Dilema Penggantian Calon Kepala Daerah yang Ditetapkan Tersangka
JAKARTA, KOMPAS — Usulan peraturan untuk penggantian peserta pilkada yang ditetapkan sebagai tersangka menciptakan dilema dalam demokrasi. Apabila tidak diwujudkan, citra demokrasi dipertaruhkan karena seseorang tersangka dapat terpilih menjadi kepala daerah.
Di sisi lain, jika terwujud, tragedi buruk dengan banyaknya tersangka dalam pilkada tidak akan dijadikan pelajaran serta hukuman bagi peserta dan penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, karena maraknya kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta KPK menunda penetapan tersangka peserta Pilkada 2018.
Menanggapi itu, KPK menyarankan pemerintah membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengganti peserta pilkada yang terjerat kasus pidana. KPK menilai cara itu lebih elegan.
Meski demikian, Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman tidak setuju dengan wacana penggantian peserta tersebut. Menurut dia, kemungkinan penggantian itu akan membuat parpol tidak menanggapi maraknya operasi tangkap tangan oleh KPK yang menjerat calon kepala daerah dengan serius.
”Nanti parpol berpikir, bila ada yang dijadikan tersangka, tinggal diganti saja. Mereka tidak berpikir untuk memperbaiki kaderisasi dan lebih berhati-hati dalam menentukan calon kepala daerah,” ucap Arief, Jumat (16/3), pada acara diskusi bertema ”Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah: Menimbang Perppu Usulan KPK”, di Media Center KPU, Jakarta.
Menurut Arief, kebijakan melarang penggantian calon yang ditetapkan tersangka sudah tepat karena dapat memberikan hukuman dan pelajaran kepada semua pihak, baik penyelenggara, peserta, maupun pemilih dalam pemilu.
”Bagi KPU, ke depan kami harus lebih cermat, detail, dan hati-hati dalam pendaftaran calon. Bagi parpol, harusnya jauh sebelum mengusung kandidat harus mempelajari dulu rekam jejaknya karena jangan sampai rugi di tengah jalan. Pemilih juga gitu, jadi harus lebih selektif,” tutur Arief.
Dengan pelajaran itu, Arief meyakini, potensi calon bermasalah pada pilkada mendatang akan menurun. Sebaliknya, kalau diperbolehkan mengganti, dikhawatirkan tren calon yang berstatus tersangka semakin banyak.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat Johnny G Plate juga tidak setuju dengan peraturan penggantian calon. Padahal, dua dari lima calon kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan oleh KPK pada 2018 diusung Nasdem. Kedua calon itu adalah Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Bupati Lampung Tengah Mustafa.
Menurut Johnny, KPK berhak untuk menangkap siapa pun yang terbukti korupsi. Meski demikian, biarkan proses tersebut berjalan. Dia berharap proses itu dihargai karena belum inkrah.
”Tangkap, ya, tangkap saja. Justru Nasdem mendukung kalau memang ada yang terbukti korupsi. Tetapi, kan, ada asas praduga tak bersalah. Kita harus menghargai asas itu. Belum tentu yang tersangka pasti bersalah,” tuturnya.
Johnny menyerahkan keputusan mengeluarkan perppu kepada Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, dia tidak melihat ada sebuah keadaan yang darurat. ”Ini, kan, biasa saja sebenarnya. Jangan dibuat seolah-olah darurat dan genting. KPK, ya, jalankan saja tugasnya kalau memang memiliki alat bukti,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengeluarkan pernyataan, 90 persen calon kepala daerah pada Pilkada 2018 yang adalah petahana terindikasi kasus korupsi.
Keadaan darurat
Hadir pada acara diskusi tersebut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini. Menurut dia, peraturan penggantian calon diperlukan. Hal itu untuk memastikan seorang tersangka tidak terpilih menjadi pemimpin.
”Ini sudah darurat. Harus ada jalan keluar luar biasa untuk memproteksi pemilih. Jangan sampai orang bermasalah tetap terpilih, seperti pengalaman sebelumnya,” kata Titi.
