Indonesia Menurut Jip Amerika
Sutradara Ismail Basbeth mempertontonkan lagi semangat ”bermain-mainnya” lewat film Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran. Film panjang keempatnya itu hendak berbicara banyak tentang problematika Indonesia sejak merdeka hingga hari ini. Tak mudah menangkap pesan yang ia maksud.
Sejak awal, penonton sudah diberi tahu bahwa mobil bekas, seperti judulnya, adalah mobil betulan. Ia adalah mobil jip Willy’s MB berwarna hijau tua dengan gambar bintang dalam lingkaran berkelir putih di bagian kapnya.
Pada gambar pembuka, jip itu bertengger di jalan kecil yang membelah sawah subur. Sebuah gambar yang cantik.
Film garapan Bosan Berisik Lab itu jadi film terakhir yang ditayangkan di acara Film Musik Makan 2018 di Goethe-Institut, Jakarta, Sabtu (10/3). Acara itu memutarkan lima film pendek, dua film panjang, dan memanggungkan pentas musik dari trio Rental Video.
Cerita film dimulai dengan kisah pertamanya. Seorang pemuda baru tiba di rumahnya. Dari barang bawaannya, bisa diduga bahwa pria itu (diperankan Cornelio Sunny) baru pulang dari luar kota. Masih membawa barang, pria perlente itu masuk ke garasi tempat jip itu bersemayam.
Dia memanggil jip itu dengan sebutan ”Indah”. Dia meminta maaf karena mengabaikan Indah, dan berjanji akan mengajaknya jalan-jalan. Dia memperlakukan jip itu layaknya kekasih. Lewat penempatan kamera yang statis dengan sudut lebar, dia terlihat bergerak ke sana-sini meraba badan jip seolah sedang melepas rindu.
Tak cukup begitu, si pria membawakan dua piring dengan lauk-pauk sama. Satu piring ia tempatkan di jok pengemudi, satunya ia pegang dan segera duduk di jok penumpang bagian depan. Relasi antara makhluk hidup dan benda mati itu tergambar makin intim.
Selanjutnya, cerita film berganti. Ada ”tokoh” baru yang muncul: sepasang lelaki dan perempuan dengan usia terpaut jauh yang menghabiskan waktu bersama-sama di kebun binatang, tanpa berbicara satu sama lain. Setelah beberapa adegan di tempat tadi, set lokasi pindah ke kamar hotel, dan terjadilah adegan mengejutkan, tapi bisa diduga itu.
Gambar berikutnya adalah sang perempuan terduduk di kursi pengemudi jip hijau tadi. Ia menggenggam ponsel, lantas menyalakan mesin, dan pergi dari sana. Kamera menyorot dari dalam mobil ke arah jalan raya, seperti mengajak penonton jadi penumpang, dibawa menuju fragmen cerita lainnya.
Tokoh pria di garasi tadi tak muncul lagi. Tokoh perempuan di kebun binatang itu tak lagi ada di adegan berikutnya. Namun, wujud jip tua tetap ada. Ya. Tokoh utama film ini adalah mobil warisan Perang Dunia Kedua itu. Ia ada di semua fragmen cerita. Ialah saksi ”hidup” dari kisah hidup orang-orang yang duduk di jok.
Pada suatu ketika, tanpa diperlihatkan siapa yang mengemudi, mobil itu melintasi lokasi pembuangan sampah akhir, tempat dua pemulung sedang berusaha pergi dari sana. Kisah pemulung ini akan muncul di antara fragmen dan menjadi penutup cerita.
Film berdurasi sekitar 80 menit ini terdiri atas lima kepingan cerita. Ceritanya masing-masing tidak benar-benar berhubungan. Penghubung yang nyata adalah mobi jip itu sehingga bisa dibilang mobil itulah yang hendak menuturkan cerita.
Adegan dengan dialog terbanyak ada di keping cerita pertemuan di antara tiga perempuan belia yang sudah saling kenal cukup lama. Mereka pernah tergabung dalam satu band. Ketiganya dalam perjalanan menuju pantai.
Percakapan di antara mereka berjalan tanpa arah; saling lempar topik dan riuh. Kamera ditempatkan di bagian kap mesin. Suara angin beradu kencang dengan obrolan tentang alien, laki-laki, dan ukuran otak siput. Topiknya sangat acak, seperti sedang menggelontor linimasa media sosial.
Tokoh utama
Tak banyak film yang menempatkan benda (nonmanusia) menjadi tokoh utama. Ismail membandingkan filmnya dengan film animasi Finding Nemo garapan Pixar. ”Nemo memang ikan, tapi ia dipersonifikasi,” kata Ismail dalam tanya-jawab seusai pemutaran. Maksudnya, karakter di film animasi itu dibuat layaknya manusia.
Namun, di film Mobil Bekas, si jip tua itu dibiarkan sebagaimana mestinya. Ia adalah benda bisu. Ia hanya menjadi panggung bagi kisah manusia yang bersinggungan dengannya. Tugas penonton adalah menduga-duga kaitan antara satu fragmen dan lainnya.
Dalam diskusi, Ismail mengatakan tak perlu menjelaskan panjang lebar perihal kepingan-kepingan cerita di film itu. Meski begitu, ia cukup detail menguak maksud gambar-gambarnya, nyaris semua fragmen. Penonton pun manggut-manggut.
Sutradara yang juga membesut film Mencari Hilal ini hendak menunjukkan segala rupa permasalahan yang terjadi di Indonesia. Militerisme, katanya, hampir ada di setiap masalah besar dalam ranah sosial politik, baik yang kasatmata maupun yang tidak.
Mobil warisan perang—berwarna hijau tua, bikinan Amerika, sejak sebelum Indonesia merdeka—dianggap Ismail sebagai representasi akar banyak permasalahan itu. Isu terkini soal penggusuran tanah—seperti di Yogyakarta—juga tecermin di film. Si mobil jip itu hadir dalam fragmen tentang isu tersebut.
Setelah adegan silih berganti, dan ragam kisah yang tak segampang itu menebak maksudnya, penjelasan verbal dari pembuatnyalah yang menjadikan rangkaian itu punya benang merah. Penonton yang kurang peka pada simbol-simbol visual terbantu dengan penjelasan sang sutradara.
Cara lainnya adalah dengan membaca novel berjudul sama yang ditulis Bernard Batubara, yang mulai beredar November 2017, sebelum pemutaran perdana film ini untuk publik di Indonesia. Bernard membuat novel itu berdasarkan kerangka cerita film (story line). Menurut Ismail, pengalaman membaca novel akan berbeda dengan pengalaman menonton filmnya.
Mengalami dua medium itu sekaligus bisa jadi melengkapi pemahaman audiens. Dalam novel, misalnya, diceritakan siapa sebenarnya Indah atau juga pasangan yang tak banyak cakap di kebun binatang itu. Sementara menerima penjelasan dari sutradara akan menyempurnakannya. Pemutaran film di luar bioskop utama biasanya menggelar diskusi. Jadi, tempat terbaik untuk menonton film ini adalah di bioskop alternatif.