Tahir: Tidak Ada Ruginya Menjadi Filantrop
Dato’ Sri Tahir tak hanya dikenal sebagai pengusaha kawakan, dia juga dikenal sebagai pengusaha yang filantropis. Pendiri Mayapada Group ini dikenal murah hati memberikan donasi kepada orang sakit, orang miskin, dan orang yang butuh dana pendidikan.
Aksi sosial Tahir teranyar adalah kesediaannya menjadi donatur Bank Wakaf Mikro An-Nawawi Tanara yang diresmikan Presiden Joko Widodo di Pondok Pesantren An-Nawawi di Serang, Banten, yang dipimpin KH Ma’ruf Amin, Rabu (14/3). Tahir juga menyumbang untuk krisis kemanusiaan akibat gizi buruk di Agats, Kabupaten Asmat, Papua, beberapa bulan lalu.
Aktivitas filantropis Tahir ini juga menarik perhatian konglomerat dunia, Bill Gates. Pada April 2014, mereka bekerja sama menjadi donatur pada The Indonesian Health Fund yang bertujuan menangani masalah kesehatan, seperti tuberkulosis, malaria, dan HIV/AIDS, di bawah Global Fund to Fight AIDS.
Tak seperti kebanyakan pengusaha yang cenderung mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, Tahir berbeda. Orang terkaya kelima Indonesia menurut Forbes edisi Maret 2018 dengan kekayaan 3,5 miliar dollar AS atau Rp 47 triliun itu ringan tangan dan murah hati.
Apa yang mendorongnya untuk menjadi filantrop?
Ditemui Kompas, Jumat (16/3), di ruang tamu kantornya di Gedung Mayapada Tower I, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, pengusaha yang pada 26 Maret nanti berusia 66 tahun ini membeberkan alasannya menjadi filantrop.
Pertanyaan (P): Pak Tahir terlibat banyak aksi filantropis. Paling baru, Bapak menyumbang untuk bank wakaf. Sebelumnya Tahir Foundation menyumbang Rp 250 miliar ke Muhammadiyah. Bapak juga menyumbang Rp 3 miliar untuk memberantas gizi buruk di Asmat melalui Dana Kemanusiaan Kompas. Kenapa Bapak senang sekali berdonasi? Apa yang mendorong Bapak berdonasi?
Jadi begini, kita bagi jadi dua. Pertama mengenai social work dan kedua ibadah. Ibadah itu sesuai yang kita percaya bahwa berbagi itu ajaran Gusti Allah yang harus dilakukan umat beragama. Lalu, soal kerja sosial. Saya sudah lakukan ini jauh sejak saat saya masih muda. Dulu, yang saya lakukan itu sifatnya sporadis saja, tidak fokus bantu kemiskinan. Dulu, kalau ada yang minta tolong, baru saya bantu.
Kini, dengan Tahir Foundation bisa lebih fokus. Sejak bekerja sama dengan Bill Gates, keluarga Tahir sendiri sudah komitmen menyumbang sampai 100 juta dollar AS. Dan kini sudah masuk tahun keempat dari total 5 tahun. Nah, setelah itu kami pikirkan yang sifatnya sistematik, sustainable, dan kontinuitas. Kalau dulu, sporadis itu orang minta baru kita bantu atau kita lihat susah saya bantu.
Kalau sekarang, sistemik, sustainable, dan kontinuitas. Maka ini beda dengan CSR (tanggung jawab sosial perusahaan). Kalau CSR, perusahaan baru berdonasi bila ada kelebihan keuntungan. Tetapi, kalau perusahaan itu sedang tidak untung, ya, tidak ada donasi. Celakanya, kalau ada orang yang sangat perlu bantuan dan perusahaan itu lagi tidak untung, bisa klenger orang itu. Lebih-lebih ini ada imbauan Bapak Presiden tentang pemberdayaan umat.
Di Banten, kami bantu pondok pesantren dan masjid di Pak Kiai Ma’ruf Amin. Dia bilang terang-terangan, berharap konglomerat bisa kasih tetesan dana, ternyata tidak menetes. Lalu, Presiden sekarang merespons dari aspirasi umat, gimana kalau dari bawah. Ini yang terbaik, yaitu micro-finance.
Jadi, kami beri modal awal, nanti setelah waktu tertentu dia bisa buka usaha lain. Setiap orang dapat wakaf Rp 3 juta. Jadi, satu pesantren itu Rp 8 miliar. Hal ini ibadah. Harus kita akui, 80 persen orang Indonesia itu beragama Islam. Ya, mayoritas orang Indonesia itu Islam. Padahal, filantropi itu tidak membahas suku dan agama. Saya bantu di Irak dan Suriah. Sebelumnya saya tidak tahu juga itu di mana kalau saya tidak aktif di UNHCR. Intinya, humanisme itu tidak melihat-lihat suku dan agamanya. Kembali lagi, bahwa pemberdayaan umat ini sudah klop, suatu model yang tepat sekali di Indonesia yang mayoritas Muslim.
