Berdiam di daerah terpencil membuat banyak warga di pedalaman Maluku tak sempat mengenyam pendidikan formal hingga akhir hayat. Para guru yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mendidik warga pelosok tersebut umumnya tidak betah di pedalaman. Akhirnya, kisah klasik tentang menumpuknya guru di perkotaan dan minimnya guru di pelosok terus terdengar.
Wiwin Fazrin Latael (23) adalah salah satu anak muda yang ingin berbuat untuk membantu mengatasi masalah itu. Gadis kelahiran Desa Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur, ini ingin mengabdi sebagai guru di pedalaman. Tahun 2013, setamat SMA, ia mendaftar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Gotong Royong di Masohi, Maluku Tengah. Ia memilih program studi pendidikan bahasa dan sastra.
Wiwin meyakini, lembaga pendidikan tenaga kependidikan dapat memberi banyak pengetahuan tentang cara mendidik. Lalu mengapa ia memilih bahasa? ”Bahasa merupakan media untuk komunikasi. Komunikasi itu adalah hal yang paling penting dalam hidup,” katanya di Ambon, Senin (12/3).
Perjuangan mengenyam pendidikan di Masohi tidak
mudah. Dari Werinama ke Masohi harus ditempuh dengan angkutan darat paling cepat tujuh jam. Jika hujan dan permukaan air sungai naik, mereka harus menunggu hingga berjam-jam, malah sampai menginap di jalan. Wiwin bahkan pernah hampir hanyut saat mobil yang dia tumpangi mogok di tengah aliran sungai. Di rute itu terdapat banyak sungai tanpa jembatan.
Kini, ia sedang merampungkan tugas akhir. Ia sudah merangkul sejumlah teman yang hobi menjelajahi hutan atau naik gunung. Mereka membentuk tim relawan pendidikan untuk anak-anak kaki Gunung Binaya. Gunung Binaya terletak di Pulau Seram, masih satu daratan dengan Masohi dan Werinama.
Jika terwujud, mereka akan tinggal beberapa waktu di kampung-kampung pedalaman. Mereka mengajarkan baca, tulis, dan berhitung pada anak-anak. ”Banyak yang mau bergabung. Mereka juga ingin masuk ke pedalaman memberi ilmu yang mereka punya,” kata Wiwin.
Wiwin tidak sendiri. Samrin Somory (28), lulusan Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Darussalam, Ambon, tahun 2017, juga ingin mendidik di pedalaman. Pemuda kelahiran Desa Sepa, Kabupaten Maluku Tengah, ini bersedia jika ada yang mengajaknya bergabung. Saat ini, dia belum mendapatkan lowongan kerja di sekolah.
Antusiasme
Bagi mahasiswa dari daerah pedalaman Papua yang menimba ilmu keguruan di Jayapura, profesi sebagai tenaga pengajar adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi muda di kampung halamannya dari kebodohan.
Kamis pekan lalu, kegiatan perkuliahan di salah satu ruangan milik Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Cenderawasih, Jayapura, di lantai dua dimulai. Di kelas itu hanya hadir 15 orang dari total 28 mahasiswa semester VI dengan mata kuliah Metode Penelitian Sosial. Alouis Adii (21) adalah salah satu mahasiswa yang hadir. Gadis asal Kampung Edarotali, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai, ini antusias menyimak materi yang dipaparkan Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih Yan Dirk Wabiser selaku dosen.
Wabiser mengatakan, FKIP termasuk salah satu fakultas tertua yang beroperasi sejak tahun 1960-an dan paling favorit di kampusnya. Per tahun, jumlah pendaftar di FKIP dapat mencapai sekitar 1.000 orang.
Menurut dia, anak-anak asli Papua yang berasal dari daerah pedalaman memiliki minat sangat tinggi untuk menimba ilmu di FKIP Universitas Cenderawasih. Pihak universitas membebankan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) per semester di bawah Rp 2 juta. ”Saat ini, sekitar 60 persen dari mahasiswa FKIP berasal dari daerah pedalaman dengan latar belakang pekerjaan orangtua sebagai petani,” ungkap Wabiser.
Antusiasme putra-putri daerah untuk mengajar di daerah sendiri patut dihargai. Fenomena ini bisa jadi sebuah solusi atas tak betahnya guru-guru pendatang. (FRN/FLO)