masyarakat.
Dua ribu persen saya jamin tidak ada hambatan bagi penegakan hukum. Kami juga butuh kritik, malah kami buka lomba kritik. Harus dibedakan mana kritik dan ujaran kebencian.
”Dua ribu persen saya jamin tidak ada hambatan bagi penegakan hukum. Kami juga butuh kritik, malah kami buka lomba kritik. Harus dibedakan mana kritik dan ujaran kebencian,” kayanya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pengeluaran perppu bukan berdasarkan kedaruratan yang mengakibatkan penutupan negara. Menurut Pasal 22 UUD 1945, perppu dapat dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
”Hal ikhwal genting memaksa itu berdasarkan tiga hal, proses pembentukan UU yang memakan waktu, terjadi kekosongan peraturan, dan adanya peraturan tetapi tidak menyelesaikan permasalahan,” ucap Feri.
Dari tiga hal tersebut, Feri menilai perppu diperlukan untuk segera menghentikan pemberlakuan revisi UU MD3. Perppu patut dikeluarkan karena merupakan pilihan konstitusional dan realistis untuk menghentikan oligarki.
Anggota DPR Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, tidak keberatan apabila Presiden mengeluarkan perppu. Meski demikan, Arsul tidak memaksakan hal tersebut. ”Soal kedaruratan, kan, memang menjadi tafsir subyektifnya Presiden,” ucapnya.
Meski demikian, Arsul menegaskan, sikap PPP tidak berubah. Mereka tetap mendukung Presiden agar dikeluarkannya perppu. Namun, hal itu bergantung pada keinginan masyarakat. Apabila tidak ada dorongan kuat dari masyarakat, PPP akan tetap mendukung dalam gugatan sengketa ke MK.
Uji materi
Bambang mengimbau, masyarakat yang tidak puas untuk menggugat ke MK. Hal itu dinilai langkah paling tepat untuk menghindari kegaduhan menjelang Pilkada 2018.
”Sudah ada ruang untuk mengoreksi, lewat uji materi MK. Sampai saat ini sudah delapan pihak yang menggugat undang-undang tersebut. Saya mengapresiasi masyarakat yang melakukan itu,” kata Bambang.
Sementara itu, Erwin menilai, waktu penyelesaian kasus di MK cenderung lama dan tidak bisa dipastikan. Bahkan, menurut dia, ada sengketa yang baru diputuskan dua hingga lima tahun.
”Bermasalah itu soal lama putusan. Proses sidang biasanya tiga bulan, dari 10-12 kali sidang. Namun, putusan tidak ada pola yang ajek berapa lamanya,” ucap Erwin.
Data Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif menyebutkan, pada 2016, rata-rata lama putusan MK adalah 10,5 bulan. Waktu itu dihitung sejak awal registrasi hingga diputuskannya gugatan pemohon.
Selain waktu, Titi mempermasalahkan integritas dari MK. Menurut dia, selama ini banyak putusan MK yang kontroversial, seperti saat disahkannya ambang batas pencalonan presiden.
”Tidak ada yang menjamin pasal krusial yang mengganggu demokrasi dalam UU MD3 bisa dipahami oleh MK,” katanya.