Tadi Bapak sebutkan sudah dari usia muda bersikap filantropis. Apa yang mendorong Bapak menjadi filantrop?
Ajaran orangtua dan agama.
Apa yang orangtua ajarkan?
Orangtua itu, kan, paling bagus kasih contoh. Saya dari kecil lihat bagaimana orangtua itu bantu orang sekampung. Ibu saya orang Solo, bapak orang Surabaya. Kalau ada famili dari Solo datang ke Surabaya untuk berobat, ibu saya yang urus semua. Saat itu usia saya 10 tahun. Lalu beranjak dewasa, sosok yang lebih luas mengajak saya masuk ke masyarakat itu Bapak Mohammad Noer. Beliau mantan Gubernur Jatim. Dia juga mantan Ketua Yayasan Jantung Indonesia. Organisasi itu memberikan bantuan pengobatan cuma-cuma. Dia mengundang dokter dari Australia untuk operasi jantung dengan cuma. Dia tanya ke saya, Tahir, kamu mau bantu berapa orang? Saya terketuk ingin membantu lebih banyak orang.
Bagaimana kepedulian Bapak kepada orang kecil itu tumbuh?
Habitat saya itu orang susah. Masa kecil saya susah. Bapak saya dulu juragan becak. Hidup kami mengandalkan setoran tukang becak. Sampai hari ini habitat saya orang susah. Saya tidak pernah merasa ganti status. Kalau Anda tanya, jelas asal-usul saya. Di mana saya merasa nyaman, ya, di tempat orang susah. Saya tidak nyaman di antara orang kaya. Itu perlu ditegaskan. Menurut saya, orang kaya itu imperialistis. Mereka tidak mau bantu atau berbagi. Itulah orang kaya.
Apakah Bapak tidak khawatir kebaikan Bapak dimanfaatkan orang?
Setiap hari paling tidak ada 10 permintaan bantuan ke saya. Dari daftar itu saya lihat, kalau orang itu minta dibelikan mobil baru atau rumah baru, ya, itu tidak tepat. Kalau dia sedang kesulitan, pasti saya bantu.
Umumnya pengusaha itu ambil profit sebesar-besarnya. Bapak ini langka ya....
Tidak langka. Begini. Saya setuju pola pikir pengusaha soal berhitung cost and benefit. Saya 1.000 persen setuju. Nah, tapi masalahnya, mereka ini, kan, sudah mengambil benefit, tapi lupa membayarnya. Para konglomerat ini, kan, sudah peroleh benefit, tapi belum bayar cost-nya. Jadi, jangan bicara lagi untung rugi saat berdonasi. Untungnya sudah Anda ambil kok. Kalau untungnya tidak Anda ambil, bagaimana cara Anda jadi orang kaya di Indonesia? Memangnya Anda punya tambang emas? Atau ada orangtua wariskan harta miliaran dollar? Kan, enggak. Kan, Anda dapat kekayaan itu dari Indonesia. Dan Anda sudah ambil apa yang ada di Indonesia, loh. Jadi, kalau mereka bilang there is no free lunch, ya, Anda itu sudah makan siang. Anda sudah kenyang. Tapi Anda belum bayar. Lalu, ada juga yang merasa saya mau bayar, tapi mana makanannya? Loh, makanannya, kan, sudah Anda makan. Ini persepsi yang salah dari pengusaha.
Apa sih susahnya, misalnya, Anda punya 300.000 hektar kelapa sawit, lalu memberi secara cuma-cuma 10.000 hektar, apa sih susahnya? Itu, kan, tidak sampai 10 persen dari lahan Anda. Berkurang 10 persen juga tidak terasa, kan. Jadi, kalau para pengusaha pikirannya logis dan rasional serta tidak rakus, ya, seharusnya paham.
Saya selalu memperingati diri sendiri seperti ibu saya selalu ngomong ke saya, ”Hei anakku, kamu harus selalu ingat asal-usulmu dari mana.” Ibu selalu ngomong begitu. Jangan lupa, bapak ibumu dulu naik sepeda dan becak saat susah. Ibu saya itu great mother. Bu Risma, Wali Kota Surabaya, bilang, eh, Tahir, itu di Museum Surabaya ada becaknya loh, supaya kamu tahu dari mana kamu berasal.
Saya baru dampingi Pak Jokowi di pesantrennya Pak Ma’ruf Amin. Ada ibu-ibu penghasilannya Rp 1 juta satu bulan untuk sekeluarga. Padahal, bagi konglomerat, Rp 1 juta untuk makan saja bisa tidak cukup. Uang Rp 1 juta untuk tiket pesawat ke luar negeri saja tidak cukup. Itu kan miris. Lalu, apa salah kalau kita bantu mereka?
