Pemerintah Didorong Penuhi Hak Sipil Masyarakat Adat di Tahun Politik
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
[caption id="attachment_4123462" align="alignnone" width="720"] Dua tonaas, pemimpin ritual adat Minahasa di Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, saling membantu mempersiapkan diri untuk memimpin upacara ritual, Jumat (16/3). Komunitas adat Minahasa merupakan salah satu komunitas adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.[/caption]
MINAHASA, KOMPAS — Hingga kini masih ada 3 juta jiwa masyarakat adat yang belum memperoleh haknya atas kartu tanda penduduk elektronik. Tak hanya hak sipilnya belum dipenuhi oleh negara, tetapi kesempatan mereka untuk menentukan pemimpin daerah, kepala negara, dan wakilnya di parlemen pada tahun politik 2018-2019 ini pun terancam hilang.
Hak sipil dan politik masyarakat adat itu menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-V yang digelar di komunitas adat Wanua Koha, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada 14-17 Maret ini. Selain itu, dibahas pula pemenuhan hak adat atas tanah komunal mereka yang selama ini dirampas negara, dan juga sikap politik AMAN dalam mendukung calon pemimpin yang peduli kepada masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, Jumat (16/3), menyampaikan, 3 juta jiwa masyarakat adat yang belum memperoleh haknya atas KTP elektronik itu disebabkan tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah kelompok masyarakat adat yang tinggal di kawasan konservasi, kelompok masyarakat adat yang menganut agama asli, dan kelompok adat yang tak terjangkau layanan pencatatan informasi data kependudukan.
Menurut Rukka, meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan bahwa agama asli dapat dicatat dalam KTP elektronik dengan keterangan penganut kepercayaan, tetapi pada tata praktik itu belum ada implementasinya.
”Ketika bicara politik elektoral, itu terkait hak memilih, dan itu terkait masyarakat atau seseorang bisa mengontrol dan berkontribusi untuk mengontrol siapa yang mereka inginkan untuk menjadi pemimpin. Itu adalah bentuk partisipasi masyarakat menentukan arah pembangunan. Namun, masalahnya, banyak masyarakat adat yang tak punya hak untuk memilih,” katanya.
Rukka mengatakan, dalam memasuki tahun politik, AMAN perlu menunjukkan sikap politik karena itu sangat menentukan nasib masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya. Hal itu sekaligus untuk memastikan pemenuhan hak-hak masyarakat adat oleh negara dalam mewujudkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kemartabatan budaya.
Oleh karena itu, menurut Rukka, rakernas ini juga akan mengevaluasi komitmen Presiden Joko Widodo untuk pemenuhan hak masyarakat adat yang tercantum dalam dokumen Nawacita. Salah satunya adalah rancangan undang-undang tentang masyarakat adat yang sampai saat ini belum juga disahkan, termasuk satuan tugas masyarakat adat yang belum juga dibentuk.
RUU Masyarakat Adat itu tak hanya untuk memenuhi hak sipil dan politik setiap warga masyarakat adat. Namun, rancangan undang-undang itu juga untuk memenuhi pengembalian hak tanah ulayat kepada masyarakat adat. Hingga kini pemberian sertifikat tanah kepada kelompok adat itu masih mengandung masalah karena sertifikat itu masih dicatat berdasarkan kepemilikan individu, bukan kelompok adat.
”Harapannya, lewat RUU Masyarakat Adat itu disahkan, itu dapat mengatasi permasalahan agraria yang dihadapi masyarakat adat. Sebab, hingga saat ini, sertifikat yang diberikan itu masih dicatat atas kepemilikan individu, kemudian digabungkan, dan diserahkan atas nama kelompok adat,” katanya.
Oleh karena itu, kata Rukka, hingga kini masyarakat adat masih mengalami kriminalisasi dalam mempertahankan hak-haknya atas wilayah adat. Akibatnya, kini sebagian besar wilayah adat terbebani izin hak pengelolaan hutan ataupun tambang. ”Pembangunan tanpa pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat sama saja dengan penindasan,” katanya.
Sejak didirikan pada 17 Maret 1999 hingga Desember 2017, AMAN beranggotakan 2.342 komunitas adat dengan populasi sekitar 16-18 juta jiwa. Komunitas adat itu tersebar di seluruh Nusantara, dari Sabang sampai Merauke.
Sementara hasil rakernas itu akan menjadi masukan bagi pembahasan program dan perencanaan strategis AMAN mendatang. Oleh karena itu, rakernas kali ini pun akan merumuskan Rencana Stategis Program Kerja AMAN 2018-2022.
Wakil Ketua Panitia Rakernas AMAN Lefrando Andre Gosal menyampaikan, rakernas ini akan ditutup pada Sabtu, 17 Maret. Penutupan itu akan diselenggarakan dengan meriah karena sekaligus merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara yang dirayakan setiap 17 Maret.
Acara penutupan itu akan digelar di Benteng Moraya, Tondano, Minahasa. Acara yang akan digelar di antaranya parade kebudayaan dan upacara adat yang dipimpin para tetua adat dari beberapa daerah di Nusantara.