Belajar Islam di Indonesia
Beragam aksi teror dan radikalisme berbasis agama yang terjadi di Indonesia menciptakan ketakutan warga dunia. Mereka harus berpikir dua kali sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Indonesia. Namun, pandangan tersebut seketika berubah ketika mereka mengenal Indonesia.
Salah satunya dirasakan Saba Awan, peserta program Pertukaran Pemimpin Muslim Australia-Indonesia 2017-2018. Selama dua minggu berkeliling Indonesia, pandangannya ihwal penduduk Muslim berubah total.
”Dari hasil perbincangan dengan teman-teman di Australia, yang saya tahu Muslim Indonesia itu sangat konservatif, hanya menjalankan satu model praktik agama,” kata Awan dalam pertemuan peserta Pertukaran Pemimpin Muslim Australia-Indonesia 2017-2018, di Jakarta, Kamis (15/3).
Sebelumnya, ia juga berpikir bahwa Indonesia merupakan negara yang amat berbahaya.
”Saya justru menemukan bahwa penduduk Indonesia sangat beragam dan menghormati satu sama lain,” ucap Awan.
Juru Bicara Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Ian Gerrard mengatakan, Australia mengirim lima delegasi pemuda. Selain Awan, ada pula Abdul Hameed Kherkhah, Anam Javed, Siddick Tegally, dan Eiman Al Ubudy.
Mereka dikirim untuk belajar tentang keberagaman dan toleransi beragama. ”Program pertukaran pemuda Muslim membangun dan memperkuat hubungan antarpemimpin muda, membekali mereka dengan pengalaman yang mengubah hidup,” ujar Gerrard.
Javed mengatakan, di Indonesia dirinya belajar bahwa beragam organisasi kemasyarakatan berbasis agama dapat tumbuh berkembang, misalnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Di samping itu, meski sebagian besar masyarakat menganut agama Islam, agama-agama lain pun bisa tetap hidup. Menurut Javed, kemampuan masyarakat Indonesia untuk hidup bersama dalam kerukunan amat menginspirasi.
Awan menuturkan, pengalaman menyatu dalam keberagaman yang tidak bisa dilupakannya adalah ketika berkegiatan di Makassar, Sulawesi Selatan. Di sana, ia bergabung dengan tim futsal antaragama. Pertandingan pun berlangsung sportif, tidak ada sentimen agama yang muncul.
Warisan Hindu-Buddha
Kunjungan ke Indonesia rupanya memberikan pengetahuan baru kepada para pemuda Australia. Awan mengatakan tidak pernah mengetahui bahwa leluhur bangsa Indonesia dipengaruhi kuat oleh agama serta budaya Hindu dan Buddha.
Selain bertemu dengan organisasi kemasyarakatan Islam, para pemimpin komunitas, pesantren, dan akademisi, mereka pun mengunjungi rumah ibadah agama selain Islam. Mereka mengunjungi Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Tegally mengatakan tidak habis pikir ketika menyaksikan sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Ia mengapresiasi seluruh masyarakat Indonesia yang tidak hanya mampu hidup rukun, tetapi juga menjaga tradisi.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini mengatakan, Islam di Indonesia memang hadir dengan menjunjung semangat rahmat untuk seluruh semesta.
Ia menambahkan, dalam Al Quran jelas dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tujuannya, agar dapat bersatu padu satu sama lain.
”Perihal menghargai keberagaman telah ditekankan dalam Islam,” lanjut Helmy.
Persoalan kerukunan dalam keberagaman pun menjadi salah satu hal dasar yang selalu diajarkan ulama NU. Toleransi, dalam pandangan NU, diartikan sebagai peran aktif untuk saling melengkapi dalam semangat persaudaraan.
Ia menambahkan, NU membagi persaudaraan ke dalam tiga jenis, yakni , persaudaraan sesama Muslim, persaudaraan sebangsa, dan persaudaraan kemanusiaan.
”Dalam konteks menghargai keberagaman, kami berusaha mengamalkan paradigma bahwa mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan,” ucap Helmy.
Kepemimpinan perempuan
Javed pun mengapresiasi kepemimpinan perempuan Muslim di Indonesia. Menurut dia, di Australia, tidak ada perempuan Muslim yang diajukan sebagai pemimpin di komunitasnya.
Perempuan Muslim juga belum bisa sepenuhnya menentukan nasib, baik dalam urusan pribadi maupun urusan kemasyarakatan. ”Keputusan dalam hidup perempuan masih ditentukan oleh laki-laki,” kata Javed.
Apresiasi serupa pernah diberikan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. Dalam kunjungannya ke Indonesia pada awal April 2017, ia mengatakan, kiprah perempuan ulama Indonesia hampir tidak dimiliki umat Islam di mana pun (Kompas, 25/4/2017).
Pada April 2017, para perempuan ulama menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres berangkat dari kegelisahan berbasis riset dan pengalaman sebagai perempuan Indonesia. Ada pula keprihatinan pada situasi perempuan yang disebabkan mandeknya pemikiran keagamaan terkait problem kemanusiaan dan perempuan.
Menurut Direktur Rumah Kitab sekaligus peserta KUPI, Lies Marcoes, kehadiran KUPI merupakan penegasan dari ciri khas Islam Indonesia.
”Islam di Indonesia adalah Islam yang dalam kehidupan sosial budayanya membuka diri pada peranan perempuan untuk beraktivitas di ruang publik sehingga dimungkinkan menjadi ulama, pemimpin agama, bahkan menjadi hakim agama,” tutur Lies (Kompas, 25/4/2017).
Lies menambahkan, kongres yang pada akhirnya melahirkan fatwa itu sangat penting untuk dicatat, baik dalam sejarah Islam di Indonesia maupun di dunia. Kongres tersebut telah melegitimasi dan mengafirmasi kerja-kerja para perempuan ulama.
Pandangan warga dari luar negeri memang bisa seketika berubah ketika mereka mengenal Indonesia secara lebih dalam. Kini, tanggung jawab ada di pundak masyarakat Indonesia untuk menjaga nilai-nilai keberagaman sehingga negeri ini akan selalu layak menjadi tempat belajar bagi masyarakat dunia.