Dalam berbagai kesempatan, Anda bilang, harta orang-orang terkaya di Indonesia dikumpulkan lalu bisa digunakan untuk memberantas kemiskinan. Nah, itu bisa dijelaskan?
Tidak usah semua hartanya disumbangkan. Kalau ada 100 pengusaha Indonesia, menyumbang 10 persennya, itu sudah cukup. Bagi mereka, 10 persen itu sebenarnya tidak ada artinya. Sepuluh persen itu menjadi berarti karena kerakusan dan kesurupan mereka itu sehingga bagi mereka, 10 persen berarti. Saya, kan, memulai usaha juga dari nol persen, lalu sekarang sudah 100 persen. Lalu, harta saya donasikan 10 persen, tinggal 90 persen. Lalu, apa salahnya sih berkurang 10 persen? Kan, saya sudah berkembang 90 persen. Saya syukuri itu.
Para pengusaha itu bisa berbuat banyak untuk masyarakat. Lakukan saja di lingkungan sekitar saja. Misalkan, saya orang Surabaya, lakukan saja dulu untuk Surabaya. Pengusaha Medan kembangkan juga Medan. Pengusaha Sulawesi kembangkan Sulawesi. Saya juga katakan ke pengusaha, kalau Anda bantu masyarakat, artinya Anda bantu daya beli mereka.
Kalau daya beli masyarakat baik, bisnis Anda akan baik juga karena ada yang beli barang yang Anda jual. Coba saja salah satu bank swasta terbesar di negeri ini buka di Sudan atau Uganda. Apakah bisa mereka sebesar sekarang? Paling dirampok. Ini sebuah logika. Kalau bikin pabrik di Uganda, ada yang beli barang Anda tidak? Jadi, kalau ekonomi masyarakat terus membaik, maka yang untung juga pengusahanya, kan.
Apa rencana aksi filantropis Anda ke depan?
Kami mau fokus di dua hal. Satu pendidikan dan satu kesehatan. Mengubah nasib bangsa ini cuma satu jalannya, yaitu pendidikan. Kenapa jurang kemiskinan melebar? Karena orang kaya kuasai teknologi, sedangkan orang miskin tidak punya uang untuk sekolah. Anak petani di Jombang tidak mungkin masuk ke Harvard. Mereka yang masuk Harvard adalah anak-anak orang kaya. Mereka menguasai teknologi. Yang kaya tambah kaya yang miskin tambah miskin. Teknologi membuat jurang kemiskinan melebar. Kita harus perkuat pendidikan kita.
Saya dapat mandat jadi wali di UGM. Saya minta UGM adakan pusat riset dengan bekerja sama dengan universitas top di luar negeri. Lalu, bangun infrastruktur dan tambah profesor, agar kita tidak kalah dengan negara Barat.
Apakah Bapak sengaja menjadi filantrop ini untuk dikenang? Apakah menjadi filantrop itu adalah warisan yang ingin Bapak berikan untuk Indonesia?
Sama sekali tidak. Saya ingin menjelaskan dan menegaskan hal ini bahwa tidak ada satu hal yang harus diingat di dalam hidup. Tetapi, saya mau lihat tiga hal terjadi sebelum saya menghabiskan napas. Yang pertama, saya mau yakinkan diri sendiri bahwa ibadah saya baik. Saat meninggal, saya harus pastikan ibadah saya cukup, jadi saat bertemu sang pencipta saya punya nilai rapor cukup. Ini loh rapor kelakuan saya yang tidak baik. Tapi saya juga punya rapor kelakuan yang baik. Supaya rapor saya minimum angka enam supaya lulus. Ini penting.
Yang kedua, saya ingin lihat masyarakat Indonesia menjadi lebih baik oleh karena saya. Karena sumbangsih saya atau karena kelakuan saya. Mungkin satu orang, mungkin sepuluh orang, mungkin ribuan orang. Ketiga, saya ingin yakinkan anak saya baik. Caranya, dengan memberikannya teladan yang baik. Saya yang harus hidup baik. Kalau ketiga hal ini bisa saya lihat, sudah cukup untuk saya. Harapannya akan muncul ”Tahir-tahir” yang lain.
Anda sudah jadi pengusaha sukses, juga dikenal sebagai filantrop. Apa lagi yang ingin Anda capai dalam hidup?
Kalau bicara bisnis, pasti ada rencananya. Kalau di Mayapada, ada rencana bagaimana memajukan usaha. Lalu, kalau bicara jadi warga negara, kita juga pasti punya rencana bagaimana memajukan negara ini. Kalau kita umat beragama dan kepercayaan tertentu, kita harus terus berupaya memperbaiki diri. Saya mengumpamakan diri saya sebagai pendaki gunung. Kalau sudah mendaki gunung yang satu, saya libat gunung lain untuk saya daki lagi. Begitu terus sampai Gusti Allah bilang stop.