JAKARTA, KOMPAS — Poros ketiga dalam Pemilihan Presiden 2019 terus diwacanakan oleh Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Wakil Presiden Jusuf Kalla berpotensi menjadi sosok yang mempersatukan poros ini.
Hal ini terjadi karena tiga partai politik yang menggagas poros ketiga menginginkan kadernya menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. PAN menginginkan ketua umumnya, yaitu Zulkifli Hasan, menjadi capres atau cawapres. PKB menginginkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Demokrat menginginkan Agus Harimurti Yudhoyono, putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, jika poros ini terbentuk, hanya ada dua orang yang dapat diusung, yaitu sebagai capres dan cawapres.
Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan, Rabu (14/3), di Jakarta, mengatakan, figur yang bisa mempersatukan poros ini terbuka kemungkinan bukan berasal dari ketiga parpol tersebut. Dia tidak menampik, Jusuf Kalla sebagai calon yang layak dipertimbangkan untuk mempersatukan poros itu.
Hinca juga tidak membantah jika Yudhoyono berencana menemui Kalla. ”Belum ada komunikasi yang intens, tetapi kalau memang ada waktu yang tepat, bisa saja,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengatakan sudah bertemu dengan Kalla pada Selasa malam lalu. Salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan itu adalah tentang wacana poros koalisi nasional.
”Saya sampaikan pikiran agar koalisi (partai untuk Pemilu Presiden 2019) itu tidak seperti dua blok, pemerintah dan antipemerintah. Itu jadi seperti musuh, bahaya itu. Kita ingin tahun politik ini bicara Indonesia, bicara koalisi nasional, supaya rakyat sejahtera, negara maju,” ujar Zulkifli.
Sementara itu, Wakil Sekjen PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, wacana menjadikan kembali Kalla sebagai cawapres dari Jokowi di 2019 belum ditutup. Wacana ini masih dikaji karena ada penafsiran berbeda atas aturan di UUD 1945 yang menyebutkan, masa jabatan presiden dan wapres hanya dua periode.
Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, ”Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Selain itu, dalam Pasal 169 Huruf (n) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah ”belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Selain Kalla, PDI-P juga mengkaji sejumlah nama lain sebagai pendamping Jokowi. Mereka, antara lain, adalah Zulkifli Hasan, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, dan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani.
Dengan posisi cawapres hanya satu, PDI-P berharap partai-partai yang ingin bersama PDI-P mengusung Jokowi tetap bisa bekerja meski kadernya tidak jadi cawapres. Pasalnya, bentuk kerja sama politik tidak hanya di cawapres, tetapi juga bisa di tempat lain, seperti kabinet atau lembaga lainnya.
Keajaiban
Zulkifli mengatakan, koalisi yang menjadi seperti dua blok idealnya dihindari dalam pemilu. ”Pemilu ini kontestasi biasa bagaimana mewujudkan Indonesia sejahtera,” katanya.
Namun, dia mengakui, dibutuhkan keajaiban untuk membentuk poros baru di pilpres, di luar poros parpol yang mengusung Jokowi dan Prabowo. Namun, bukan berarti hal itu lantas menjadi mustahil untuk bisa dilakukan.