JAKARTA, KOMPAS - Sejak 2001, tingkat kepatuhan penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantas Korupsi tidak pernah mencapai 100 persen. Laporan itu merupakan salah satu upaya KPK untuk meningkatkan tranparansi dan mencegah tindakan korupsi.
Dengan diberlakukannya sistem pelaporan itu secara daring mulai 2018, diharapkan tata cara pelaporan itu menjadi lebih mudah sehingga menaikkan tingkat kepatuhan para pejabat.
Mengacu pada data dari situs acch.kpk.go.id, belum semua penyelenggara negara menyampaikan laporan harta kekayaannya. Pada periode 2001-2017, tingkat kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan LHKPN berkisar antara 40 persen sampai 90 persen.
Per 31 Desember 2017, ada sebanyak 315.954 penyelenggara negara atau wajib lapor LHKPN. Penyelenggara negara yang sudah lapor LHKPN mencapai 95,65 persen untuk instansi yudikatif, 82,43 persen untuk instansi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), 78,70 persen untuk instansi eksekutif, dan 31,09 persen untuk instansi legislatif. Secara nasional, tingkat kepatuhan LHKPN sebesar 78 persen.
Spesialis Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Andhika Widiarto mengatakan, tingkat ketidakpatuhan lebih besar pada tingkat daerah dibanding tingkat pusat.
"Tingkat kepatuhan legislatif pusat 80-90 persen, sedangkan legislatif daerah 27 persen," ujarnya di sela-sela acara sosialisasi dan bimbingan teknis e-LHKPN untuk para Hakim Agung, Pejabat Eselon I, dan Hakim Yustisial di Jakarta, Selasa (13/3).
Penyebab ketidakpatuhan itu, menurut Andhika, bermacam-macam. Selain malas, beberapa anggota DPRD menganggap jabatannya bukan sebagai penyelenggara negara, namun sebagai penyelenggara daerah. Padahal, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, selain pejabat negara, menteri, gubernur, dan hakim, penyelenggara negara juga meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam penyelenggaraan negara.
Dalam acara sosialisasi LHKPN kemarin, sejumlah hakim agung mengungkapkan kritik serta rekomendasinya terkait sistem LHKPN. Ada yang merasa skeptis dengan efektivitas pelaporan kekayaan dalam mencegah korupsi karena tidak semua laporan kekayaan itu diumumkan atau diperiksa secara mendalam oleh KPK. Ada pula yang menyarankan, perlunya kerja sama antara KPK dan Mahkamah Agung dalam menganalisis data LHKPN. Dengan demikian, kedua lembaga bisa mendeteksi lebih dini pejabat yang harta kekayaannya mencurigakan.
Menanggapi kritis itu, Andhika mengaku, karena keterbatasan anggaran dan tenaga kerja, KPK belum mampu memeriksa secara lebih dalam semua LHKPN yang diterima. "Kami hanya bisa mengumumkan 150.000 laporan. Walaupun demikian, semua laporan diperiksa secara administrasi. Data itu juga ditampilkan di situs KPK," tuturnya.
Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi berpendapat, LHKPN membantu memantau harta kekayaan pejabat, sehingga keberadaan harta kekayaan yang meragukan bisa ditindaklanjuti. "Kita tahu pendapat pejabat itu dan bisa melihat apakah penambahan harta itu normal atau tidak. Kalau tiba-tiba beli mobil mewah misalnya, kan bisa dicurigai," katanya. (DD07)