”Sate Sambas” dan Kenangannya di Setiap Gigitan
Dalam setiap gigitannya, Sate Sambas membawa kenangan bagi penikmatnya. Makan ternyata tak hanya melulu urusan mengenyangkan perut, tetapi juga menggugah memori masa lalu. Jangan heran jika ada orang yang rela datang dari tempat jauh demi sebuah makanan.
Meski dijuluki ”Sate Sambas”, sate ini bukan berasal dari daerah Sungai Sambas, Kalimantan Barat. Sate ini mendapat julukan itu karena para pedagangnya berjualan di Jalan Sungai Sambas, Jakarta Selatan.
Para penjual sate itu mulai berjualan di tempat itu dari tahun 1970-an. Awi (42), pemilik gerobak sate ”Jupri”, merupakan generasi ketiga dari penjual sate di sana. ”Dulu, awalnya punya kakek, terus diturunkan ke bapak. Sejak 2009, saya yang diminta mengelola. Tetapi, sewaktu muda, saya juga sudah ikut bantuin bapak jualan,” ujar Awi.
Hal serupa dialami Muin (56), pemilik gerobak sate ”Udin Kelana”. Ia meneruskan usaha sate milik ayahnya yang juga diturunkan dari kakeknya. Praktis, ia merupakan generasi ketiga dari keluarganya yang meneruskan usaha itu, sama seperti Awi.
Mereka berjualan di Jalan Sambas II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Trotoar di depan SDN Kramat Pela 01 Pagi mereka manfaatkan untuk menaruh gerobak dan menata tempat pembakaran satenya.
Mereka berjualan setiap hari, kecuali pada hari raya Lebaran atau ada urusan penting terkait keluarga yang tidak bisa mereka tinggalkan. Selain itu, mereka juga hanya berjualan pada malam hari, pukul 18.00 hingga tengah malam.
Jumat (16/3) malam, tampak empat gerobak sate sudah berbaris rapi di trotoar itu. Sekitar 20 orang duduk menyebar di kursi-kursi plastik yang ditata di depan gerobak-gerobak sate tersebut.
Para penjual sibuk membakar satenya. Arang memerah dan nyala api menjilat daging-daging sate yang diletakkan di atas panggangan. Asap yang mengepul dari panggangan itu memancarkan aroma campuran antara bumbu kacang dan kecap yang menggugah selera makan.
Pilihan daging satenya berupa ayam dan kambing. Varian bumbunya juga cukup beragam, mulai dari bumbu kacang, bumbu kecap, hingga bumbu garam yang dibalur dengan sambal pedas. Harga untuk satu porsi sate beserta lontong atau nasi berkisar Rp 25.000-Rp 30.000.
Hampir tidak ada pembeli yang datang sendirian, kecuali para pengemudi ojek daring yang mendapat pesanan untuk membeli sate itu. Mereka kebanyakan datang bersama keluarga atau teman.
Sepasang suami-istri, Syamsul (50) dan Ani (45), mendekati gerobak sate ”Jupri” dan segera memesan sebanyak 50 tusuk sate ayam. ”Enak sih, bumbu kacangnya itu tidak terlalu manis, tetapi gurih juga. Dagingnya juga besar,” ujar Ani ketika ditanyai mengapa menyukai Sate Sambas.
Kekhasan dari bumbu kacangnya adalah digunakannya kacang tuban dan mede sebagai bahan dasar. Kacang tuban adalah kacang tanah yang berasal dari Tuban. Kacang itu dinilai oleh penjual memiliki rasa manis dan gurih tanpa perlu memberikan banyak gula. Kegurihan bumbu kacang ditambah dengan penggunaan kacang mede.
Sate Sambas terkenal akan ukuran dagingnya yang lebih besar daripada daging sate umumnya. Satu tusuk sate terdiri atas 4-5 potongan daging. Satu potong daging panjangnya bisa mencapai 3-4 sentimeter.
Dalam menjaga kualitas, Awi mengatakan selalu menggunakan daging segar. ”Misalnya, saya dagang Sabtu sore, ya saya pesan ke pemotongan ayam agar ayamnya dipotong Sabtu subuhnya,” ujar Awi. Dalam sehari, ia menghabiskan 15-20 potong ayam.
Tidak sampai 15 menit dari waktu memesan, pesanan Ani sudah datang di hadapannya. Sebanyak 50 tusuk sate yang terdiri dari sate ayam dan kambing beserta potongan lontong siap ia santap bersama suaminya. Mereka menghabiskan 50 tusuk sate itu dalam waktu kurang dari 30 menit.
Sabtu itu, Ani rela berangkat dari Pamulang, Tangerang Selatan, demi menyantap hidangan tersebut. ”Ya, kangen saja, sudah lama tidak makan ini,” ucapnya.
Ani lalu bercerita tentang perkenalannya dengan Sate Sambas. Ia pertama kali makan sate itu saat duduk di bangku SMA pada 1989. Ia biasa makan di sana bersama teman-teman SMA-nya sepulang les. Sekarang, teman-teman yang kerap makan sate itu bersama Ani sudah berpencar ke sejumlah kota. Namun, Ani mengatakan, jika teman-temannya itu berada di Jakarta, pasti mereka akan meluangkan waktu demi makan sate itu.
”Pasti ke sinilah, hitung-hitung bernostalgia. Ya, kalau ke sini sama teman-teman SMA itu bawaannya jadi merasa muda lagi,” ujar Ani sambil terkekeh. ”Dulu, saya biasa makan sambil bercanda dengan teman-teman itu di Taman Sambas.”
Sebelum 2015, pembeli masih bisa menyantap makanannya di taman. Namun, taman itu dialihfungsikan menjadi tempat penampungan sementara pedagang Pasar Blok A Fatmawati, Jakarta Selatan.
Kini, pembeli menyantap satenya di pinggir jalan yang diatur sedemikian rupa oleh penjual menjadi tempat makan.
Malam itu, terlihat tujuh laki-laki berusia lebih dari 45 tahun duduk melingkar di kursi-kursi yang sudah ditata oleh penjual. Mereka adalah sekumpulan teman SMA yang menjadi pelanggan sate itu sejak 1982.
Sambil menunggu pesanan datang, mereka berkelakar dan mengenang keusilan mereka selama sekolah.
”Biarpun tamannya sudah enggak ada, makanannya masih sama. Orang-orang yang saya ajak ke sini juga sama. Jadi, kenangan-kenangan makan sate ini selalu teringat,” ucap Tony (48), salah satu dari kelima orang itu.
John S Allen, antropolog asal Amerika, dalam bukunya, The Omnivorous Mind (2012), mengatakan, makanan dan kenangan itu berkaitan. Rasa, aroma, dan tekstur suatu makanan tak hanya membuat seseorang teringat pada makanan itu, tetapi juga latar, waktu, dan dengan siapa saja ia memakan makanan itu.
Makanan adalah pemicu kuat untuk membawa seseorang terbang jauh ke masa lalu karena ketika memakan sesuatu, semua indera digunakan. Indera perasa, penciuman, penglihatan, peraba, dan pendengaran ikut mengalami kegiatan makan itu sehingga ingatan terhadap kegiatan itu semakin kuat.