Hari masih pagi, seorang laki-laki berjalan sambil memanggul sebuah topi jerami di Pasar Purnama. Di belakangnya ada dua perempuan yang sedang menapis beras. Tak lama kemudian, datanglah delapan penduduk lainnya. Mereka semua juga bersiap-siap menyambut hari dengan bekerja.
Seperti semut pekerja, mereka pun berjalan berbaris. Namun, beberapa berjalan perlahan seolah sedang mengingat-ingat sesuatu. Yang lain hampir menabrak dan terpaksa berjalan mengitari untuk mendahului yang di depannya.
Tak lama kemudian semakin banyak yang berjalan perlahan dan mereka semua akhirnya berhenti. Mereka pun mendongakkan kepala dan tersadar apa yang mereka lupa. Mereka lupa bersyukur.
Pemandangan itu muncul dalam adegan pembuka pertunjukan Pasar Purnama oleh Sasikirana DanceLAB, di Jakarta, Sabtu (17/3). Kelompok seni asal Bandung, Jawa Barat, ini merepresentasikan kondisi saat ini, yaitu ketika masyarakat sibuk bekerja dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Asisten Pimpinan Produksi Sasikirana DanceLAB Agni Ekayanti menyatakan, pertunjukan tersebut merupakan kritik sosial. ”Semua sibuk dengan rutinitas, tetapi mereka mulai melupakan ritual ucapan syukur yang merupakan akar bangsa,” ujarnya seusai pertunjukan tersebut.
Ucapan syukur, lanjutnya, tidak terbatas terhadap Tuhan jika dilihat dari sisi rohani. Menurut Agni, ucapan syukur dapat diberikan kepada alam. Ritual dapat dilakukan dengan sederhana, seperti tidak membuang sampah sembarangan ataupun merusak lingkungan.
Ia mengatakan, dalam pertunjukan Pasar Purnama, masyarakat digambarkan memulai rutinitas sehari-hari. Namun, mereka pun mulai menyadari bahwa mereka belum berterima kasih kepada alam. Setelah tersadar, mereka melakukan ritual penghargaan dengan berlutut dengan posisi menyembah.
Ketika mereka sedang mengucapkan syukur dengan sepenuh hati, seorang laki-laki yang disebut rajah datang memberkati penduduk Pasar Purnama itu. Tiga perempuan yang berada di dalamnya masing-masing dipasang sebuah rumpun padi kering di rambut mereka oleh si rajah.
Tiga perempuan itu pun berubah menjadi titisan Dewi Sri, dewi lambang kesuburan. Mereka membagi-bagi hasil panen. Tak ayal, hal itu membuat para penduduk lainnya bersuka cita dan mengadakan pesta rakyat.
”Adegan terakhir itu ingin menunjukkan, ketika kita tidak lupa bersyukur, kita justru akan mendapat berkah lebih dan menjadi bahagia,” katanya.
Tidak ada dialog yang dilontarkan oleh para pemain dalam pertunjukan itu. Mereka diam, bahkan sama sekali tidak tersenyum hampir selama pertunjukan.
Suasana mulai sedikit mencair ketika jelmaan Dewi Sri melalui tiga perempuan penduduk desa mulai membagi-bagikan hasil panen. Di situ para pemain mulai merekahkan senyuman dan berteriak dengan gembira.
Tyoba Aremi, salah seorang koreografer dan pemain Pasar Purnama, menambahkan, pertunjukan tersebut menunjukkan hubungan di antara ritual, tradisi, dan lingkungan. ”Mengembangkan seni pertunjukan kontemporer merupakan salah satu upaya meningkatkan kesadaran akan jati diri bangsa,” ujarnya.
Pertunjukan Pasar Purnama merupakan bagian dari program bertema Panggung Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan bersama Garin Nugroho bersama Galeri Indonesia Kaya persembahan Bakti Budaya Djarum Foundation. Garin Nugroho adalah produser dan sutradara senior Indonesia.
Tiga aspek
Menurut Garin, terdapat tiga aspek yang diperlukan, baik oleh suatu bangsa maupun pertunjukan. Ketiga aspek itu adalah budaya klasik, populer, dan alternatif.
”Ketiganya memiliki peran masing-masing,” kata Garin. Budaya klasik diperlukan untuk menjaga identitas suatu bangsa, populer agar lebih mudah berkomunikasi dengan masyarakat saat ini, serta alternatif untuk menciptakan suatu inovasi karya baru.
Garin menyatakan, suatu bangsa dan pertunjukan akan merosot ketika salah satu aspek tidak diperhatikan. Dalam pertunjukan Pasar Purnama, ketiga aspek tersebut disertakan dalam setiap gerakan dan tarian yang dipentaskan pemain.
Misalnya, secara keseluruhan pertunjukan tersebut terinspirasi dari tari Sunda Klasik. Kendati demikian, terdapat selingan gerakan joget dangdut yang populer di kalangan masyarakat. Adapun sejumlah gerakan akrobatik juga disertakan untuk memenuhi aspek alternatif.
”Esensi dari program ini adalah untuk mengingatkan kembali kecintaan kita kepada kebudayaan bangsa,” katanya.