Kolaborasi dengan Warga Menjadi Kunci Surabaya Bertransformasi
Pada 31 Mei 2018 mendatang, Kota Surabaya genap berusia 725 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk kota berpenghuni 3,5 juta jiwa ini. Sepanjang perjalanannya, Surabaya terus berbenah menata kota agar makin layak dihuni. Pemerintah bersama warganya berkolaborasi menjadikan kotanya nyaman dihuni. Meninggalkan kesan stres yang mengancam masyarakat perkotaan pada umumnya.
Penataan kota yang dilakukan era pemerintahan Wali Kota Tri Rismaharini tak hanya diakui warganya. Sejumlah lembaga asing turut mengapresiasi kinerja Risma dengan memberikan penghargaan tingkat dunia.
Dikutip dari situs Lee Kuan Yew World City Prize 2018, Surabaya meraih predikat Special Mention pada Lee Kuan Yew World City Prize 2018. Surabaya bersama tiga kota besar lain di dunia, Hamburg, Kazan, dan Tokyo, mendapat predikat Special Mention. Adapun penghargaan utama diraih Seoul.
Lee Kuan Yew World City Prize 2018 merupakan penghargaan internasional yang digelar setiap dua tahun sekali. Penghargaan ini diberikan Urban Redevelopment Authority (URA) di Singapura dan Centre for Liveable Cities (CLC). Tujuan dari penghargaan ini adalah memberikan penghormatan kepada kota-kota yang mampu menciptakan perkotaan yang layak ditinggali, bersemangat, berkelanjutan, dan memiliki kualitas kehidupan yang baik.
Dalam situs resminya, disebutkan ada beberapa pertimbangan dewan juri menempatkan Surabaya menjadi salah satu kota dengan predikat Special Mention. Dewan juri menilai, Surabaya adalah kota yang sedang berkembang dengan identitas budaya yang kuat. Strategi pembangunan yang dilakukan berhasil mengangkat derajat ekonomi warga kampung tanpa perlu melakukan penggusuran.
Program peningkatan kampung yang komprehensif tak lepas dari dukungan masyarakat. Pemkot Surabaya berhasil mengumpulkan dukungan dan partisipasi yang kuat dari warga untuk berkolaborasi dalam mengubah kampung menjadi bersih, kondusif, dan produktif.
Program Pahlawan Ekonomi yang menjadikan ibu rumah tangga sebagai motor kedua untuk mencari penghasilan dan langkah pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti daur ulang, pengomposan, dan limbah, berhasil meningkatkan status ekonomi dari berpenghasilan rendah menjadi sejahtera.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menggunakan pendekatan inklusif dan berorientasi manusia untuk menjadikan Surabaya sebagai kota metropolitan yang bersih, hijau, dan memiliki kualitas hidup yang baik.
Menurut dewan juri, Risma berperan penting dalam pencapaian dan transformasi Kota Surabaya. Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menggunakan pendekatan inklusif dan berorientasi manusia untuk menjadikan Surabaya sebagai kota metropolitan yang bersih, hijau, dan memiliki kualitas hidup yang baik.
”Pemkot Surabaya sangat mementingkan partisipasi masyarakat dalam membangun kota. Risma membangun kepercayaan dengan warga dan menggandeng akademisi lokal untuk mencari masukan dalam pembuatan kebijakan,” kata dewan juri.
Menurut dewan juri dalam situs tersebut, Surabaya patut dipuji dalam upaya pengembangan ruang terbuka hijau. Saat ini ada sekitar 119 taman aktif dan 286 taman pasif di Surabaya. Ruang terbuka hijau telah mencapai lebih dari 20 persen wilayah kota dengan indeks pencemaran udara dalam kategori baik.
Politik anggaran Risma yang mengalokasikan 35 persen anggaran APBD untuk pendidikan juga telah meningkatkan taraf pendidikan generasi muda. Anggaran tersebut digunakan untuk memberikan pendidikan gratis sejak 2012 bagi siswa SD hingga SMA/SMK. Namun, sejak Januari 2017, SMA/SMK menjadi urusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sehingga sekolah gratis untuk SMA/SMK tidak bisa lagi diberikan.
”Surabaya telah meningkatkan tingkat melek huruf masyarakat melalui penyediaan pendidikan gratis untuk orang-orang yang kurang beruntung, mendirikan tempat baca dan perpustakaan bergerak di seluruh kota dan di taman, serta menawarkan pelatihan bahasa asing kepada warganya,” kata dewan juri.
Komitmen yang baik antara wali kota dan rakyat dalam membangun kotanya sangat terasa di masyarakat. Surabaya menjadi kota berpandangan ke depan dan bisa menjadi inspirasi bagi kota-kota lain di negara berkembang yang ingin belajar pengelolaan kota dengan baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi, harmoni sosial, dan kelestarian lingkungan.
Penghargaan Special Mention pada Lee Kuan Yew World City Prize 2018 hanya salah satu dari beberapa penghargaan dunia yang diterima Surabaya. Pada November tahun lalu, Surabaya juga mendapatkan penghargaan lingkungan Sustainable Cities and Human Settlement Awards kategori Global Green City di New York, Amerika Serikat.
”Tidak ada manfaatnya kalau bekerja untuk mengejar penghargaan. Semua kebijakan yang saya lakukan berorientasi agar warga kota bisa maju dan berkembang,” ujar Risma.
Sejak menjabat Wali Kota Surabaya pada 2010, ibu dua anak ini banyak mengubah wajah Kota Surabaya. Dari segi tata kota, banyak bangunan liar ditertibkan. Warga yang digusur diberikan tempat di rumah susun sewa sederhana yang dekat dengan tempat tinggal awal. Risma tidak ingin ada warga yang tinggal di tempat kumuh yang bisa menjadi sarang penyakit.
