UU MD3 Berlaku, Rakyat Bisa Jadi Obyek Kriminalisasi
JAKARTA, KOMPAS — Efektif hari ini, Kamis (15/3), masyarakat dapat diproses hukum apabila merendahkan kehormatan lembaga dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Lewat Pasal 122 Huruf k UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kriminalisasi dapat menyasar siapa saja. Apalagi, pasal itu masih multitafsir dan belum memiliki aturan turunan.
UU Nomor 2 Tahun 2018 itu tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. UU MD3 itu masuk dalam lembaran negara nomor 29 tambahan lembaran negara nomor 6187.
Di kompleks DPR, Senayan, Kamis (15/3), Ketua DPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyatakan, UU MD3 efektif berlaku sejak Kamis ini setelah mendapatkan penomoran dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan itu, Pasal 122 Huruf k juga berlaku.
Pasal itu merupakan salah satu yang dinilai kontroversial. Pasal itu memberikan wewenang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
”Secara hukum, pasal itu sudah berlaku. Mulai hari ini, masyarakat jadi obyek kriminalisasi UU tersebut. Setiap warga negara bisa jadi obyek. Jadi, hati-hati untuk mengomentari atau mengkritik DPR, harus hati-hati,” kata Erwin Natosmal Oemar, peneliti Indonesian Legal Roundtable, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.
Erwin mengatakan, masyarakat perlu berhati-hati karena bisa menjadi sasaran kapan saja. Apalagi, tidak ada aturan jelas dalam konteks merendahkan kehormatan DPR. Pasal itu dinilai pasal karet dan multitafsir yang tidak berdasar.
Hal senada diucapkan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karius. Menurut dia, dalam hal teknis, kriminalisasi sudah dapat dilakukan. Sebab, tidak ada pasal yang melarang penggunaan pasal tersebut tanpa adanya aturan tambahan.
Bahkan, Lucius menilai, kriminalisasi lewat MKD lebih berbahaya daripada laporan pribadi. ”Mereka bisa berlindung di balik keputusan lembaga. Apabila lembaga bertindak, dampaknya semakin kuat dalam konteks untuk mengkriminalisasi. Misi mereka untuk mengkriminalisasi publik tercapai,” ucapnya.
Menanggapi itu, Bambang meyakini tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Dia menjamin DPR tidak akan antikritik, apalagi mengkriminalisasi rakyatnya sendiri.
”Yang mengatakan akan ada kriminalisasi, itu hanya untuk memprovokasi DPR dengan rakyat. Buktinya kami mengadakan lomba kritik. Kami butuh kritik dan tidak akan kriminalisasi. Saya jamin itu,” ujarnya.
Segerakan aturan turunan
Untuk menjamin tidak ada pasal karet, Bambang mengatakan, akan membuat aturan turunan terkait UU MD3. Meski demikian, DPR akan menunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dulu. Adapun, sudah ada tiga gugatan sengketa terkait beberapa pasal dalam revisi UU MD3 tersebut.
”Peraturan pendukung itu akan mengacu pada putusan MK. Kita menunggu biar tidak kerja dua kali. Proses MK, kan, tidak lama. Cepat, kok, hanya dua atau tiga pasal yang digugat, sabar saja,” kata Bambang.
Sementara Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menambahkan, aturan tambahan itu akan lebih menjelaskan ranah abu-abu dalam konteks merendahkan kehormatan.
”Misalnya penghinaan itu seperti ini atau kata-kata kurang tepat yang masuk kategori merendahkan seperti apa,” katanya.
Erwin menilai, aturan turunan itu perlu disegerakan. Terlalu lama apabila harus menunggu putusan MK. Menurut dia, putusan MK ada yang bisa sampai dua tahun. Jangka waktu itu terlalu lama untuk membiarkan adanya pasal karet.
Data Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif menyebutkan, pada 2016, rata-rata lama putusan MK adalah 10,5 bulan. Waktu itu dihitung sejak awal registrasi hingga diputuskannya gugatan pemohon.
”Siapa tanggung jawab terhadap orang yang akan terancam pidana dengan pasal karet itu? Kalau menunggu putusan MK tidak rasional,” kata Erwin.
Menurut Erwin, DPR bisa dan harus segera mungkin membuat aturan turunan tersebut. Menurut dia, jangan seolah cuci tangan dengan produk yang dihasilkan. Apalagi, dengan mendorong masyarakat ke MK.
Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, aturan turunan akan segera dirumuskan. Meski demikian, perumusan itu masih dalam tahap konsultasi dengan pimpinan DPR.
Menurut Sufmi, meski belum ada aturan turunan, MKD akan menjalankan kewenangan tersebut dengan menjunjung tinggi asas demokrasi dan kehati-hatian. Untuk mengantisipasi kekhawatiran masyarakat luas terkait potensi kriminalisasi.
Lingkup aturan turunan
Lucius mengatakan, DPR harus mengeluarkan aturan turunan yang memperjelas konteks merendahkan kehormatan itu. Seperti, ukuran merendahkan harkat dan martabat tindakan apa saja.
Selain itu, prosedur juga harus dijelaskan. Misalnya, ada tindakan yang diduga merendahkan martabat, MKD akan langsung melaporkan atau tidak.
”Masih banyak yang tidak jelas dari aturan ini. Bisa secara sepihak dimaknai DPR untuk mengajukan gugatan ke mana pun,” kata Lucius.
Di lain sisi, Erwin melihat, pasal itu harus menjelaskan dengan rinci terkait aturan organisasi profesi lain seperti UU Pers atau UU Advokat yang memiliki tata caranya sendiri.
”Pers menjalankan tugasnya tidak bisa tunduk karena punya UU organisasi. Jangan sampai menjadi karet dan menabrak organisasi apa pun, tanpa ada batasan,” tutur Erwin.
Menanggapi itu, Sufmi menyatakan, rumusan akan difokuskan pada konteks merendahkan, dalam Pasal 122 Huruf k.
”Apa sesungguhnya yang dimaksud merendahkan? Tentu secara substansi terkait dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPR. Pembatasan makna ini akan dilakukan hati-hati,” tuturnya.
Selain itu, MKD juga akan merumuskan prosedur hukumnya. MKD akan merumuskan, anggota DPR yang direndahkan kehormatannya harus melapor ke MKD. Selanjutnya, laporan akan diproses.
Dengan proses internal, MKD akan melalui penyelidikan atau sidang MKD yang ujungnya belum tentu mengarah pada langkah hukum.
Contohnya, apabila ada seseorang yang diduga merendahkan kehormatan DPR, MKD akan memanggil orang tersebut untuk meminta penjelasan terlebih dulu.
”MKD mencegah anggota DPR yang berpotensi melakukan abuse of power, yang sedikit-sedikit main lapor ke kepolisian,” kata Sufmi.
Sementara itu, terkait dengan media massa, Sufmi menilai, MKD akan memproses lewat jalur Dewan Pers terlebih dulu. Hal itu dilakukan karena pers telah memiliki lembaga pengawas.