Presiden Terbitkan Surat Presiden untuk RUU Masyarakat Adat
Oleh
Madina Nusrat
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Perjuangan masyarakat adat memperoleh pengakuan sebagai warga negara, termasuk mengklaim kembali wilayah adat mereka, menunjukkan harapan baru dengan penerbitan surat presiden untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat. RUU itu menjadi landasan untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat yang sampai saat ini sulit diperoleh.
Penerbitan surat presiden (supres) itu disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat menghadiri Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Ke-19 yang sekaligus penutupan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara V di Benteng Moraya, Minahasa, Sulawesi Utara, Sabtu (17/3). Acara itu dihadiri 200 orang selaku perwakilan kelompok masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi.
Kepada para perwakilan kelompok masyarakat adat, Siti Nurbaya menyampaikan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerima surat dari Menteri Sekretaris Negara bahwa RUU Masyarakat Adat telah diserahkan DPR kepada pemerintah. Dalam hal ini, Presiden juga telah menerbitkan surat perintah presiden dan menugaskan sejumlah menteri terkait untuk memeriksa draf RUU tersebut.
”Nanti kami akan intensif bekerja dengan para pakar dan yang mewakili daerah (masyarakat ada) untuk membahas (RUU),” katanya.
Penerbitan surat perintah presiden itu disambut baik oleh masyarakat adat karena RUU Masyarakat Adat telah disusun sejak 2011 dan belum juga disahkan sebagai undang-undang. RUU tersebut juga menjadi bagian Nawacita Presiden Joko Widodo dalam pemerintahannya dan sangat ditunggu masyarakat adat karena dapat menjadi landasan untuk pemenuhan hak masyarakat adat.
Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi menyampaikan, ada dua hal penting yang perlu menjadi substansi dalam RUU Masyarakat Adat, yaitu pengakuan masyarakat adat sebagai subyek hukum dan pengakuan wilayah adat serta sumber dayanya sebagai obyek hukum.
”Diakui orangnya sebagai pemangku pemilik hak, dan haknya diakui. Itu yang penting dan harus diluruskan dulu, kemudian identifikasi dan penetapan proses masyarakat adat di tingkat nasional,” katanya.
Untuk menjamin kedua hal tersebut diatur dalam RUU Masyarakat Adat, menurut Rukka, ada beberapa hal dalam draf RUU tersebut yang perlu dicermati. Sebab, ada beberapa pasal dalam draf itu yang bermasalah dan mengancam hilangnya hak-hak masyarakat adat.
Ada tendensi, lanjut Rukka, yang menganggap seolah-olah masyarakat adat itu statis sehingga mereka harus diatur sedemikian rupa. Akibatnya, ada beberapa hal dalam draf RUU itu yang malah rawan menghilangkan hak masyarkat adat. Padahal, masyarakat adat juga bergerak dinamis seperti masyarakat pada umumnya yang merespons perubahan zaman.
Sejumlah permasalahan dalam draf RUU itu akan segera dibahas AMAN bersama kementerian terkait. Rukka pun menjadwalkan akan mulai membahasnya dengan beberapa kementerian pada 1 atau 2 April.
Sementara hingga saat ini dari hasil Rakernas AMAN V yang berlangsung 14-17 Maret di Minahasa ditemukan bahwa sebagian kalangan masyarakat adat masih kesulitan mencatatkan kepercayaan mereka di kartu tanda penduduk elektronik. Gilung, salah satunya, masyarakat adat dari komunitas Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau, masih dipermasalahkan oleh pemerintah setempat terkait keputusannya memeluk keyakinan leluhurnya Langkah Lama.
”Kepercayaan kami masih dipertanyakan, dan pihak pemerintah tetap meminta kami untuk memilih salah satu agama yang diakui pemerintah,” katanya.
Keputusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan, kepercayaan lokal dapat dicatat dalam KTP elektronik dengan keterangan penghayat kepercayaan itu belum dapat dirasakan Gilung bersama komunitasnya serta komunitas masyarakat adat lainnya. Hal itu pun menyebabkan masyarakat adat yang sudah menikah masih kesulitan memperoleh kartu keluarga yang menjadi dasar pencatatan KTP ataupun penerbitan akta kelahiran untuk anak-anak mereka.
Sementara terkait wilayah adat, menurut Ketua Umum Perempuan Adat AMAN Devi Anggraini, masyarakat adat masih mengalami kekerasan saat berusaha kembali mengklaim wilayah adat mereka. Salah satunya, kekerasan yang dialami kaum ibu di Bangun Rejo, Deli Serdang, Sumater Utara, pada Desember lalu, saat mereka berusaha mengklaim tanah adat mereka yang selama ini dikuasai PT Perkebunan Nusantara II.
Demikian pula terhadap implementasi putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara, itu pun masih dihadapi kesulitan dalam implementasinya. Menurut Devi, untuk merealisasikan keputusan MK itu harus disertai dengan penerbitan peraturan daerah oleh pemerintah daerah setempat. Sejauh ini dari 15 perda yang mengatur masyarakat adat baru Perda Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang mengatur wilayah adat sampai pada tataran implementatif.
Dari 9,5 juta hektar wilayah adat yang diajukan AMAN ke pemerintah untuk dikembalikan kepada kelompok masyarakat adat, itu baru 20.000 hektar yang dikembalikan. Siti Nurbaya mengatakan, pihaknya terus mengkaji sejumlah kawasan hutan yang diusulkan untuk dikembalikan kepada komunitas masyarakat adat. Hingga saat ini, katanya, kawasan hutan yang diusulkan ke Kementerian LHK untuk dikembalikan kepada masyarakat adat itu seluas 6,25 juta hektar.
”Kami terus-menerus melakukan analisis dan menghimpun hal-hal yang menjadi catatan dan aspirasi AMAN. Diharapkan sekretaris daerah kabupaten merefleksikan kebutuhan itu. Sebab, jika terkait hutan, perdanya harus kuat,” katanya.