Sikap mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu bertolak belakang dengan yang terjadi saat ini. Untuk mendirikan rumah ibadah di Jakarta tidak hanya harus memenuhi ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan No 8/2006, tetapi juga harus menaati Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 83/2012 tentang Prosedur Pemberian Persetujuan Pembangunan Rumah Ibadat.
Dalam peraturan bersama menteri, selain ada persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung, juga ada persyaratan khusus pendirian rumah. Pengajuan izin pembangunan rumah ibadah harus disertai daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah minimal 90 orang yang disahkan pejabat setempat sesuai tingkat batas wilayah, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah/kepala desa, serta rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.
Untuk wilayah Jakarta, pembangunan rumah ibadah, sesuai pergub, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari gubernur. Adapun dukungan masyarakat dibuktikan dengan surat pernyataan secara perseorangan di atas meterai yang disahkan lurah dan camat setempat, serta melampirkan fotokopi KTP. Masyarakat pendukung harus berdomisili dalam radius 500 meter dari lokasi pembangunan rumah ibadat, serta di antaranya harus ada ketua RT, RW, dan tokoh agama. Juga mendapat rekomendasi tertulis kepala kantor wilayah Kementerian Agama, FKUB tingkat provinsi, dan rekomendasi tertulis wali kota.
Kerumitan prosedur dan perizinan pembangunan rumah ibadah memicu konflik di masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik sering kali aparat keamanan hanya berusaha menertibkan, bukan merestorasi keadaan dan mencari akar permasalahan serta mengurainya. Akibatnya, penutupan rumah ibadah kian meluas dan berulang.
Diperlukan kearifan bersama untuk memahami dan membedakan antara hak-hak beragama yang tak boleh dibatasi dalam keadaan apa pun dan hak-hak yang boleh dibatasi. Setiap tindakan ”pengebirian” kebebasan beragama harus ditindak tegas. (ely)