Wacana menghidupkan kembali becak menuai perdebatan warga ibu kota. Moda beroda tiga ini dinilai masih dibutuhkan, di sisi lain dianggap tak layak karena menggunakan tenaga manusia. Kajian khusus dinanti sebelum melegalkan kembali ke kota
Oleh
MB DEWI PANCAWATI
·3 menit baca
Kehadiran becak di Jakarta memiliki sejarah panjang. Becak masuk pertama di Jakarta sekitar tahun 1936 dan segera menjadi moda favorit. Dalam tujuh tahun, jumlah becak mencapai 3.900 unit dan terus bertambah hingga 160.000 unit pada 1972.
Jumlah becak yang membeludak berujung pada kebijakan pelarangan becak oleh Pemda DKI. Tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan larangan memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta. Jumlah becak pun berkurang drastis menjadi 38.000 unit. Tahun 1990, Pemda DKI melalui Perda Nomor 11 Tahun 1988, memutuskan menghilangkan becak dari Jakarta.
Sepuluh tahun berselang, ketika krisis ekonomi tahun 1998, Gubernur Sutiyoso mengeluarkan izin lisan yang memperbolehkan becak beroperasi di Ibu Kota, di jalan-jalan yang tidak dapat dijangkau kendaraan bermotor. Syaratnya, setelah kondisi ekonomi membaik, larangan becak diberlakukan lagi. Izin ini berlaku 7 hari saja lantaran membuat becak berbondong-bondong masuk Jakarta.
Secara tertulis, aturan pelarangan becak masih berlaku hingga kini.
Becak beroperasi
Saat ini, becak masih ditemui di sejumlah titik, seperti di Tanah Pasir, Pejagalan, Muara Baru, Semper, Kali Baru, Tambora, dan Tanjung Priok. Data Serikat Becak Jakarta, ada sekitar 1.000 becak di Jakarta.
Pada awal tahun 2018, Gubernur Anies Baswedan berencana menghidupkan kembali becak sebagai salah satu moda transportasi. Pengaturan becak juga dilakukan dalam rangka memberikan keadilan bagi warga yang mencari peruntungan ekonomi di Ibu Kota.
Upaya yang telah dilakukan adalah mendata becak dengan memberikan stiker sebagai antisipasi masuknya becak dari luar kota. Zonasi operasional becak juga diatur. Namun, payung hukum agar becak sah menjadi moda transportasi Ibu Kota dengan area terbatas belum ada.
Wacana ini menimbulkan pro-kontra sebagaimana terungkap dalam jajak pendapat ini. Hampir 40 persen mendukung kebijakan Gubernur. Dua dari lima responden yang mendukung berpendapat, becak dibutuhkan para ibu sepulang dari pasar dan membawa banyak barang, serta untuk mengantar pelajar.
Sebaliknya, 55 persen responden tidak mendukung rencana legalisasi becak. Selain bertentangan dengan aturan, hampir 80 persen warga beralasan becak tidak dibutuhkan lagi sebagai moda transportasi. Becak diprediksi akan kalah bersaing dengan moda-moda lain, seperti bajaj, qute, ojek, dan angkutan daring.
Selain itu, mengacu pada alasan pelarangan sebelumnya, kehadiran becak dikhawatirkan menghambat jalan, menimbulkan kemacetan, dan dianggap tidak manusiawi.
Melegalkan kembali ruang gerak becak, menurut separuh lebih responden, tidak berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan pengayuh becak. Penghasilan mengayuh becak yang per harinya sekitar Rp 75.000 kalah dibandingkan penghasilan ojek daring yang per bulan bisa mencapai Rp 3 juta. Menurut saran 45 persen responden, akan lebih tepat jika pemerintah mengeluarkan kebijakan agar tukang becak beralih profesi, misal sebagai petugas PPSU atau pekerjaan nonketerampilan spesifik lainnya.
Sementara itu, hampir separuh responden yang membutuhkan becak setuju menjadikan becak sebagai sarana transportasi di lokasi-lokasi wisata.
Ada juga sekitar 17 persen responden menyarankan becak beroperasi pada jalur khusus untuk meningkatkan taraf hidup penarik becak.
Jalan cerita becak di Jakarta tampaknya masih panjang. Meski demikian, memberikan ruang gerak becak dengan rencana legalisasi operasi di Jakarta masih perlu dikaji. (LITBANG KOMPAS)