JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya mampu menjaga marwah KPK dengan tidak mengumbar wacana penetapan tersangka calon kepala daerah. Meski demikian, proses hukum terhadap calon kepala daerah yang bermasalah harus tetap dilanjutkan. Upaya ini untuk mencegah calon bermasalah terpilih menjadi kepala daerah.
Mantan Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, wacana yang dilontarkan pemimpin KPK Agus Rahardjo bisa menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
”KPK harus menjaga marwahnya, harus berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan kepada media terkait proses penegakan hukum yang sedang berlangsung,” ujarnya dalam acara diskusi ”Korupsi, Pilkada, dan Penegakan Hukum” di Jakarta, Sabtu (17/3).
Sebelumnya, Selasa (6/3), Agus menyampaikan, ada beberapa kepala daerah yang kemungkinan menjadi tersangka. Sebagian besar calon yang bermasalah ada di Pulau Jawa.
Rabu (14/3), di sela-sela acara penandatanganan kerja sama dengan Kementerian Keuangan, Agus kembali menyatakan telah menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) untuk seorang calon kepala daerah dan akan menandatangani sprindik untuk peserta pilkada lain (Kompas, 15/3).
Munculnya wacana ini menimbulkan reaksi dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Ia mengatakan, penetapan proses hukum terhadap calon kepala daerah sebaiknya ditunda. Hal ini untuk mencegah anggapan bahwa penetapan tersangka ini dipenuhi muatan politik.
”Kalau belum ditetapkan sebagai pasangan calon, KPK silakan saja melaksanakan proses hukum terhadap mereka yang ditetapkan sebagai pelaku korupsi. Tetapi, kalau sudah ditetapkan sebagai pasangan calon, proses penyidikan, penyelidikan bisa ditunda dulu. Pengajuannya sebagai saksi atau tersangka juga bisa ditunda,” tutur Wiranto seusai Rapat Koordinasi Pilkada 2018 di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (12/3).
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, wacana yang dikeluarkan Agus jangan sampai memunculkan spekulasi. ”Tidak perlu ada teaser-teaser seperti di film. Seharusnya KPK terus saja bekerja untuk memberantas korupsi, khusunya menjelang pilkada ini,” ucapnya.
Titi mengatakan tidak setuju dengan pendapat Wiranto. Menurut dia, proses hukum terhadap calon yang bermasalah harus tetap dilanjutkan. ”Jika ditunda, akan ada diskriminasi di tengah masyarakat. Muncul eksklusivitas, calon kepala daerah menjadi tidak bisa diproses hukum selama masih dalam rangkaian pilkada,” ujarnya.
Abraham menambahkan, jika proses hukum ditunda, kemungkinan calon tersebut bisa menghilangkan barang bukti. Jika barang buktinya dirasa sudah cukup, sebaiknya KPK segera menetapkan calon tersebut sebagai tersangka.
Anggota DPR Komisi III dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, mengatakan, KPK sebaiknya tidak dipengaruhi unsur politik dalam penetapan tersangka. Menurut dia, sistem pemberantasan korupsi di KPK perlu dibenahi agar indeks korupsi tidak stagnan.
Perkuat pengawasan
Titi menjelaskan, untuk menghindari praktik dalam Pilkada 2018, harus ada penguatan pengawasan dari sejumlah pihak. KPK harus mampu mengawasi calon kepala daerah petahana, sedangkan calon kepala daerah yang bukan petahana bisa diawasi Badan Pengawas Pemilu.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, pengawasan terhadap calon kepala daerah sudah dilakukan oleh Bawaslu. Pengawasan tersebut dilakukan dengan melihat laporan rekening dana kampanye setiap calon kepala daerah.
”Namun, pada praktiknya, ada calon yang menggunakan dana di luar rekening kampanye. Oleh sebab itu, kami bekerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk melacak dana di luar rekening kampanye,” lanjutnya.
Fritz mengaku kaget dengan pernyataan Wiranto untuk menunda proses hukum calon kepala daerah yang bermasalah. Ia menegaskan, Bawaslu tetap mendukung langkah KPK agar proses hukum calon kepala daerah tetap berjalan.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman menuturkan, calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka masih boleh mengikuti pillkada. Hal tersebut tertuang dalam peraturan KPU (PKPU), yakni Pasal 78 dan 79 PKPU Nomor 3 Tahun 2017.
”Kami akan tetap menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa calon tersebut bermasalah. Supaya masyarakat tahu dan dapat memilih calon yang berkompeten,” ujarnya.
Arief mengatakan, calon yang bermasalah tidak dapat diganti oleh parpol ketika sudah terdaftar. Kebijakan ini bertujuan agar parpol mampu menyeleksi calon yang diusungnya terlebih dahulu.