Pada Pilkada 2017, calon bupati Buton (petahana) Samsu Umar Abdul Samiun ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Samsu yang merupakan calon tunggal menang melawan kotak kosong. Akhirnya ia dilantik dan langsung dinonaktifkan pada 24 Agustus 2017, tetapi baru diberhentikan pada 9 Maret 2018.
Menurut Titi, hal itu bisa terjadi karena penetapan tersangka Samsu sangat dekat dengan pemilihan. Alhasil, masyarakat belum banyak yang mengetahui. Karena itu, kasus Samsu terancam terjadi di 171 daerah yang mengikuti pilkada.
”Ini memang tidak menyenangkan, tetapi ini sebagai jalan tengah. Tujuan terpentingnya, parpol tetap punya calon terbaik yang tidak terkait masalah hukum,” lanjut Titi.
Adapun pada Peraturan KPU No 3/2017 jo Peraturan KPU No 15/2017, parpol dilarang mengganti calon atau bakal calon, kecuali calon tersebut meninggal dunia, berhalangan tetap yang dikategorikan terkena sakit keras, dan dijatuhi pidana yang berkekuatan hukum tetap. Tidak ada hukum yang mengatur penggantian calon terkait ditetapkannya status tersangka.
Titi menilai, penggantian calon tersangka sangat penting untuk menyelamatkan citra demokrasi. Menurut dia, sangat ironis ketika dalam pilkada, peserta tetap berstatus calon meskipun sedang ditahan oleh KPK.
Direktur Komite Pemantau Legislatif Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengatakan, ada situasi yang harus diantisipasi terkait maraknya operasi tangkap tangan oleh KPK. Menurut dia, sudah sepatutnya pemerintah dan penyelenggara pemilu mencari solusi. Sebab, integritas pilkada sedang dipertaruhkan.
Menurut dia, sosok tersangka sudah sepatutnya tidak bisa maju dalam pilkada. Meski memiliki asas praduga tak bersalah, penetapan tersangka sudah melalui proses dua alat bukti.
”Dua tahap bukti itu membuktikan ada kesalahan moral yang dilakukan calon tersebut. Bagaimanapun, calon yang ada untuk dipilih seharusnya orang yang bersih,” kata Syamsuddin.
Kamis (15/3), di Kompleks DPR, Senayan, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, pernyataan pemerintah dan KPK sangat bagus. Dia mengembalikan kepada pemerintah untuk kebijakan yang selanjutnya akan diambil.
”Apakah usul pemerintah dilakukan KPK, atau sebaliknya, kami DPR hanya menyaksikan dan melakukan penilaian manakala sudah ada tindak lanjut,” ucap Bambang.
Revisi PKPU
Selain mengeluarkan perppu seperti usul KPK, Titi menilai peraturan penggantian calon itu bisa dilakukan lewat revisi peraturan KPU (PKPU). Cara itu dinilai lebih mudah dibandingkan lewat perppu yang membutuhkan itikad dari Presiden.
Menurut Titi, KPU hanya perlu menambah penerjemahan konteks berhalangan tetap dalam syarat penggantian calon yang terdapat dalam PKPU.
”Berhalangan tetap, kan, diterjemahkan KPU bila calon meninggal dunia atau sakit permanen. Bisa saja KPU menambahkan satu pengertian lagi, yaitu berhalangan tetap ketika ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Titi.
Calon kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan bisa dikategorikan berhalangan tetap. Ini karena calon tersebut tidak bisa melakukan kampanye dan tahapan pilkada yang diwajibkan.
”Apalagi, biasanya tersangka yang ditetapkan oleh KPK hampir pasti terbukti bersalah,” ucapnya.
Sementara itu, Arief mengatakan, KPU memiliki kewenangan atributif itu. Akan tetapi, calon kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan oleh KPK belum bisa diterjemahkan menjadi berhalangan tetap.
”Dalam prinsip hukum, tersangka masih punya dua kemungkinan, bisa divonis bersalah atau divonis bebas. Karena itu, berhalangan tetap hanya untuk meninggal dunia ataupun calon yang secara permanen tidak bisa menjalankan tugas,” tutur Arief.