Perkara Perdata Rawan Jadi Ladang Hakim dan Panitera Terima Suap
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain pidana korupsi, perkara perdata kini menjadi ladang subur bagi hakim ataupun panitera untuk menerima suap. Beberapa panitera yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti menerima suap untuk memengaruhi keputusan hakim terkait perkara perdata.
Penangkapan hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri, dan panitera pengganti PN Tangerang, Tuti Atika, pada awal Maret kemarin menjadi perkara suap keempat dalam pengurusan perkara perdata.
Dari tiga perkara suap sebelumnya, tiga panitera telah dipidana. Ketiganya terbukti menerima suap untuk memengaruhi keputusan majelis hakim terkait perkara perdata.
Terhitung sejak 2016, dua panitera di PN Jakarta Pusat ditangkap KPK menerima suap untuk memengaruhi keputusan majelis hakim dalam perkara perdata, yakni Edy Nasution dan Santoso.
Edy dan Santoso ditangkap untuk perkara yang berbeda dan waktu yang berbeda. Edy ditangkap pada April 2016 karena menerima suap hingga Rp 500 juta terkait peninjauan kembali perkara perdata.
Sementara Santoso ditangkap pada Juli 2016 karena menerima suap hingga 30.000 dollar AS terkait perkara perdata.
Memasuki 2017, KPK kembali menangkap panitera pengganti di PN Jakarta Selatan, Tarmizi. Baru pada 12 Maret, Tarmizi divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap hingga Rp 425 juta untuk memengaruhi putusan hakim terkait sengketa perdata di antara dua perusahaan.
Di persidangan, Tarmizi sempat mengungkapkan bahwa dia pernah membahas permintaan untuk memenangkan salah satu pihak dalam perkara perdata kepada ketua majelis hakim yang menangani perkara itu, yakni hakim Djoko Indiarto.
Dalam pembahasan itu, Tarmizi meminta Djoko agar dapat memenangkan pihak tergugat, PT Aquamarine Divindo Inspection. Namun, di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Djoko mengaku tak menanggapi permintaan Tarmizi.
Sementara itu, hakim Wahyu dan panitera Tuti di PN Tangerang diduga terlibat menerima suap dari dua advokat terkait pengurusan perkara perdata wanprestasi yang disidangkan di PN Tangerang. Nilai suap yang diterima sebesar Rp 30 juta.
Ahli hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Kamis (15/3), menyampaikan, perkara perdata yang kurang menarik perhatian publik menjadi ladang subur bagi hakim dan panitera untuk menerima suap. Ironisnya, hakim yang terlibat pun adalah hakim senior yang menjelang pensiun.
”Pesta pora suap-menyuap terjadi pada perkara perdata yang kurang menarik perhatian publik,” katanya.
Padahal, menurut Fickar, dengan modus perdata (perjanjian, joint venture sewa, dan penguasaan aset) tak sedikit pihak swasta justru menguasai aset negara melalui putusan-putusan pengadilan yang hakimnya menerima suap. Biasanya, penguasaan aset itu dilakukan pihak swasta pada mulanya lewat investasi.
”Sudah banyak aset badan usaha milik negara yang raib tak terselamatkan, berpindah tangan akibat keputusan pengadilan. Sebut saja aset Pertamina, Pelindo, PT Kereta Api,” katanya.
Fickar meminta Komisi Yudisial agar tak hanya menjadi pemadam kebakaran yang baru repot setelah kasus terjadi. KY harus sudah mulai mengamati perkara perdata yang obyeknya adalah penguasaan aset negara. Dengan demikian, aset-aset negara itu dapat dimonitor sejak dini untuk mengurangi kerugian negara.
Terhadap MA, Fickar juga meminta agar lebih peka terhadap person yang terlibat dalam peradilan. Sebab, di balik sistem pengawasan yang ketat itu tetap ada manusia yang terlibat.
”Harus dipikirkan bagaimana budaya korupsi ini agar tak bisa berkembang biak dan beregenerasi. Penyebab korupsi karena keserakahan itu harus dihilangkan dan harus menjadi perhatian khusus MA,” katanya.