Penolakan Terus Digalang
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memutuskan tidak menandatangani Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) itu. Namun, peraturan yang pada 12 Februari lalu disetujui DPR dan pemerintah untuk disahkan jadi UU itu tetap berlaku menjadi UU mulai Kamis (15/2) ini.
Sebagai tanda berlakunya UU itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Lembaran Negara Nomor 29 Tahun 2018 tentang berlakunya UU No 2/2018 tentang MD3.
Pada saat yang sama, sejumlah elemen masyarakat sipil terus menggalang dukungan untuk menolak UU yang dinilai memundurkan demokrasi itu. Selain meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk merevisi/membatalkan sejumlah ketentuan dalam UU itu, masyarakat sipil juga mengajak publik menguji UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketentuan dalam UU No 2/2018 yang dinilai memundurkan demokrasi hingga layak dibatalkan/direvisi antara lain tentang adanya wewenang bagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap mereka yang dinilai merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ketentuan lain, misalnya, adalah tentang adanya wewenang DPR untuk meminta polisi memanggil paksa dengan ancaman sandera terhadap mereka yang hingga tiga kali tidak memenuhi panggilan DPR. Pada saat yang sama, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana kini harus mendapat pertimbangan MKD.
Sejumlah ketentuan itu telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Petisi daring ”Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik!” di Change.org yang diinisiasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 semalam sudah ditandatangani lebih dari 204.000 kali.
Perppu tak dikeluarkan
Presiden Joko Widodo menuturkan, keresahan masyarakat membuatnya memilih untuk tidak menandatangani UU itu. Namun, Presiden juga menyatakan tidak akan menerbitkan perppu untuk merevisi sejumlah pasal di dalam UU itu. Perppu dinilai tak efektif karena setelah diterbitkan tetap harus mendapatkan persetujuan DPR. ”Untuk menyelesaikan masalah itu, masyarakat silakan mengajukan uji materi ke MK,” tutur Presiden.
Saat ini MK telah menyidangkan perkara uji materi UU itu, yang diajukan tiga pemohon, yaitu Partai Solidaritas Indonesia, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, serta perseorangan warga negara Zico Leonard Djagardo (mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan Josua Satria Collins (penulis kajian-kajian hukum). Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan telah digelar Kamis pekan lalu.
Dhenok Pratiwi, Manajer Kampanye Change.org Indonesia, menuturkan, dalam beberapa hari mendatang, Change.org dan pengaju petisi daring penolakan atas UU MD3 akan menyerahkan salinan petisi daring itu ke Sekretariat Negara RI.
”Penginisiasi petisi juga akan mengajukan gugatan formil ke MK dengan mengumpulkan dukungan dari penanda tangan petisi,” kata Dhenok. Tawaran bagi netizen untuk bergabung menjadi pemohon uji formil ke MK, kemarin sore, mulai diunggah di laman petisi.
Hendrik Rosdinar dari Koalisi Tolak UU MD3 mengatakan, draf permohonan uji materi UU MD3 sudah disiapkan. Penggalangan pemohon uji formil itu akan dilakukan selama sepekan.
Koalisi masyarakat sipil, kata Hendrik, menilai penolakan Presiden untuk menandatangani revisi UU MD3 menegaskan secara formil pengesahan revisi UU MD3 tidak sah karena tidak disetujui DPR dan Presiden. Selain itu, Presiden juga tak mengetahui munculnya pasal-pasal kontroversial yang sebenarnya tidak ada dalam naskah akademik.
”Kami memilih uji formil karena sudah ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi. Uji formil ini juga ingin menunjukkan bahwa secara prosedur, penyusunan UU MD3 salah secara hukum,” kata Hendrik.
Pimpinan
Bersamaan dengan berlakunya UU No 2/2018, penambahan satu wakil ketua DPR dan wakil ketua DPD, serta tiga wakil ketua MPR yang diamanahkan dalam UU itu segera dilakukan.
Penambahan satu kursi wakil ketua DPR akan diberikan ke Fraksi PDI-P. Sementara tiga wakil ketua MPR, untuk Fraksi PDI-P, Gerindra, dan PKB.
Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Arif Wibowo mengatakan, kandidat terkuat pengisi wakil ketua MPR dari fraksinya adalah Ahmad Basarah. Adapun untuk wakil ketua DPR, ada dua kandidat terkuat, yaitu Ketua Fraksi PDI-P di DPR Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi PDI-P di DPR Bambang Wuryanto.
Ketua Fraksi Gerindra di MPR Martin Hutabarat mengatakan, wakil ketua MPR dari Gerindra akan diisi Ahmad Muzani. Sementara Wakil Sekjen PKB Daniel Johan menyatakan, Muhaimin Iskandar akan mengisi posisi wakil ketua MPR dari PKB.
Adapun untuk penambahan satu wakil ketua DPD, DPD telah membentuk Panitia Khusus Tata Tertib DPD untuk merevisi pasal-pasal yang terkait pimpinan DPD dalam tata tertib DPD. Setelah revisi, penambahan akan dilakukan.
(INA/NDY/GAL/MHD/APA/HAR)