”Kalau mau lihat salah satu perubahan, mainlah ke Kenjeran. Bagaimana dulu Kenjeran yang amat kotor telah berubah menjadi bersih dan cantik. Warga juga sadar menjaga kebersihan,” lanjutnya.
Karena kesohorannya itu pula, Surabaya sering dikunjungi tamu asing, baik untuk berwisata maupun kunjungan kerja. Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya Muhammad Fikser menuturkan, ada 19.581 tamu yang melakukan kunjungan kerja selama 2017. Mereka diajak mengunjungi tempat wisata dan tempat PKL agar masyarakat ikut merasakan dampaknya.
Menurut dia, banyaknya tamu yang datang ke Surabaya tidak hanya membawa keuntungan bagi pelaku UKM dan sentra PKL, tetapi tempat penginapan (hotel) dan pusat perbelanjaan turut merasakan dampaknya, terutama tamu yang berasal dari luar Jawa Timur.
”Sebesar 36 persen tamu paling banyak mengunjungi mal Tunjungan Plaza, sedangkan tempat penginapan paling banyak di hotel Simpang Dukuh sekitar 7,14 persen,” ucap mantan Camat Sukolilo ini.
Pakar statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Brodjol Sutijo, menjelaskan, banyaknya tamu yang datang untuk menimba ilmu di Surabaya diawali ketika Pemkot Surabaya berhasil mendorong pembangunan di sektor ekonomi dan sektor lain yang kemudian bergerak secara bersama-sama atau efek multiplier. ”Hal ini yang kemudian membuat para tamu menilai Surabaya layak dijadikan tempat pembelajaran,” ujarnya.
Hal ini, lanjut Brodjol, yang kemudian dimanfaatkan Pemkot Surabaya untuk mengajak para tamu singgah mencicipi kuliner khas Surabaya dan berwisata ke tempat-tempat bersejarah. Secara otomatis, ini akan meningkatkan perekonomian warga dan Kota Surabaya.
Lebih lanjut, untuk mengetahui persentase tamu selama di Surabaya, Brodjol bersama tim melakukan survei menggunakan tiga konsep variabel penelitian, yaitu tingkat kepuasan, kegiatan kedinasan, dan kegiatan non-kedinasan.
Menurut Brodjol, rata-rata tamu undangan dari kabupaten atau kota yang melakukan kunjungan kerja ke Pemkot Surabaya menyatakan puas dengan pelayanan yang telah disediakan. Tingkat kepuasan di mal mencapai 32,74 persen, kondisi kerajinan khas Surabaya (UKM) sebesar 77,93 persen, kondisi hotel sebesar 69,60 persen, dan keramahan pemkot saat menyambut tamu sebesar 56,61 persen.
Selain itu, kunjungan tamu dinas ke Pemkot Surabaya yang paling banyak berasal dari DPRD sebesar 21 persen serta dinas komunikasi dan informatika 12 persen. Pemkot Surabaya paling banyak dikunjungi tamu dari dinas komunikasi dan informatika sebanyak 1.241 orang dan dinas kesehatan sebanyak 655 orang.
Tamu dari sejumlah daerah, instansi, ataupun lembaga melakukan kunjungan condong ke layanan publik dan teknologi informasi. Ini karena Surabaya memang pencetus sekaligus yang pertama menerapkan administrasi berbasis teknologi yang awalnya dikenal sebagai e-proc yang kini berinduk pada e-budgeting.
Wisata kota tua sebanyak 40,08 persen, kuliner paling banyak disukai rawon sebesar 40,08 persen, gerai Batik Mirota sebanyak 38 persen, dan Taman Bungkul sebesar 51 persen. ”Khusus Batik Mirota masih harus diperjelas, apakah produsennya dari Surabaya atau tidak? Kalau dari Surabaya tidak masalah, tetapi kalau bukan dari Surabaya perlu dibicarakan ulang,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, total jumlah tamu dari seluruh Indonesia yang telah belajar ke Pemkot Surabaya terhitung mulai 4 Januari hingga 3 Desember 2017 sebanyak 19.581.
”Jawa sebesar 39,7 persen, Sumatera 20,5 persen, Sulawesi 15,4 persen, Kalimantan 9,6 persen, NTT 2,6 persen, dan Bali 2,6 persen. Sisanya dari Papua, Kepulauan Riau, dan Maluku,” ucap pria yang juga dosen Fakultas Vokasi ITS tersebut.
Adapun prediksi yang dilakukan Brodjol bersama tim terkait jumlah uang yang dikeluarkan selama melakukan kunjungan kerja di Surabaya serta dampak perputaran perekonomian di Surabaya, dari 252 responden, total pengeluaran tamu diperkirakan Rp 363.753.500. Jika dihitung per orang, rata-rata pengeluaran tamu selama di Surabaya sebesar Rp 1.443.446.
Kemudian, estimasi pajak dan retribusi sebesar 10 persen dan estimasi pendapatan asli daerah (PAD) dari kunjungan tamu 10 persen atau Rp 745.261.495. Jika investasi atau pendanaan pembangunan 70 persen atau Rp 521.935.047, maka ada kenaikan terhadap PAD sebesar 1,429.
Jadi, betapa kuatnya kolaborasi di kota ini dan nyaris kian sulit dipatahkan sehingga warga pun begitu peduli akan kotanya, sekaligus rumahnya. Pemimpin harus sadar bahwa memanusiakan manusia adalah dengan menempatkan masyarakat dalam pembangunan kotanya.